Posts Tagged ‘kampanye

01
Feb
10

Syahwat Politik


PEMILIHAN umum Kepala Daerah  di Kalimantan Selatan berlangsung Juni 2010. Dalam tempo yang relatif bersamaan pula, berlangsung hal sama di Kalimantan Tengah.

Secara formal, pemilu belum dimulai karena proses resminya baru akan diawali sekitar akhir Maret. Namun sejak akhir tahun lalu gema pesta demokrasi ini sudah terasa. Bahkan kini para kandidat tanpa malu-malu jor-joran berkampanye mengumbar syahwat politik  melalu aneka macam cara.

Ada tujuh pemilu kepala daerah yang serentak digelar pada bulan yang sama di Kalsel, yakni pemilihan gubernur dan wakil gubernur, dua pemilihan walikota dan wakil walikota, serta empat pemilihan bupati dan wakil bupati. Semantara di Kalteng ada empat pemilihan kepala daerah.

Bisa dipastikan, dinamika sosial selama enam bulan ke depan akan sangat dijalari gejolak politik di dua provinsi bertetangga ini. Pengerahan sumber daya dan sumber dana daerah akan tercurah pada agenda rutin lima tahunan ini, demi memenuhi hasrat politik para pelakunya.

Pengaruhnya akan langung dirasakan oleh masyarakat umum, dan oleh kalangan dunia usaha. Masyarakat umum di beberapa daerah akan merasakan, pada skala tertentu, layanan terhadap mereka akan terganggu oleh aktivitas kepala daerahnya yang maju lagi ke arena pemilihan.

Sulit memisahkan peran antara dia sebagai calon kepala daerah, dengan dia sebagai pemangku jabatan yang kepadanya melekat berbagai keistimewaan perlakuan. Diakui atau tidak, hal ini tetap akan membawa implikasi terhadap kelancarana dan kenyamanan pelayanan terhadap warga.

Di sisi lain, dunia usaha akan terpengaruh oleh perputaran dana yang terkonsentrasi pada bisnis politik, atau bisnis yang terkait dengan aktivitas politik. Dalam periode tertentu, sektor bisnis lain bisa jadi mengalami stagnasi atau bahkan penurunan.

Namun proses ini tetap harus dijalani karena sudah jadi kesepakatan bersama bahwa demokrasi adalah jalan terbaik saat ini bagi bangsa kita yang baru lahir kembali melalui pembedahan total reformasi sebelas tahun silam.

Idealnya, pemilihan langsung bisa jadi obat mujarab bagi borok- borok demokrasi. Dengan catatan, pemilihannya berlangsung jujur, adil, lurus, polos, tanpa tekanan, tanpa politik uang. Meski kita semua paham bahwa mesin politik saat ini tak pernah bisa bergerak tanpa bahan bakar bernama uang.

Kita tentu pula maklum, pemilihan kepala daerah secara langsung memerlukan dana sangat besar, mulai dari ongkos sosialisasi, kampanye para calon, biaya penyelenggaraan, upah para penyelenggara, dan lain sebagainya. Padahal pemerintah tidak cukup makmur untuk menggelontorkan dana tanpa batas bagi terselenggaranya demokrasi seperti ini.

Pemerintah –pusat dan daerah– tentu saja sudah menyusun anggaran untuk membiayai perhelatan demokrasi ini. Namun sudah bisa dipastikan dana itu tidak akan mencukupi. Di sinilah celah itu terbuka. Orang atau pihak-pihak yang berkepentingan dengan kebijakan-kebijakan yang mungkin diambil oleh kepala daerah terpilih, tentu tak akan menyia-nyiakan celah itu.

Taruhlah juragan tambang liar, pengelola judi, pelacuran, bisnis kayu curian atau mereka yang selalu berlindung di balik bisnis “Spanyol” alias separo nyolong, pasti akan mengerahkan segala sumberdaya dan dananya agar kepala daerah terpilih merupakan orang yang tidak akan mengusik bisnis mereka.

