Posts Tagged ‘hercules

21
Mei
09

Duka Cita Sang Hercules

herkules

MUSIBAH itu datang lagi. Pesawat Hercules milik Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara (TNI AU) jatuh di Magetan Jawa Timur. Pesawat yang mengangkut 98 penumpang dan 13 awak itu  sempat menabrak rumah penduduk sebelum akhirnya jatuh dan terbakar. Seminggu sebelumnya, pesawat sejenis yang dioperasikan TNI, terperosok di Wamena.

Dua insiden itu menambah panjang daftar kecelakaan pesawat milik TNI. April lalu, sebuah pesawat Fokker 27 TNI AU meledak setelah jatuh menimpa hangar PT Dirgantara Indonesia (PT DI) di sisi Bandara Husein Sastranegara Bandung.

Sebelumnya, kepingan logam penutup mesin Hercules jatuh di Jagaraksa, Tangerang (2007). Hal yang sama terjadi dua tahun sebelumnya di Kecamatan Medayan, Madiun.

Musibah di Magetan kemarin merupakan yang terbesar menimpa keluarga besar TNI dalam dasawarsa terakhir. Awal 1990-an sebuah Hercules yang mengangkut Pasukan Khas (Paskhas) TNI AU jatuh di Jakarta dan menewaskan seluruh penumpangnya.

Hercules adalah jenis pesawat terbang yang dikenal andal dan banyak digunakan militer berbagai negara di dunia. Mampu lepas landas dan mendarat dari landas pacu yang pendek, bahkan landas pacu darurat.  Karena keampuhannya itu, banyak digunakan untuk angkutan barang, pengamatan cuaca, rumah sakit terbang, bahkan tanker bahan bakar udara.

Sejak pertama kali dibuat tahun 1954 oleh Lockheed, pabrik pesawat di Burbank, California, Amerika Serikat, tak kurang 40 model Hercules dibuat dan dipasarkan. Hercules tipe C-130 sebagaimana yang dimiliki TNI AU adalah pesawat favorit untuk kepentingan militer. Tak kurang dari 2000 C-130 telah dibuat dan dioperasikan, termasuk di Indonesia.

Timbul pertanyaan, jika melihat ‘reputasi’ pesawat jenis itu di medan tempur dan di medan yang sulit, mengapa di Tanah Air kita justru termasuk yang paling sering mengalami masalah? Benarkah pesawat tangguh yang disiapkan untuk menjaga negara ini banyak yang rapuh karena tidak dirawat secara memadai?

Sesaat setelah insiden Madiun, Presiden sebagai Panglima Tertinggi TNI menyatakan, negara tidak pernah mengurangi anggaran perawatan infrastruktur militer. Yang terjadi adalah menunda pembelian alat baru.

Di lapangan, fakta menunjukkan sejumlah pesawat tempur kita sudah uzur. Misalnya, Bronco OV-10, bikinan 1976 yang dioperasikan TNI sejak 1979, kini hanya empat –dari sembilan unit– yang bisa disebut layak terbang.

Kondisi kesiapan pesawat tempur di bawah standar juga terjadi atas Hawk MK-53 buatan 1977. Dari delapan unit yang ada, hanya dua yang laik terbang. Selain itu, sejumlah pesawat angkut Fokker 27 buatan 1975, dari tujuh yang ada hanya empat yang siap terbang.

Tanah Air kita merupakan negara yang sangat luas, kepulauan, dan memiliki garis pantai terpanjang. Kondisi itu menuntut perlindungan yang maksimum. Dengan anggaran yang minim, alat utama sistem pertahanan akan lemah, dampaknya pertahanan tidak lagi memadai, yang berarti ancaman jadi jauh lebih besar.

Insiden telah terjadi, dan tentu saja tak satu pun di antara kita yang ingin hal itu terjadi lagi. Yang diharapkan justru sebaliknya, yakni pemerintah betul-betul memperhatikan secara serius persoalan tersebut, karena masalahnya tidak semata pada ketiadaan anggaran, melainkan pada niat dan kemauan untuk membangun kekuatan pertahanan yang memadai.

Dan yang terpenting lagi, peristiwa di atas hendaknya benar-benar jadi pemicu yang menyadarkan petinggi negara dari keterlenaannya selama ini. Pertahanan dan segala unsurnya selalu dijadikan komoditas politik dan perang retorik. Tak selayaknya prajurit gugur akibat kelalaian negara dalam mengelola dan menjalankan sistem pertahanannya.  ***

10
Nov
08

Terbang Tegang Bersama Batavia

bataviaair_foto_wikan_tribun_kaltimENTAH sudah berapa puluh kali saya menggunakan jasa maskapai penerbangan tanah air sejak 1984, tapi baru kali ini memperoleh pengalaman mencekam. Merasakan sendiri ketegangan, sekaligus menyaksikan bagaimana orang-orang lain yang saat itu berada dalam kabin pesawat yang sama, bereaksi atas ketegangan yang mereka alami.

