Posts Tagged ‘hukum

31
Agu
16

Kebiri!!

alat untuk-operasi-kebiriPARA pemerkosa masih gentayangan. Di Kotawaringin Timur, Kalteng, seorang remaja putri diculik, disekap sejak awal Agustus lalu. Selama itu berulang kali ia diperkosa. Anak perempuan berusia belasan di Pangkalpinang, Bangka, diseret ke rimbunan gelagah sepulang nonton konser, lalu dinodai. Di Mataram, Nusa Tenggara Barat, seorang perempuan pelajar sekolah dasar jadi korban birahi gila seorang gaek!

Masih ada beberapa peristiwa serupa sepanjang “bulan kemerdekaan” ini, termasuk sekawanan lelaki muda –14 orang– yang mabuk minuman opolsan, kemudian menggagahi seorang remaja belia. Ini mengingatkan kembali pada wacana penerapan hukuman “kebiri” bagi para pemerkosa. Wacana itu, entah mengapa, surut dari percakapan publik, tergeser oleh isu-isu baru.

Kata ‘kebiri’ sempat mendadak populer beberapa waktu lalu. Pemilik hewan yang tak mau piaraannya beranak pinak, biasanya membawa binatang itu ke dokter hewan untuk mengebirinya. Ya, kebiri! Atau kastrasi, yakni tindakan untuk menghilangkan fungsi testis pada jantan atau fungsi ovarium pada betina. Pengebirian bisa dilakukan terhadap hewan maupun manusia.

Di masa silam, orang yang dikebiri –biasanya lelaki– disebut orang kasim. Mereka sudah kehilangan kesuburan karena buah zakarnya telah dibuang, sengaja atau karena kecelakaan, jadi korban dalam peperangan, atau karena sebab lain.

Di masa depan, bisa jadi akan “banyak” orang kasim di tanah air. Setidaknya jika para penegak hukum menerapkan pasal-pasal pada Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2016 tentang perubahan kedua Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Pemerintah memandang perlu menerbitkan peraturan ini menyambut kegelisahan, kegeraman dan tuntutan banyak pihak, menyusul kian marak dan kejamnya kejahatan seksual terhadap anak-anak di bawah umur. Bahkan ada bayi di bawah lima tahun yang jadi korban kekejaman para penjahat kelamin ini.

Catatan-catatan paling awal tentang pengebirian bisa dilacak jauh ke belakang. Pada suatu masa di abad ke 21 sebelum Masehi penguasa kota Lagash di Sumeria menerapkan “peraturan pemerintah” mengenai pengeberian atas para lelaki.

Selama ribuan tahun kemudian, orang kasim –lelaki terkebiri– melakukan berbagai fungsi di pelbagai kebudayaan. Pelayan istana atau pelayan rumah tangga, penyanyi laki-laki dengan suara tinggi, petugas-petugas keagamaan khusus, pejabat pemerintah, komandan militer, dan pengawal kaum perempuan ataupun pelayan di harem, biasanya dilakukan para kasim ini.

Karena itu orang Inggris menyebutnya eunuch, dari kata dalam bahasa Yunani, eune (tempat tidur) dan ekhein (menjaga) alias “penjaga tempat tidur”. Para hamba atau budak biasanya dikebiri untuk menjadikan mereka pelayan yang “aman”di istana. Aman, karena mereka dianggap tak lagi punya birahi manakala melayani permaisuri, para selir, atu harem.

Catatan lain menyebutkan, oang kasim pertama disebutkan di Kekaisaran Asyur sekitar 850-620 SM. Mereka disebut-sebut jadi pelengkap istana para kaisar Akhemenid dari Persia maupun firaun dari Mesir.

Di Tiongkok kuno, pengebirian adalah salah satu bentuk hukuman tradisional dan sarana untuk mendapatkan pekerjaan di kalangan istana. Pada akhir Dinasti Ming konon ada 70.000 orang kasim di istana kaisar. Jabatan seperti itu demikian berharga, bahkan orang-orang kasim tertentu berhasil mendapatkan kekuasaan yang demikian besar sehingga melampaui kekuasaan perdana menteri, sehingga acap menimbulkan ketegangan.

