Posts Tagged ‘kalimantan selatan

01
Agu
08

Riwayat Sehelai Jaket

bpostprint.jpg

SEHELAI jaket tergantung di balik rak kaca pada bagian atas dinding depan dalam ruang redaksi di gedung lama Banjarmasin Post. Sekilas mirip jaket satuan tugas (satgas) ormas yang biasanya marak di saat kampanye. Tapi jika dicermati dengan lebih teliti, jaket itu adalah jaket `almamater’ gerakan Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI).

Jelas, penempatan jaket itu di sana bukan tanpa maksud. Bukan sekadar hiasan dan kenang-kenangan romantisme perjuangan mahasiswa, karena mereka yang hilir-mudik berlalu-lalang dan beraktivitas di dalam ruangan itu, hampir semuanya bukan mahasiswa lagi. Sebagian di antaranya malah berusia lebih muda daripada umur jaket tersebut.Bila diurut lagi dari usia pergerakan mahasiswa Indonesia, sangat mungkin pula jaket –yang tampak kusam, tua, dan berdebu karena tak pernah tersentuh oleh petugas pembersih– itu lebih tua empat atau lima tahun dari umur harian ini, Banjarmasin Post: harian terbesar pertama di Kalimantan dan satu di antara sedikit perintis pers nasional yang bisa bertahan hingga kini.

Usia koran ini jelas bukan kanak-kanak lagi, bukan pula remaja yang meledak-ledakkan romantisme perjuangannya secara gegabah. Kalau manusia, pada usia sekarang ini ia sudah mencapai tahap kematangan kedewasaannya, meski mungkin belum sampai pada tahap kebijakan pandita.

Sedangkan untuk sebuah media massa, usia itu adalah perjalanan panjang dari sebuah siklus kerja harian tanpa henti nyaris 24 jam setiap hari dan tujuh hari kerja setiap pekan, saban bulan, sepanjang tahun.

Konsistensi. Itulah salah satu kunci keberhasilan sebuah media, termasuk di dalamnya konsisten terhadap komitmennya untuk melayani khalayak pembaca, konsisten terhadap sikapnya sebagai salah satu pilar demokrasi masyarakat. Hal ini berlaku pula dalam kasus Banjarmasin Post.

Melalui usianya itu pula terlihat bahwa surat kabar ini lahir pada tempo yang nyaris bersamaan dengan bangkitnya kesadaran untuk merombak sebuah tatanan, sebuah ordo yang dianggap tidak sesuai lagi dengan tuntutan kebutuhan masyarakatnya.

Ya, harian ini boleh dikata lahir dari sebuah ordo yang menjungkirbalikkan tatanan lama, sekaligus memposisikan diri sebagai pengontrol ordo yang baru itu sendiri. Namun, celakanya ordo yang melahirkannya itu berkembang tanpa kendali, berubah jadi rezim penindas yang secara otoriter selama sekitar dua pertiga dari 32 tahun usia kekuasaannya.

Apa mau dikata, jangankan Banjarmasin Post — media di daerah yang jauh dari pusat kekuasaan– pada masa itu bahkan media raksasa pun kelimpungan dan kadang harus cerdik berkelit mencari celah aman agar tidak diinjak remuk oleh rezim yang secara sistematis memberangus kebebasan dan memanipulasinya sedemikian rupa lewat aneka regulasi dan `semangat kemitraan’ yang sesungguhnya hanya menguntungkan dan memperkokoh cengkeraman kekuasaan.

Bahwa selama sekian tahun Banjarmasin Post larut dalam kompromi yang kadang `tampak’ begitu intim dengan kekuasaan, itu hanyalah cara agar tidak diberangus dan dengan demikian bisa tetap bernapas supaya dapat terus secara konsisten mengunjungi pembacanya, mendampingi mereka dengan gambaran-gambaran mengenai realitas yang sedang tumbuh dan berkembang melalui kacamata yang tentu beda dengan kacamata penguasa.

Bagaimanapun, dalam beberapa hal, surat kabar ini tetap menjalankan fungsinya mengkritisi perkembangan sosial politik dan budaya yang terjadi di lingkungan di mana ia terbit dan beredar. Sikap kritis yang tampaknya pula dijalankan dengan sangat hati-hati, dengan cara yang tidak langsung menuding dan menonjok, bahkan mencubit pun tampaknya sungkan. Cukup dengan bisik-bisik, toh tetap ada hasilnya.

Periode malu-malu dan serba sungkan yang dijalarkan rezim dari ordo yang baru itu, kini telah berlalu. Dan, Banjarmasin Post lolos dari gulungan badai itu, meski sempat tampak kehilangan orientasi ketika reformasi meledak meluluhlantakkan ordo baru yang sudah lapuk itu. Kedekatan dengan kekuasaan –juga dengan partai yang paling berkuasa saat itu namun ogah disebut partai– membuat media ini sempat sempat agak serba kikuk.