Jika kalangan ini –yang menguasai uang– bisa mengongkosi seorang calon kepala daerah supaya terpilih, tentunya sang kepala daerah terpilih akan memihak mereka. Bagaimanapun, kebijakan mereka nanti tidak akan bisa terlepas dari balas budi sang pemodal.

Jika sudah sampai pada tahap demikian, semangat demokratisasi yang terkandung dalam pemilihan langsung kepala daerah, tentu hanya akan jadi bungkus yang akan membuat kita “seolah-olah” demokratis. Padahal semua dari kita tentu sepakat, pemilihan langsung kepala daerah adalah wujud sejati kedaulatan rakyat dalam menentukan pemimpinnya.

Jika berlangsung secara tepat sesuai dengan semangatnya, momentum ini tentu merupakan peningkatan kualitas demokrasi. Setidaknya, keinginan rakyat untuk memilih pemimpin mereka tidak lagi dialirkan melalui wakil yang selama ini justru tampak lebih sering mendustai pihak yang diwakilinya.

Apalagi rakyat masa kini di mana pun sudah tidak sudi lagi terus menerus dikibuli. Mereka pasti akan memilih pemimpin yang paling sesuai aspirasinya, dan tidak akan menjatuhkan pilihan pada orang yang cuma berkoar-koar mengobral janji dan sibuk memoles diri.

04
Jul
09

Cerdas Memilih

TINGGAL selangkah lagi pemilihan presiden dan wakil presiden. Hari-hari menjelang masa tenang dimanfaatkan para kandidat dan barisan pendukungnya untuk mempertajam pengaruh mereka terhadap calon pemilih. Harapannya, tentu saja rakyat pemilih memilih mereka untuk memimpin negeri ini lima tahun ke depan.

centangTiga kandidat presiden dan wakil presiden berlomba menyampaikan visi, misi, dan program mereka dalam berbagai kesempatan di depan publik. Mereka tampil di mimbar debat terbuka yang bisa disaksikan segenap rakyat di seluruh pelosok Tanah Air melalui layar televisi, juga pada saat kampanye terbuka di tempat yang menurut mereka strategis.

Di lain pihak, pendukung mereka juga tak kalah gencar menggempur persepsi masyarakat dengan berbagai cara. Mulai dari iklan di media, pemasangan baliho, spanduk, poster, dan selebaran hingga ‘silaturahmi’ dari rumah ke rumah.

Mencermati gerak-gerik komunikasi politik kandidat dan barisan pendukung mereka sejak mulai dicanangkannya kampanye terbuka hingga menjelang masa tenang, belumlah tampak ada model baru yang lebih kreatif selain dari yang digambarkan di atas.

Sedikit perbedaan dari kampanye di masa sebelumnya, adalah debat terbuka yang digelar oleh Komisi Pemilihan Umum. Dari serangkaian debat antarkandidat itu tampaklah bahwa para politisi kita belum benar-benar mampu melibatkan diri dalam intensitas adu pendapat yang sesungguhnya.

Perdebatan atas topik-topik yang disajikan belum menyentuh inti persoalan dan bagaimana persoalan itu diselesaikan dalam kenyataan manakala mereka terpilih sebagai pemimpin. Adu argumentasi antarmereka, masih sebatas jargon normatif, tidak ada yang langsung menyentuh tataran konkret. Kalau pun ada saling sindir, tak lebih dari semacam sindiran politik bernuansa guyonan.

Debat capres — dalam format terbatas seperti yang dilgelar KPU– tidak akan berpengaruh banyak terhadap sikap calon pemilih. Sebab sangat formal, sehingga tidak akan mengubah pilihan sebagian besar publik karena publik juga sudah mengenal dan memiliki referensi calon yang ada.