Di India kaum hijra adalah para lelaki yang kehilangan penis maupun testisnya. Mereka biasanya mengenakan sari, atau pakaian tradisional yang biasa dikenakan kaum perempuan, dan riasan wajah yang tebal. Mereka dianggap membawa peruntungan baik dan karena itu diundang untuk memberkati pengantin pada hari pernikahan.

Kaum Galli, para pengikut Dewi Cybele, mempraktikkan ritual pengebirian diri sendiri, atau sanguinaria. Bahkan pada masa Kristen praktik ini tetap berlanjut; namun Gereja tidak mengikuti teladan dari teolog awal, Origenes, yang mengebiri dirinya sendiri berdasarkan pemahamannya tentang ayat-ayat pada kitab suci.

Sekte Skoptzi di Rusia pada abad ke-18 adalah sebuah contoh tentang penyembahan pengebirian. Anggota-anggotanya menganggap pengebirian sebagai cara untuk menolak dosa-dosa jasmani. Beberapa anggota dari sekte Pintu Gerbang Sorga juga dikebiri, dan tampaknya hal ini dilakukan dengan suka rela dan dengan alasan-alasan yang sama.

Nah, jika dilacak pada jejaknya, jelas sebagian besar tindakan kebiri atau pengebirian tidak bersangkut paut dengan kejahatan. Bahkan sebaliknya. Sebagian di antaranya menunjukkan, kebiri sebagai tindakan sukarela demi pengabdian, bahkan penghambaan terhadap para dewa dan bagian dari pengamalan tentang apa yang diyakininya.

Zaman berganti, manusia berubah. Kini pengebirian jadi hukuman atas tindak kriminal buas, seolah dengan cara itu sang pelaku bisa jera dan tidak melakukan tindakannya lagi. Mungkin betul jika pemerkosaan hanya dilihat sebagai kejahatan bersenjatakan alat kelamin. Pemerkosaan jauh lebih luas dan rumit dari sekadar itu.

Ketika orang melampiaskan kemarahan, kebencian, penguasaan (hasrat mendominasi lawan) maka “senjata” apa pun bisa digunakan untuk menyerang dan merusak lawannya meski dia sudah kehilangan “alat utama sistem kejahatan birahi”-nya.

Jadi, sebaiknya pengebirian bukanlah akhir atau hukuman maksimum. Seorang pemerkosa, apalagi perusak anak-anak, harus dihukum seberat mungkin, dan kebiri sebagai “bonus” alias hukuman tambahan. Negara tak mungkin menjamin bahwa seorang penjahat kelamin tidak akan melakukan kejahatan serupa meski “alat kejahatannya” sudah disita! (***)

20
Okt
13

Saling-silang Perpa…Perppu!!!

Gambar

ADA diskusi publik yang sebenarnya menarik, terkait dengan  Peraturan Perintah Pengganti Undang-undang tentang Mahkamah Konstitusi (Perppu MK) yang ditandatangani presiden beberapa hari lalu. Perppu ini segera akan diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk memdapatkan persetujuan. Peristiwa ini penting untuk membuka mata khalayak awam terhadap tata hukum, pelaksanaan, dan penegakannya di tanah air, terutama setelah tsunami kasus Akil Muchtar mengguncang dan merontokkan harapan serta kepercayaan publik terhadap penegakan hukum.

Sayang sekali publikasi pergulatan pemikiran di antara para ahli, para praktisi, dan para akademisi mengenai hal itu, terganggu oleh heboh tak penting, manakala pemimpin tertinggi negara ini dengan emosional menanggapi rumor tentang sosok Bunda Puteri, yang secara substansial tidak terkait langsung dengan kepentingan masyarakat. Sosok yang disebut-sebut dalam kesaksian di tengah persidangan atas para koruptor itu, sekadar menampilkan gambaran nyata betapa  saling-silangnya persekongkolan canggih pihak-pihak yang terlibat itu untuk membobol uang negara.