Ini bisa dimaklumi, sebab selama tidak ada reformasi politik menuju ke arah demokratisasi — yang hanya dapat dicapai jika terjadi pelemahan kekuasaan di satu pihak dan terjadi penguatan masyarakat di pihak lain — maka pers juga tidak dapat mengekspresikan peran kontrol sosialnya secara efektif.

Dalam perspektif negara di zaman ordo Soeharto, kecenderungan yang kuat bahwa pers harus mendukung status quo kekuasaan telah mendorongnya memonopoli interpretasi atas regulasi yang diciptakan, bahkan memonopoli interpretasi atas fakta yang seharusnya secara telanjang disajikan. Dan yang lebih parah, memonopoli kebenaran.

Saat itu, perangkat regulasi yang jadi bagian inheren dalam sistem pers yang dibangun, sekaligus merupakan alat pemukul bagi pers yang dianggap merugikan kepentingan status quo. Karena itu, bisa dipahami jika ada masanya Banjarmasin Post seperti terpaksa lebih condong kepada kekuasaan.

Untunglah surat kabar ini segera menemukan kembali keseimbangan dirinya, menghidupkan kembali ruh perjuangan untuk pembebasan sebagaimana yang ditiupkan para perintis dan pendirinya .

Saat inilah kesempatan paling luas untuk segera menempa kembali ruh perjuangan itu agar tetap menggelenyar dalam urat nadi kehidupan para kerabat kerja dan generasi berikut dari pengelola harian ini.

Andai boleh membayangkan, suasana saat-saat ini -tahun-tahun awal pascareformasi– tampaknya tak terlalu jauh dengan saat-saat ketika bayi Banjarmasin Post lahir dari rahim militansi perjuangan para aktivis, menjelang, pada saat, dan setelah kejatuhan ordo yang lama.

Kini ia teah tumbuh dan berkembang dalam gelegak perjuangan menegakkan kebenaran dan memberantas sisa-sisa kezaliman rezim sebelumnya. Ia seharusnya tidak lagi mudah terjebak oleh kekuatan kekuasaan apa pun di luar dirinya, agar bisa dengan leluasa menjalankan fungsi sebagai pendamping masyarakat dalam menempuh arus perubahan, dengan senantiasa menyampaikan kabar, pandangan, dan gambaran yang jujur tanpa prasangka dan jernih tanpa dinodai kepentingan salah satu pihak.

Banjarmasin Post adalah milik masyarakatnya, bukan kepunyaan penguasa, bukan pula milik partai dan bukan, apalagi milik laskar –entah apa itu– yang banyak bermunculan belakangan ini.Karena ia milik masyarakatnya, maka ia akan memegang teguh komitmen pengabdiannya kepada khalayak umum, dari semua golongan, aliran, suku, agama dan ras. Pengabdian itu, juga berarti harus tetap mengkritisi tingkah laku, dan pola perilaku masyarakat serta penguasa yang menjalankan amanat rakyatnya. Pengabdian yang tulus tanpa pamrih, sebagaimana pengabdian para aktivis mahasiswa, ketika mencikalbakali berdirinya surat kabar ini.

Slogan, misi, dan visi pengabdian itulah `jaket almamater’ koran ini untuk menjalani proses di tengah Universitas Kehidupan. Jadi jelas, bukan tanpa maksud orang menaruh jaket KAMI pada dinding ruang redaksi Banjarmasin Post saat berkantor di gedung lama itu. Secara fisik, betul bahwa jaket tersebut sudah tua, kusam, layu dan berdebu. Tapi geletar ruh perjuangannya haruslah selalu menjadi inspirasi segenap pengelola harian ini.

Namun, sejak pindah kantor ke gedung baru berlantai lima, jaket tua “almamater KAMI” itu tak tampak lagi. Entah disimpan di mana. Mudah-mudahan saja spirit dan iman perjuangannya tetap menjalari seluruh awak harian ini. (*)

 

* Yusran Pare Pemimpin Redaksi Tribun Jabar, Bandung, Wakil Pemimpin Redaksi Banjarmasin Post (1998-2000) Catatan: Ditulis ulang dengan penyemuprnaan dari naskah yang dipublikasi 5 Agustus 2000

26
Mar
08

Menguji Kedewasaan

 20082003_antara-rabu190308-132-simulasi_pengamanan_pilkada.jpg

KERUSUHAN di sekitar pemilihan kepala daerah (Pilkada) kembali terjadi. Kali ini di Gorontalo, Sulawesi. Kamis (20/3) massa menyerbu dan merusak Kantor Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) setempat. Diberitakan, seorang peserta aksi tewas kena tembak aparat yang mengamankan huru-hara tersebut, sejumlah lainnya cedera.