Demikian halnya kampanye terbuka melalui pemasangan aneka atribut di tempat umum, semuanya masih sloganistik dan tidak mendidik masyarakat pemilih, karena materinya cuma omong kosong politik. Spanduk dan baliho kampanye itu sekadar menjadi alat bagi tim sukses untuk perang urat saraf. Materinya pun hanya untuk membantah atau bahkan menjatuhkan calon lain.

Pola kampanye sloganistik seperti itu hanya menunjukkan kekosongan visi atau ideologi pembuatnya, yakni masing-masing tim sukses pasangan calon presiden dan wakil presiden. Akibatnya, yang terjadi ialah perang slogan dan simbol. Sebab, hanya itu yang bisa mereka dilakukan di tengah-tengah ketidakpastian ideologi yang diperjuangkan masing-masing.

Bukan hanya kinerja kampanye seperti itu yang membuat rakyat harus mengelus dada. Realitas politik hari-hari ini telah menunjukkan bahwa hubungan emosi antara rakyat dengan elitenya sudah terputus.

Mereka melupakan rakyat yang dengan segala kepolosan, keiklasan, ketidaktahuan, keluguan, dan segala harapannya telah memilihnya sebagai wakil mereka di parlemen. Namun manakala memasuki putaran pemilihan presiden, rakyat kembali dianggap tak tahu apa-apa dan disodori begitu saja materi kampanye yang sebagian besar justru melecehkan nalar dan nurani rakyat.

Tak apalah, seminggu lagi semuanya akan berakhir. Rakyatlah yang akan menentukan siapa yang mereka anggap paling layak memimpin. Mencontreng di balik bilik suara cuma perlu waktu tak sampai lima menit, dan hasilnya akan menentukan perjalanan bangsa ini, setidaknya untuk lima tahun ke depan.

Jadilah pemilih cerdas, dan tahu benar apa risikonya bila asal pilih.***

04
Apr
09

Negarawan vs Pramugari

pramugarivsnegarawan

HIRUK-pikuk kampanye yang menyita perhatian publik segera berakhir. Hari ini dan besok, dapat dipastikan para pesertta pemilu akan memanfaatkan kesempatan terakhir mereka untuk membujuk, merayu, dan –kalau perlu– memaksa rakyat, memilih partai dan para calon anggota legislatif mereka.

Di antara ingar-bingar pesta demokrasi yang beritanya menjejali aneka media massa, ada satu peristiwa kecil di negeri tetangga yang mungkin luput dari perhatian karena dianggap “tidak relevan” dengan isu utama di tanah air.

Harian Sydney Morning Herald Australia, dalam terbitan Jumat kemarin mewartakan, Perdana Menteri (PM) Negeri Kanguru itu, Kevin Rudd, meminta maaf pada seorang pramugari yang pernah dibentaknya Januari lalu.

Diberitakan, insiden kecil terjadi dalam sebuah perjalanan seusai muhibah dari Port Moresby (Papua Nugini) ke Canberra dengan menggunakan pesawat resmi milik Angkatan Udara Australia (RAAF – Royal Australia Air Force).

Saat ditawari makan, sang perdana menteri meminta santapan yang tidak mengandung daging. Sang pramugari menjelaskan, saat itu menu yang dikehendaki perdana menteri tidak tersedia. Kepala pemerintahan ini berang, ia membentak sang pramugari. Sang pramugari beringsut dan menangis di kabinnya lalu melapor pada seniornya.

Sekilas tak ada yang istimewa dalam insiden ini. Adalah wajar jika seorang pemimpin pemnerintahan menegur staf  yang sedang melayani perjalanan kenegaraannya. Bahwa staf itu merasa tersinggung, itu pun sah-sah saja dan sangat biasa.

Hal yang menarik dalam insiden ini adalah, baru tiga bulan kemudian sang kepala negara mengetahui bahwa sikapnya telah membuat sang pramugari tersinggung, bersedih, menangis. Karena itu dia meminta maaf.