Muara dari semua ini adalah penegakan hukum. Namun ketika lembaga tinggi dalam penegakan hukum seperti Mahkamah Konstitusi terkotori orang bermental korup, maka hancurlah harapan masyarakat terhadap tegaknya hukum di tanah air. Jebolnya benteng moral MK oleh perilaku Akil Muchtar, melengkapi runtuhnya kepercayaan publik terhadap hampir semua institusi penegak hukum.

Tak ada satu pun institusi itu yang tidak tercemari personel-personelnya yang bermental korup. Bahkan, proses hukum atas kasus korupsi pun dijadikan arena suap-menyuap sebaimana terungkap dalam peristiwa penangkapan Wakil Ketua Pengadilan Negeri Bandung beberapa waktu lalu, yang kemudian menyeret mantan wali kota dan mantan sekretaris daerah setempat ke balik jeruji tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi.

Ada situasi sangat genting yang sedang melanda penegakan hukum di tanah air. Ada situasi yang oleh banyak pihak dinilai sebagai saat yang memerlukan langkah-langkah darurat untuk mengatasinya. Masyarakat perlu diajak serta memperlajari dan memahami situasi yang sedang terjadi agar mereka makin terbuka matanya, bahwa penegakan hukum bukan semata tanggung jawab para penegaknya, melainkan tanggung jawab bersama.

Dalam konteks inilah kontroversi mengenai Perppu MK menjadi hal penting sebagai pembelajaran kepada masyarakat. Ada pihak yang setuju terhadap langkah kepala negara mengeluarkan Perppu ini, tak kurang pula yang menolak dengan berbagai argumentasi. Baik argumentasi akademis, maupun argumentasi yang sangat bersifat politis belaka sekadar menunjukkan bahwa yang bersangkutan punya kemampuan untuk menolak.

Pihak yang setuju menyatakan,  tidak ada yang salah dengan substansi Perppu itu yang antara lain mengatur tambahan syarat menjadi hakim konstitusi, mekanisme proses seleksi dan pengajuan hakim konstitusi, serta perbaikan sistem pengawasan hakim konstitusi. Adalah tepat  jika calon hakim konstitusi disyaratkan tidak menjadi anggota partai politik dalam kurun tertentu. Lalu, tidak ada salahnya pula jika proses seleksi dan pengajuan calon hakim konstitusi melibatkan panel ahli independen yang dibentuk oleh Komisi Yudisial. Pelibatan panel ahli tidak akan membatasi kewenangan Presiden, Mahkamah Agung, dan DPR dalam mengajukan calon hakim konstitusi.

Pengawasan hakim yang diatur melalui Perppu MK ini tidak melanggar konstitusi. Hakim konstitusi akan diawasi  Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi (MKHK) yang sifatnya independen, bukan oleh Komisi Yudisial. Majelis ini terdiri atas orang-orang yang dipilih KY berdasarkan usulan masyarakat, yakni mantan hakim MK, praktisi hukum, akademisi di bidang hukum, dan tokoh masyarakat yang usianya kurang lebih 50 tahun.

Pihak yang menolak Perppu ini menyandarkan argumentasi pada dasar hukumnya, apakah bertentangan dengan UUD, atau tidak. Bahkan ada yang secara ekstrem menyatakan menolak karena menilai Perppu ini menyalahi aturan. Sebaiknya Perppu hanya dibuat dalam situasi situasi genting  sesuai kebutuhan yang berkaitan dengan isu kesejahteraan. Bukan isu yang menyebabkan tata negara dicederai. Misalnya wewenang yudikatif dan legislatif yang diserobot eksekutif.

Mereka juga mengkritisi aturan pemilihan hakim, yakni pembentukan tim penilai terhadap usulan-usulan Mahkamah Agung (MA)-Presiden-DPR. Menurut mereka, ini potensi buruk yang mengganggu otoritas masing-masing lembaga pemegang kekuasaan tersebut sbg perwujudan kedaulatan rakyat. Keberadaan Tim panel yang punya kekuasaan menilai lembaga-lembaga tinggi ini tidak bisa dibenarkan karena berpotensi mengganggu praktek ketata negaraan.

