MERDEKA. Kata itu kembali disebut, diingat, diresapi, atau sekadar dipekikkan. Tujuh belas Agustus 64 tahun silam, pasangan Soekarno-Hatta mengumumkan kepada dunia bahwa negeri ini merdeka. Lepas dari belenggu kolonial.
Saban tahun, peristiwa itu diperingati sampai ke pelosok negeri. Bahkan di beberapa tempat, kemeriahan dan kesemarakannya kadang melebihi keramaian lebaran. Semua bersukacita. Bergembira. Bersorak. Memekik. Merdeka!
Boleh jadi, banyak yang tak lagi peduli dengan kata itu, kecuali pada saat-saat seperti sekarang, musim agustusan. Yang jelas, merdeka menjadi semacam kata mukjizat, wasiat, dan mungkin seperti mantera, atau malah kata tanpa makna sama sekali.
Kini, kata-kata itu kembali dipekikkan, sambil kadang diikuti pertanyaan dalam hati, betulkah kita sudah merdeka? “Kata siapa kita sudah merdeka? Merdeka itu artinya bebas dari penindasan, dari tekanan dan pengaruh yang tidak sesuai, mandiri, dan bebas berkembang untuk maju,” ujar seorang sosiolog.
Betul juga, di zaman penjajahan Belanda dulu bangsa Indonesia tertindas, terdiskriminasi dan miskin. Sekarang, apakah sudah terbebas dari ketertindasan, diskriminasi dan kemiskinan itu?
Kalau dulu kita masih dikurung kebodohan dan keterbelakangan, apakah setelah 64 tahun merdeka kita sudah bebas dari kebodohan dan keterbeklakangan itu. Bukankah sekadar untuk bisa sekolah pun masih banyak warga kita yang dibelenggu ketakberdayaan membayarnya, tak mampu membeli buku paketnya?
Bersamaan dengan itu, kita juga sedang terjajah arus globalisasi. Negara yang kuat –meski tanpa persenjataan– bisa dengan mudah mencengkeram dan menghisap sumber daya negara lemah, termasuk menguasai informasi dan memaksakan budayanya demi kepentingannya.
Akibatnya, bangsa kita –diakui atau tidak– sedang dijajah budaya hedonis, pikiran konsumtif barang-barang yang diciptakan negara kuat, dan membelinya dengan mengeruk sumber daya alamnya termasuk dengan utang.
Lalu apa arti kemerdekaan yang sudah 64 tahun kita nikmati itu? Tanya saja kepada warga di seluruh pelosok Tanah Air. Mereka bisa merasakan betul betapa setiap hari tak pernah terbebas dari belenggu ketakutan dan kengerian. Rasa aman telah lama harus ditebus dengan kewaspadaan terus menerus.
Ya, ribuan jiwa telah melayang dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan. Demikian selalu diajarkan dalam buku sejarah dan di utarakan kembali dalam pidato resmi. Tapi, berapa ratus ribu jiwakah yang telah mati tanpa proses hukum selama perjalanan bangsa ini menapaki kemerdekaannya?
Seberapa besar pula peran para pengelola negara ini untuk memerdekaan warganya dari rasa takut dan tak nyaman karena saban hari dihadapkan pada praktik korup, ancaman kriminalitas, narkotika, kejahatan kerah putih, dan ancaman terorisme?
Kini kata ‘merdeka’ dipekikkan lagi di pojok-pojok gang, di panggung perayaan karang taruna, hingga di ruang sidang parlemen. Mengapa kemerdekaan itu harus selalu dijunjung tinggi? Karena itu hak paling asasi segala bangsa.
Tapi, coba tanyakan kepada saudara kita di Aceh yang telah kehilangan ribuan putra terbaiknya. Tanyakan pula kepada 3.000-an janda dan anak yatim di Tanah Rencong itu. Tanya juga warga Dayak dan Amungme yang cuma bisa termangu, menyaksikan bumi mereka dikuras dan hasilnya dialirkan ke segenap penjuru bumi, menggetarkan kabel-kabel jaringan bursa dunia. Sementara mereka tetap terbelenggu kemiskinan dan keterbelakangan.
Kemerdekaan yang sudah 64 tahun dihirup ini ternyata juga belum memberikan banyak arti kepada penduduk yang saban hari berbondong antre di kantor eksportir tenaga kerja –kata lain dari buruh– menyusul jutaan saudara mereka yang coba menadah hujan emas di negeri orang.
Di negeri sendiri, boro-boro hujan emas. Cadangan emas yang tersisa di bumi kita pun nyaris tak pernah dinikmati dengan utuh, karena kita belum juga bisa memerdekakan diri dari jaringan bisnis asing yang sudah lebih dahulu menjarahnya habis-habisan.
Merdeka!!
atau
“Merdeka”??