Pada sisi inilah kita melihat mengapa insiden ini penting disimak dan dijadikan cermin. Ada persoalan menyangkut sikap seseorang terkait dengan posisi dan kedudukannya, manakala berhubungan dengan pihak lain yang jaraknya sangatlah jauh. Seorang kepala pemerihtahan, berhadapan dengan soerang pesuruh. Seorang pemimin negara, terhadap satu di antara rakyatnya.

Dilihat dari posisi hirarkis, sang perdana menteri berhak saja menegur dan membentak pelayan yang dinilainya tidak patut. Namun sebagaimana diberitakan, Rudd segera menyadari bahwa ucapan dan tindakan itu telah melukai seorang pelayan di dalam penerbangan.

Dia mengatakan, sebagai manusia, dia tidak sempurna. Semua orang berbuat kesalahan, termasuk Perdana Menteri. Karena itu, ia menyesal dan minta maaf jika tindakannya telah membuat sedih seseorang.

Tentu saja tak ada tidak tahu, apakah sikap dan permintaan maafnya itu muncul dari lubuk hati yang paling dalam, atau sekadar retorika politik demi menampilkan citra sebagai pemimpin yang humanis. Yang jelas, hal seperti ini sebaiknya yang jadi ciri setiap orang, yakni secara kesatria bersedia mengakui kesalahan dan meminta maaf.

Peristiwa kecil dari negeri tetangga ini kemudian jadi terasa relevan di tengah riuh rendah pesta politik di tanah air hari- hari ini. Kita tengah dilarutkan dalam situasi harus memilih para pemimpin, para negarawan, mulai dari tingkat kabupaten dan kota, provinsi, hingga ke tinkat pusat.

Rakyat di tanah air sudah menyaksikan, bagaimana para pemimpin politik, para petinggi negara yang mendukung dan didukung partai, memamerkan jurus-jurus politik mereka. Kita pun sudah melihat bagaimana para politisi kawakan dan politikus karbitan berlomba jual kecap dan obral janji serta “rayuan gombal politik” untuk memperolah dukungan.

Masa kampanye telah memberi rakyat kesempatan untuk menilai, seberapa tinggi rasa kemanusiaan para politisi itu, seberapa besar sikap kesatria mereka, seberapa dalam komitmen mereka pada kepentingan rakyat.

Masa kampanye juga telah memberi pelajaran kepada halayak, bahwa rakyat tetap terpinggirkan manakala jalanan dikuasai massa partai. Bahwa para petinggi partai itu tetap lebih mementingkan diri dan kelompok mereka ketimbang kepentingan bangsa, kecuali dalam pidato-pidatonya.

Padahal yang sedang dibutuhkan rakyat Indonesia hari-hari ini dan ke depan adalah para pemimpin dan para negarawan sejati, bukan yang cuma pintar omong kosong di atas panggung. **

03
Apr
09

Dan, Sandiwara pun Usai

panggungsandiwara1q

PANGGUNG sandiwara kampanye sudah mencapai titik akhir. Calon anggota legislatif, juru kampanye, petinggi partai politik, sudah terjun menemui massa di berbagai kota. Berbagai slogan sudah dipekikkan, aneka janji diteriakkan, bersamaan dengan berbagai manuver di luar panggung kampanye.

Semua perhatian pemimpin negeri dari pusat hingga daerah seolah tercurah hanya untuk kampanye sesuai kepentingan masing-masing, yang kadang harus merampas kenyamanan dan acapkali mengganggu kelancaran proses pelayanan publik.

Menyimak pelaksanaan kampanye terbuka selama sepekan lalu, publik akan dengan mudah menangkap bahwa apa yang dilakukan elit politik belumlah beranjak dari pola lama.