Sepatutnya tim panel bekerja sebelum pengambilan keputusan oleh DPR, MA, presiden sebagaimana praktek tim seleksi untuk hakim MA selama ini. Sejak amandemen UUD, keberadaan lembaga-lembaga tinggi negara setara, tidak ada yang lebih tinggi. Jika tim panel dibentuk tanpa melalui proses demokratis, melibatkan rakyat secara langsung. Lalu, bagaimana mau menilai putusan politik DPR sebagai perwujudan kedaultan rakyat? Demikian argumentasi mereka.

Dalam konteks inilah publik perlu diberi keleuasaan memperoleh akses informasi, baik terhadap pendapat pihak-pihak yang setuju, maupaun terhadap pandangan mereka yang tidak setuju dan menolak terbitnnya Perppu MK. Di luar itu semua, masyarakat di tanah air sudah tahu belaka bahwa seberapa ideal pun proses pemilihan anggota MK, ternyata tak luput meloloskan ahli hukum yang juga ternyata ahli memanipulasi hukum demi kepentingan pribadinya.

Dengan atau tanpa Perppu, penegakan hukum di tanah air akan tetap terseok-seok, sepanjang orang-orang yang dipercayai untuk menegakkannya malah membengkokkannya sekehendak hati sesuai kepentingan diri dan kelompoknya. Gejala seperti inilah yang terus menerus berlangsung dan disaksikan rakyat tanpa bisa berbuat banyak. Keadaan sudah genting sejak lama, namun kita seperti dininabobokkan, dibiarkan buta hukum, agar dengan mudah diperdaya oleh mereka yang mengerti hukum. **

24
Nov
09

Tragedi Minah


MAJELIS hakim Pengadilan Negeri Purwokerto, Jawa Tengah, menjatuhkan vonis pidana 1,5 bulan penjara dengan masa percobaan tiga bulan kepada Minah (55). Perempuan miskin dan buta huruf ini dinyatakan bersalah, mencuri tiga butir buah kakao dari kebun sebuah perusahaan perkebunan di desanya, awal Agustus lalu.

Saat ini harga kakao basah di pasaran sekitar Rp 7.500. Tiga butir buah kakao seperti yang dicuri Minah akan menghasilkan tiga puluh gram biji kakao basah. Jika dijual, harganya sekitar Rp 2.100. Dalam dakwaan, jaksa menyebutkan nilai dari buah yang dicuri itu Rp 30.000.

Sejak mulai diperiksa polisi akhir Agustus lalu sampai tuntas persidangan 19 November, perempuan ini dengan patuh mengikuti proses hukum. Tak ada barisan pengacara mendampingi, tentu tak pula ia bertelepon dengan aparat penegak hukum, untuk menghadapi perkaranya. Jaksa mendakwanya melanggar Pasal 362 Kitab Undang Undang Hukum Pidana. Ia diancam hukuman enam bulan penjara.

Memang, vonis 1,5 bulan penjara dengan percobaan tiga bulan itu tak membuatnya masuk penjara, kecuali ia melakukan tindak pidana selama masa percobaan. Namun kasus ini tentu saja mengusik rasa keadailan masyarakat.

Di tengah kontroversi penegakan hukum yang dipicu kasus Chandra- Bibit, tersingkapnya praktik-praktik pembengkokan hukum, mafia peradilan dan makelar kasus-kasus besar, maka kasus Minah seakan kian meneguhkan betapa hukum di Tanah Air ini ibarat jaring laba- laba yang hanya menjerat mahluk kecil.

Tragedi Minah mengingatkan kembali kasus Sengkon-Karta di pertengahan 1970-an. Dua lelaki ini dituding merampok dan membunuh pasangan suami-istri di Bekasi. Majelis hakim memvonis masing-masing dihukum 7 tahun dan 12 tahun penjara.