Insiden ini menambah panjang daftar kerusuhan terkait dengan pemilihan umum di daerah. Sebelumnya, Makassar diharu-biru aksi massa menyusul pemilihan gubernur Sulawesi Selatan. Sejumlah insiden serupa dengan skala berbeda, terjadi di beberapa daerah, baik sebelum maupun setelah pemilihan berlangsung.

Peristiwa Gorontalo dipicu ketidakpuasan para pendukung pasangan calon walikota dan wakil walikota yang dianulir oleh KPUD terkait persyaratan administratif. Massa marah karena sebelumnya KPUD telah mengesahkan pencalonan tersebut.

Belakangan, atas rekomendasi Panitia Pengawas (Panwas), pencalonan itu dibatalkan. Alasannya, surat pengajuan dari satu di antara tiga partai politik yang mengusung calon itu ditandatangani bukan oleh pengurus definitif partai bersangkutan.

Dari mana pun pemicunya, kerusuhan sudah meletus. Kerusakan sudah terjadi, dan korban sudah jatuh. Sangat boleh jadi, korban maupun keluarganya bukanlah politisi maupun orang yang berkepentigan langusung dengan terpilih atau tidaknya sepasang calon kepala daerah, melainkan warga biasa yang sama sekali tak memahami konstelasi politik dengan segala omong kosong dan taktik serta aneka siasatnya yang kadang licik.

Apa yang terjadi di Gorontalo, dan beberapa daerah lain makin memperkuat bukti-bukti bahwa konflik seputar pilkada kini bukan lagi kecenderungan, tapi nsudah jadi kenyataan dan bisa terjadi di mana saja di tanah air. Apalagi sepanjang tahun ini hingga 2009 berlangsung pilkada di berbagai daerah.

Dalam waktu dekat, sebulan lagi, dua kabupaten di Kalimantan Selatan juga memasuki kemeriahan pesta demokrasi. Hari-hari ini pasangan-pasangan calon bupati dan wakil bupati di kedua ndaerah itu sudah menampilkan diri. Para pendukung dan tim suskes mereka juga terus bergerilya menjaring simpati para pemilih.

Di Jawa Barat pun demikian halnya. Hari-hari ini tiga pasangan calon gubernur dan wakil gubernur sedang berpacu merebut perhatian massa memasuki pemilihan langsung, pertengahan April 2008. Dinamika sudah terasa meningkat. Para pendukung dan tim sukses ketiga pasangan calon pemimpin itu melesat ke berbagai penjuru menjaring simpati.

Menyimak apa yang terjadi di Gorontalo, juga di daerah-daerah lain yang dilanda kerusuhan terakit dengan pemilihan kepala daerah, tampak dengan jelas bahwa konflik –yang begitu mudah meletus jadi kerusuhan– bisa dipicu oleh masalah apa saja. Mulai dari penetapan pasangan calon, urusan internal Parpol yang berimbas pada persoalan KPUD, sampai masalah dana dan pendataan pemilih.

Dalam hal data pemilih, misalnya, banyak daerah masih menghadapi persoalan. Belum lagi soal dana, masalah internal partai, dan lain sebagainya. Jika masalah-masalah itu tidak ditangani secara serius sejak awal, sangat mungkin ia jadi pemicu konflik yang berujung pada kerusuhan. Kerusuhan hanya akan merugikan masyarakat yang mungkin tak ada sangkut paut langsung dengan terpenuhi atau tidaknya syahwat politik para politisi.

Belajar dari peristiwa-peristiwa di daerah lain terkait dengan pilkada, para politisi, tokoh-tokoh masyarakat di daerah yang sedang memasuki pesta demokrasi sudah sepatutnya terus menerus mengupayakan –mulai dari sekadar mengajak, hingga memberikan contoh– bagaimana seharusnya berpolitik secara dewasa.

Masyarakat harus sudah terbiasa mengedepankan prinsip‑prinsip demokrasi dalam pemilu di daerah, sebab prinsip itu sejatinya telah melekat dan jadi bagian hidup mereka. Jika rakyat sudah dewasa dan menunjukkan kedewasaannya, proses pemilihan kepala daerah pun niscaya berlangsung aman dan damai.

Semua tentu berharap situasi aman dan damai terus terjaga sejak mulai pencalonan hingga penghitungan suara betul‑betul rampung. Setelah itu pemenang menjalankan amanat rakyat dengan penuh tanggungjawab, pecundang menerima kekalahannya dengan lapang dada. Pemenang dan pecundang bersama‑sama bahu‑membahu berjuang memajukan daerahnya tanpa melihat lagi siapa kalah siapa menang. ***