TANGGAL 2 MEI 2005:
JAKARTA garang seperti biasa. Terik. Tentu saja. Kendaraan merambat perlahan. Umum atau pribadi. Dinas atawa partikelir, sama saja. Pokoknya, semua terhambat. Senin, hari kerja pertama, ditandai dengan pemandangan serupa hari-hari sebelumnya.
Arus lalu lintas macet. Kalau tidak, ya merambat lah. Kali ini –seperti biasa pula– ruas jalan di sekitar gedung DPR/MPR disibuki para petugas yang mengamankan aksi unjuk rasa.
Karena nyaris saban hari terjadi, aksi demo itu seperti sudah bukan lagi berita. Orang tak tampak lagi tertarik. Sebaliknya, malah ada yang merasa terganggu.
Begitu pula Senin lalu yang terik itu.
“Dema-demo, dema-demo. Bosan! Macet. Lagi pula, yang di atas-atas sana sudah kagak mau lagi dengerin,” kata seorang gendut di sebelah saya di dalam angkutan kota.
“Kasihan, sih. Mereka nuntut hak, kok. Tapi, ya begitu-begitu juga,” kata penumpang lain di seberang saya. Dengkul kami beradu. Suhu di dalam, gerah luar biasa. Di luar, apa lagi.
Hati itu ratusan guru sedang beraksi menuntut hak dan kejelasan nasib. Guru bantu.
Bantu atau bukan, mereka tetaplah guru yang menjalankan fungsi yang sama sebagai pendidik. Berdiri di depan kelas, pada jam yang sudah ditetapkan. Mengajar para murid, menyejajarkan materi ajarnya dengan kurikulum. Pokoknya, sama plek! Guru. Pendidik.
Tapi status mereka tidak sama.
Gajinya juga.
Tunjangannya juga.
Aneh?
Tidak. Ini rekiblik, bung!
Orang seperti Khalisa (38), sarjana lulusan Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Sumatera Utara, misalnya. Sudah 15 tahun mengabdi, menjalankan fungsi, dan secara de facto –sebenarnya–sudah menyandang status guru. Tapi, status administratifnya, status kepegawaiannya, tidak.
Seumur-umur mengajar, ia “cuma” guru bantu. Guru yang bukan pegawai negeri. Celakanya, bukan pula pegawai swasta yang biasanya bergaji lebih baik.
Bolak-balik ia ikut testing, bolak-balik pula ditolak. Tapi ia terus mengajar. Sekolah menganggapnya cakap menjadi pendidik, tapi negara tidak cakap menyerapnya sebagai tenaga profesional. Aneh.
Lihat pula Yandi. Umurnya sudah dekat 40 tahun. Sudah mengajar sejak 1987 atau kira-kira 18 tahun, di daerah terpencil pula. Tapi nasibnya sama dengan Bu Khalisa. Statusnya mandek sebagai guru tanpa status.
Padahal, ada muridnya –yang dia ajar pada awal-awal tugasnya sebagai pendidik– sudah jadi orang. Sementara Yandi sendiri belum juga jadi guru beneran. Masih guru bantu.
Aneh tak aneh, itulah yang terjadi pada Khalisa, Yandi, Nurzah, Emon, Siswanto, Markus, dan ribuan lainnya, di Jawa, Kalimantan, Maluku, Papua, Sumatera, Nusa Tenggara dan lain sebagainya.
Kehidupan mereka, terutama yang di daerah terpencil seperti Yandi sangatlah makmur oleh kesengsaraan. Dengan upah Rp 460 ribu, ia harus mengeluarkan ongkos rata-rata antara 10 ribu sampai 15 ribu perak sehari. Belum makan. Belum minum.
Bahwa dia masih bisa hidup untuk menjalankan tugasnya sebagai guru –meski negara tak mau mengakuinya– pun anggap saja sebuah mukjizat atau malah keganjilan negeri antah-berantah.