Belakangan terbukti, ada orang lain pelaku sebenarnya. Akhirnya Mahkamah Agung menyatakan mereka bukan pelaku kejahatan dan membebaskan keduanya setelah bertahun-tahun dipenjara. Setelah bebas, Sengkon tewas kecelakaan. Karta meninggal akibat menderita sakit TBC.

Jika dirunut dari kasus Sengkon-Karta hingga kontroversi kasus Chandra-Bibit dan terakhir tragedi Minah, kita melihat betapa selama 35 tahun wajah pelaksanaan penegakan hukum di negeri ini belum juga mampu menerjemahkan apalagi memenuhi rasa keadilan masyarakat.

Enam tahun lalu seorang warga Banjarmasin dihukum empat tahun penjara dan denda Rp 150 juta karena menguasai sepotong pil ekstasi. Di pengadilan yang sama seorang pemilik 1.400 butir ekstasi dipidana sembilan bulan penjara potong masa tahanan dan denda Rp 200 juta.

Nalar sederhana saja bisa dengan cepat menangkap keganjilan dalam proses hukum pada dua kasus ini. Rasa keadilan masyarakat pasti terusik. Jika orang yang membawa seperempat butir pil ekstasi dihukum empat tahun penjara, seharusnya orang yang menguasai 1.400 butir pil yang sama dihukum 5.600 tahun penjara. Tapi, itu tak terjadi.

Kasus Prita yang harus mendekam di balik jeruji besi, karena surat elektroniknya sebagai pelanggan rumah sakit dianggap mencemarkan nama baik. Atau, kasus Aguswandi yang harus meringkuk di sel hanya karena mencuri listrik untuk mengisi batere telepon genggam, adalah contoh mutakhir sistem hukum kita bekerja.

Sejak kasus Sengkon-Karta, jika dirinci dari tahun ke tahun selalu ada kasus yang serupa, mirip, yang esensinya sama, yakni terselenggaranya proses peradilan yang jutru tak mencerminkan rasa keadilan. Hanya saja, banyak yang tak jadi pembicaraan masyarakat. Bisa jadi, masyarakat sudah tak punya harapan lagi untuk mempersoalkannya karena memang sudah kehilangan kepercayaan.

Masyarakat sudah sangat sangsi bahwa hukum bisa ditegakkan. Pengalaman demi pengalaman membuktikan bahwa hukum di negeri ini mengalir seperti layaknya dongeng yang bisa direka sesuai selera sang pendongeng. Pengalaman menunjukkan, hukum seakan bisa dipelintir sejak dalam penyidikan, penuntutan, pembelaan, hingga ke pengadilan.

Kini momentum itu sudah tiba. Persoalannya kemudian, apakah rezim ini betul-betul memiliki komitmen untuk melakukan perubahan besar-besaran dalam proses penegakan hukum, atau hanya akan melanjutkan kebobrokan? Masyarakat hanya bisa menunggu. (*) Lanjutkan membaca ‘Tragedi Minah’

10
Des
08

Dongeng tentang Monas

monas_kaki

PERISTIWA itu nyaris luput dari perhatian. Seorang lelaki yang ditangkap bersama komplotannya atas kepemilikan sejuta butir pil ekstasi, ternyata sudah bebas. Pengadilian Negeri Jakarta Barat yang mengadili kasus ini menghukumnya dengan pidana penjara, satu tahun.

Pria itu, Liem Piek Kiong alias Monas, ditangkap November 2007 melalui drama penggrebekan di Mal Taman Anggrek Jakarta, dilanjutkan dengan pencidukan istri Liem di kediaman Achmad Albar, penyanyi rock ternama di era 80-an.

Sebelumnya, pengadilan yang sama telah menjatuhkan vonis mati kepada istri Monas, Jet Lie Chandra alias Cece, dan rekan bisninysa, Liem Jit Wee dan Chua Lik Chang alias Asok. Sementara istrinya mendekam di penjara menunggu pelaksanaan hukuman sambil melakukan upaya-upaya perlawanan, sang suami sudah melenggang. Bebas!

Aneh? Tentu saja. Itu jika hukum berlaku sebagaimana seharusnya. Tapi di negeri macam ini hukum pun mengalir seperti layaknya dongeng, bisa direka sesuai selera si pendongeng. Bisa tak masuk akal, bisa ganjil, bisa pula seakan dapat dinalar.