Hari itu Jumat, 7 September 2008. Pesawat Airbus A320 milik maskapai penerbangan Batavia Air dengan nomor penerbangan 7P-631 tujuan Manado via Balikpapan, terpaksa kembali ke areal parkir setelah bersiap lepas landas, di Bandara Soekarno Hatta.

Semula, saya –mungkin juga penumpanbg lain—lega setelah menunggu hampir satu jam dari jadwal yang ditetapkan, akhirnya dipersilakan memasuki pesawat. Saya berada di antara lebih dari seratus penumpang pesawat itu.

Semua persiapan sudah dilakukan. Seluruh penumpang duduk dengan sabuk pengaman terkunci. Pramugari sudah mengumumkan dan memperagakan tata-tertib di dalam pesawat, sementara pesawat bergerak lambat-lambat menuju landas pacu.

Di sinilah teror perasaan itu dimulai. Di sela gemuruh jet, terdengar bunyi yang ganjil. Bunyi itu berupa deritan panjang dan kontinyu dalam interval tertentu. Bunyinya mirip suara gerinda yang menggerus logam berkarat, sekaligus mirip bunyi seperti tali kipas mobil yang tidak normal, tapi lebih tinggi. Menjerit, berderit, menusuk kuping.

Saya melirik ke sebelah kiri, seorang penumpang menekankan dahinya ke punggung kursi di depannya. Mulutnya komat-kamit. Di sebelahnya lagi, seorang perempuan, menunduk tepekur, tangan kanannya mengelus-elus perut buntingnya. Pria di sebelah saya bergumam tak jelas. Ketegangan terasa mencekam seantero kabin.

Kurang lebih 10 menit, kami terperangkap dalam jebakan kegelisahan, sampai akhirnya bunyi mesin terdengar agak mengendur, suara menderit masih muncul sesekali. Sejurus kemudian, Kapten Pilot Anjar Sulistyaji mengumumkan menunda keberangkatan sekitar 20 menit.

Padahal sebelumnya keberangkatan sudah molor 35 menit. Jadwal lepas landas pukul 15.10 WIB namun penumpang baru boarding pukul 15.45 WIB. Para penumpang yang gelisah, agak sedikit lega. “Dari pada dipaksakan terbang, tapi celaka….” ujar lelaki di sebelah kiri saya. Hiyyyy… langsung terbayang berbagai kecelakaan pesawat, mulai dari musibah Garuda di Adisutjipto, sampai Hercules pengangkut Paskhas!

Peristiwa-peristiwa mengenai kecelakaan pesawat terbang yang sering jadi topik berita media, jelas sangat berpengaruh. Setidaknya, jadi pelembek nyali.

Setelah kembali ke areal parkir, dan penerbangan ditunda lebih dari 20 menit, pesawat kembali bergerak menuju landasan. Namun sudah 10 menit di landasan, tidak juga lepas landas.

Penumpang mulai gelisah, dan kepanasan. Bayi-bayi menangis. Mesin pesawat dalam kondisi hidup, namun sesekali suara gesekan masih terdengar sedangkan penjelasan lebih lanjut tidak ada dari awak kabin.

Akhirnya, pesawat keluar dari areal parkir dan memasuki landas pacu. Kami lepas landas dengan ketegangan masih mencekam. Syukurlah penerbangan lancar hingga mendarat dengan mulus di Bandara Sepinggan, Balikpapan, Kalimantan Timur pukul 19.07 Wita.

Penerbangan dari Bandara Soekarno-Hatta ke Balikpapan memakan waktu tempuh sekitar satu jam 50 menit. Saat penumpang tujuan Balikpapan turun di Kota Minyak ini, penumpang tujuan Manado tetap berdiam, menunggu di dalam pesawat.

Tiga puluh menit kemudian, pesawat bergerak lagi menuju landas pacu Sepinggan. Saya dan pria di sebelah kiri saya saling tatap sambil berusaha mendengar sesuatu. Astaga!! Bunyi derit itu terdengar lagi di antara gemuruh jet. Terdengar raungan mesin lebih tinggi lagi, makin tinggi dan makin kuat.

Bunyi derit seperti gerinda menggesek logam berkarat itu sirna. Entah memang tidak ada masalah lagi, atau tertimpa tingginya raungan mesin. Sesaat kemudian, pesawat bergerak ke landas pacu. Para penumpang hening, seperti kembali dicekam ketegangan, meski terasa seperti antiklimaks.

Syukurlah, penerbangan lancar dan airbus Batavia Air ini mendarat mulus di Bandara Internasional Sam Ratulangi, satu setengah jam setelah lepas landas dari Balikpapan. Saya beringsut turun. Rongga mulut dan kerongkongan terasa kering. (*)