“Saya sudah 12 kali ikut tes CPNS tapi saya tidak masuk terus. Sekarang umur saya sudah melewati batas, lalu bagaimana apakah saya harus terus mengabdi,” kata Yandi.
Boleh jadi, karena itulah tanggal 2 Mei itu mereka turun ke jalan. Berbondong-bondong mengadu kepada para wakil rakyat. Mereka mendesak DPR agar juga mendesak pemerintah untuk meningkatkan status mereka menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS).
Mereka protes. Sebagai guru bantu yang telah mengabdi puluhan tahun, mereka tidak juga diangkat sebagai PNS. Setidaknya, ada 197.917 guru bantu se-Indonesia nasibnya terkatung-katung. Sementara pemerintah justru mengangkat ribuan guru baru bukan dari yang sudah ada dan sudah menjalankan tugfas profesonalnya selama belasan tahun.
Apa kata wakil rakyat? Biasalah. mereka janji akan meneruskan masalah itu kepada pemerintah. Mereka janji akan mendesak pemeritah untuk memperhatikan nasib para guru bantu. Mereka janji. Ditepati atau tidak, terlaksana atau tidak, itu urusan lain.
Apa kata pemerintah?
Tenang, tenang! “Pengembangan guru sebagai profesi akan dijamin secara legal dalam RUU tentang guru. Sebab peran guru sangat menentukan keberhasilan pendidikan nasional,” kata Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo.
Karena itu, kata dia, para pendidik diminta terus‑menerus meningkatkan mutu dan relevansi pendidikan agar memenuhi kebutuhan pengembangan masyarakat dan pembangunan pendidikan yang lebih baik di masa mendatang.
Ha! Kalau soal macam begitu mah kagak usah diomongin lagi Pak. Wong tanpa status yang jelas saja para guru itu tetap menjalankan tugas dengan penuh dedikasi dan loyalitas.
Mereka berkorban tentu dengan harapan bahwa negara mbok ya melirik lah. Meski memang bukan semata itu tujuannya, tapi alangkah tidak wajar jika negara tidak memperhatikan kepentingan para guru. Bantu atau bukan.
Soalnya, kualitas kehidupan guru akan turut mempengaruhi kualitas perannya sebagai pendidik, peletak dasar-dasar peradaban pada sebuah generasi suatu bangsa.
Ya, “Pemerintah perlu menyempurnakan rencana strategis kebijakan pendidikan, khususnya memprioritaskan peningkatan kualitas SDM tenaga guru,” kata Rektor Universitas Negeri Jakarta (UNJ – dulu IKIP).
Betul, Pak Rektor. Tapi peningkatan kualitas kehidupan para guru tak akan terjadi tanpa dukungan peningkatan kesejahteraan. Peningkatan kesejahteraan tak bisa terjadi tanpa penyempurnaan perimbalan. Pokoknya, saling terkait.
Guru bisa meningkatkan kualitas, misalnya dengan mengikuti berbgai pendidikan tambahan maupun lanjutan, tentu jika kebutuhan kesejahteraan dasarnya sudah tercukupi.
TANGGAL 2 MEI 2008:
AKSI para guru tak semasif tiga tahun sebelumnya. Namun tak berarti nasib mereka sudah lebih baik. Hari-hari ini, para guru sedang dihadapkan pada kriminalisasi budi pekerti.
Mereka terketuk nuraninya membela para murid yang jadi korban ketakadilan sistem pendidikan, meski untuk itu mereka diperhadapkan dengan pasukan antiteror yang menangkapi dan mengurungnya sebagai penjahat. Diperiksa, diberkas, untuk kemudian diadili.
Lihat! Sejak rezim ordo baru (yang kini sudah usang), hingga ordo pasca perubahan, nasib Oemar Bakri tak pernah berubah. Alih-alih lebih baik, malah lebih parah. Kasihan pemerintah, tak juga mampu mengurusi guru. ***