Kasus Monas pun ada nalarnya. Begini, kata Jaksa Agung Muda Pidana Umum A H Ritonga, Monas berbeda dengan istrinya dan dua anggota komplotannya itu. Jika ketiga orang itu diadili atas kepemilikan narkotika, maka Monas cuma sebagai saksi.

Ya, saksi –yang kemudian terbukti memiliki dan menggunakan sabu– lantas diproses sebagai tersangka pengguna (bukan pengedar). Karena barang buktinya hanya 1,5 gram, maka hukumannya pun enteng saja. Setahun, potong masa dalam tahanan, potong lain-lain, kini ia sudah menghirup udara segar.

Mau bukti lain tentang keganjilan hukum kita dalam kasus narkoba? Coba saja periksa berita-berita surat kabar, atau bukai arsip persidangan di berbagai pengadilan negeri terutama menyangkut kasus-kasus ini.

Seorang warga di sebuah daerah, misalnya, di dihukum penjara empat tahun dan bayar denda Rp 150 juta. Ia dianggap bersalah karena menguasai seperempat butir pil ekstasi. Selang beberapa waktu, pengadilan yang sama mengganjar seorang pemilik 1.400 butir ekstasi dengan pidana penjara sembilan bulan dan denda Rp 200 juta.

Nalar sederhana saja bisa dengan cepat menangkap keganjilan pada dua kasus ini. Jika orang yang membawa seperempat butir pil ekstasi dihukum empat tahun penjara, seharusnya orang yang menguasai 1.400 butir pil yang sama dihukum 5.600 tahun penjara. Apalagi sejuta butir!

Bisa jadi, realitas hukum seperti inilah yang menyebabkan upaya pemberantasan penyalahgunaan narkoba, seperti tak membuahkan hasil. Bagaimana hukum bisa tegak jika aparat penegaknya ada yang terlibat sejak dalam penindakan, proses penyidikan, proses penuntutan, pembelaan, sampai jatuhnya vonis, bahkan sampai ke dalam penjara.

Ini bisa terjadi karena bisnis narkotik itu melibatkan duit yang betumpuk. Seorang pejabat pernah mengemukakan perkiraan setidak-tidaknya Rp 6 triliun uang dibelanjakan oleh para pecandu narkoba saban bulan di seantero negeri ini.

Duit berkarung-karung ini tentu dengan mudah bisa membutakan mata siapa pun yang tipis iman. Apalagi kalau orang biasa, buta hukum pula, pasti dengan sangat mudah tergiur mendapatkan uang besar secara cepat.

Itu sebabnya, pengedar dan pemakai barang-barang itu kini bukan saja dari kalangan masyarakat yang tingkat kesejahteraan memadai tetapi sudah melibatkan kelompok miskin. Boleh jadi, orang kaya menghamburkan duitnya untuk memperoleh kesenangan melalui narkotika. Kelompok miskin terlibat di dalam bisnis ini untuk memperoleh sedikit kekayaan dengan cara singkat. Lalu ada aparat yang memanfaatkan situasi ini untuk kepentingan dan kesenangan mereka.

Jadi kalau orang seperti Monas bisa melenggang bebas, ya bukan hal yang aneh. Namanya juga negeri dongeng! ***

03
Mei
08

Kartini Abad Kini

 

PEREMPUAN itu melangkah dengan agak ragu sambil menyo­rong­kan tiket dan paspornya ke pramugari. Sang pramugari tersenyum, lalu memintanya menunjukkan boarding pass agar ia bisa atahu di kursi mana penumpang ini harus duduk. “Tiket dan paspornya di­simpan saja, mbak,” katanya.

Rambutnya lurus dengan ujung dibikin keriting, lipstiknya merah menyala, kacamata hitam menutup matanya sementara kabel walkman menjulur dari ku­ping kiri-kanannya. Ia mengenakan rok over-all dari bahan jins biru dengan kaos bulu tebal lengan pan­jang bermotif kulit macan. Sepatunya berhak sangat tebal, dengan kaos kaki warna hitam bergaris-garis merah setengah betis. Jam tangan dengan piringan tebal dan melotot beradu dengan gelang manik-manik warna warni.

Begitu duduk –kebetulan di sebelah saya– di dekat jendela, ditariknya dompet dari ransel kulit kecil, paspornya pun dicabut lagi dari saku ransel, dibukanya. “Aku dari luar negeri nih,” mung­kin itu yang hendak dikatakannya.

Dari dompet panjang dica­butnya amplop, dan ia menarik isinya. Selembar cek bertulisan Huruf Arab dari sebuah bank di Riyadh. Dibolak-baliknya cek itu, se­­­akan ingin menunjukkan, “Urusan gua sudah pakai cek, cing!”. Ia turun di Jakarta dan melanjutkan dengan penerbangan lain ke Surabaya.

Ini mungkin buruh yang baru mudik, pikir saya. Ternyata benar, dari perbincangan sekilas, ia menuturkan sudah setahun bekerja pada seorang saudagar di Riyadh. Ia dizinkan pulang untuk lebar­an, tapi tak akan kembali lagi.

“Kecuali kalau ada ponsor, ‘ana’ pasti berangkat lagi,” katanya. Yang dimaksud ponsor itu, ternya­ta sponsor, penghubung alias calo tenaga kerja yang biasa datang ke desa-desa. Juga ke desanya, katanya sih, di Kediri sana.

Adegan itu teringat kembali ketika beberapa waktu lalu media mas­sa kita dihebohkan oleh kasus Kartini. Kartini yang kita kenal saat ini, tentu saja bukan Putri Je­para yang pikiran-pikirannya dilukiskan –oleh Belanda– cemer­lang dan progresif namun tak berdaya melepaskan diri dari tin­dasan adat yang memberi kebebasan pada suaminya untuk mem­per­laku­kan dia seenak perut dan bawah perut. Lalu diharumkanlah namanya sebagai Putri Sejati.

Kartini abad-21 adalah Kartini dari kampung di Rengas­deng­klok Karawang yang –karena kemiskinan– lantas membiarkan diri diekspor ke tanah seberang, dan terdamparlah ia di Fujairah Uni Emirat Arab.

Kartini diekspor ke sana bersama ratusan, mungkin ribuan, perem­puan lain yang dibetot dari komunitasnya, keluarga, anak dan sua­minya, untuk dipekerjakan sebagai pembantu rumah tangga, kata la­in untuk memperhalus istilah babu dan jongos.

Kartini hamil, atau dihamili, seorang lelaki asal India, dan ia sendirian harus menanggung dosanya. Pengadilan setempat memper­­salahkannya atas kasus perzinaan, dan hukuman untuk tindak pidana itu adalah dirajam sampai mati, sesuai dengan undang-undang setem­pat.

Kerancuan proses penempatan, minimnya mutu dan perlindungan serta kerentanan posisi buruh merupakan titik lemah program penempatan buruh ke Timur Tengah. Terlebih lagi masih ada citra di sebagian masyarakat Arab bahwa pembantu adalah budak yang bisa diperlakukan layaknya sesuka majikan. Oleh karena budak itu sudah dianggap miliknya, mereka bisa melakukan apa saja terhadap budaknya.

Sudah beberapa kali Departemen Tenaga Kerja mengusulkan ke­pada sejumlah negara Arab untuk menandatangani Nota Kesepahaman (MO­U) yang isinya antara lain menyatakan bahwa TKW itu adalah pekerja dan bukannya budak. Tapi negara‑negara Arab itu tidak mau me­nekennya. Artinya, kita tetap tunduk saja pada ketentuan yang mereka berlakukan.

Posisi tawar menawar kita dalam ekspor budak, eh ekspor buruh ini tetap lemah ketika dihadapkan pada kelangkaan kesem­pa­tan kerja di dalam negeri di satu pihak dan peningkatan devisa di pihak lain. Maka dengan penuh semangat kita kirim sebanyak mungkin orang, termasuk yang seperti Kartini, dan ketika kena kasus barulah ribut.

Kartini, dengan keterbatasan berbahasa dan pengetahuan hukum lokal, tentu tak bisa berbuat banyak saat diadili. Bisa jadi, dalam proses persidangan, ia tidak mengerti pertanyaan yang dia­juk­an jaksa karena saat itu ia tidak didampingi oleh penerjemah, dan ia manggut-manggut saja ketika dituding telah berzina.

Kita tentu sepakat, zina adalah perbuatan dosa, dan seorang pen­dosa harus dihukum. Namun kita masih belum mendapat kejelasan, apa­kah kehamilan Kartini me­mang merupakan buah dari perzinaan su­ka sama suka, atau oleh se­bab lain. Misalnya, Kartini tak kuasa menolak atau menghindar dari amuk birahi lelaki yang kemudian me­nye­babkannya hamil.

Persoalannya kemudian adalah, haruskah Kartini mati de­ngan cara dirajam atas ‘dosa’ yang diperbuatnya bersama lawan mainnya itu? Apakah ke­hamilan saja sudah cukup membuktikan bahwa ia berzina dan harus ma­ti karena itu? Apakah orang yang turut me­lakukan perbuatan dosa itu boleh bebas berkeliaran dan lepas dari hukuman?

Dan, masih ba­nyak lagi pertanyaan yang mung­kin muncul, sebelum kita bisa mene­­rima atau menolak pelak­sanaan proses hukum bagi Kartini.

Lepas dari dari legal atau tidaknya Kartini diekspor untuk bekerja di UEA, proses penempatan Kartini merupakan gambaran dari program penempatan buruh Indonesia di mancanegara, khususnya ke Timur Tengah.

Ini juga menguak fakta yang sesungguhnya, bahwa meski zaman per­budakan sudah tinggal sejarah, pada prakteknya kita malah sedang melegalkan perbudakan model baru. Celakanya, sebagaian besar di antara ‘budak-budak’ itu justru berasal dari kaum Kartini, yang –maaf saja– sebagian besar di antara mereka diposisikan sebagai jongos alias babu, atau istilah halusnya pembantu rumah tangga, lebih halus lagi pramuwisma.

Nah, ketika nasib buruk menimpa orang seperti Kartini dan juga Nasiroh, barulah kita tersentak. Pemerintah ribut seakan betul-betul ingin membela seluruh buruh kita yang dikemas dalam pa­ket-paket ekspor tenaga kerja. Namun persoalan sudah ter­lalu rumit sebab kita tidak menanganinya secara benar sejak awal. Ketika muncul kasus per kasus, barulah tindakan penanganan dilakukan sehingga terkesan pemerintah kita membela buruh yang tenaganya diperas untuk meningkatan devisa itu.

Hal yang agak menimbulkan pertanyaan adalah, mengapa pada saat-saat seperti ini para Kartini yang tergabung dalam berbagai lembaga swadaya masyarakat seperti tidak tergerak untuk menun­jukkan peran dan pembelaannya terhadap sesama kaumnya. Ingat ketika kerusuhan Mei, betapa militan para Kartini ini berjuang bahkan bergerilya menolong dan membela, memberi advokasi, dan berdemonstrasi meneriakkan penderitaan para perempuan yang jadi korban kebiadaban amuk massa.

Namun, ketika Kartini abad 21 terpojok di kursi pesakitan nun di negeri seberang sana, hanya sedikit orang di tanah air yang mau bersuara, apalagi memperjuangkannya. Atau ketika mengalami nasib sebagaimana yang menimpa Nirmala Bonat, ( http://curahbebas.wordpress.com)

Padahal, bukan cuma Kartini, Nirmala, dan Nasiroh yang nasibnya tak menentu di tanah seberang (antara 30 – 40 persen perempuan pekerja di sana dilaporkan mengalami perundungan seksual!), sebab di tanah air sendiri masih banyak Kartini lain yang nasibnya harus diper­juangkan. ***

 April 2000Bandung,