Pertama, mengintensifkan kampanye tertutup, mulai dari menggelar pertemuan tidak resmi, mendatangi warga dari pintu ke pintu, hingga memperbanyak atribut dan memperluas lokasi persebarannya. Kedua, menebar janji dan pesona melalui pidato politik yang disampaikan petinggi dan juru kampanye partai.

Memang banyak cara dan manuver yang mereka lakukan, namun umumnya dua model itulah nyang paling menonjol sebagaimana yang bisa diamati dari laporan media massa.

Jika saja publik memiliki waktu dan minat untuk mencermati dengan sedikit lebih teliti, mungkin mereka akan menangkap kesan bahwa di samping tidak kreatif dan tidak inovatif, kampanye itu pun tak lebih dari pameran keangkuhan dan parade hal-hal yang bertolak belakang.

Hampir semua juru kampanye –di luar pendukung pemerintah– meneriakkan keburukan, kelemahan, dan ketakberhasilan pemerintah. Dengan angkuh mereka mengklaim diri sebagai yang terbaik bagi Indonesia masa depan.

Arogansi yang sama juga dilakukan juru kampanye partai yang tokohnya sedang berada di dalam pemerintahan. Tanpa rasa malu mereka mengklaim berbagai hal yang disebutnya sebagai keberhasilan, dan mengakuinya sebagai keberhasilan partai mereka.

Jika masyarakat tak cermat mencernanya, mereka bisa terjebak oleh logika semu yang sesungguhnya menipu. Seolah masuk akal, padahal tidak nalar. Seolah logis, padahal gombal.

Selama sepekan lalu publik menangkap bahwa kampanye hanyalah arena untuk saling caci dan baku maki. Kampanye hanyalah wadah untuk menunjuk diri sendiri sebagai yang terbaik. Kampanye adalah kesempatan sangat terbuka untuk menuding pihak lain dan memburukkannya.

Keangkuhan tidak saja tersirat dan tersurat serta terucapkan pada pidato juru kampanye, melainkan juga tampak dari cara mereka — antara lain melalui pengerahan massa– yang ‘menindas’ masyarakat di jalan raya maupun di tempat umum. Rakyat dipaksa mengalah dan memberi jalan serta menyediakan ruang bagi arak-arakan massa dan aktivitas kampanye mereka.

Sisi lain yang bertolak belakang, juga tampak sejak kampanye tertutup dimulai dan makin parah pada kampanye terbuka. Simak saja atribut dan pameran narsisisme para politisi (dan calon politisi) itu.

Intinya, semua menyatakan akan turut menciptakan pemerintahan yang bersih, membela rakyat kecil, dan lain sebagainya. Namun bersamaan dengan itu pula mereka ramai-ramai mengotori kota dan merusak keindahan tata ruang, dengan tindakannya memasang atribut di sembarang tempat.

Biasanya, makin dekat ke hari pemilihan umum kian kencang dan gencar aktivitas peserta pesta demokrasi, makin runcing pula benih-benih perseteruan maupun keintiman politik mereka.

Masyarakat berharap, meskipun tensi politik makin tinggi, tak perlulah diiringi peningkatan ketegangan dan permusuhan. Sebab semua yang sedang kita lakukan dalam pesta politik ini semata demi keselamatan dan kesejahteraan bangsa.

Dan, kita sadari betul, semua ini cuma panggung sandiwara kehidupan. ***

08
Jan
09

Jurkam Pelat Merah

kontrolkampanye

MENTERI Dalam Negeri Mardiyanto mewanti-wanti para kepala daerah untuk tidak menggunakan fasilitas negara saat berkampanye dalam pemilihan umum 2009. Para juru kampanye juga di dilarang menarik simpati publik dengan cara memburuk-burukkan kebijakan pemerintah.

Untuk menjaga agar proses politik tidak dinodai praktek-praktek kampanye yang tidak etis, Menagri mendesak Komisi Pemilihan Umum (KPU) segera menerbitkan aturan pelaksanaannya, sebagai dasar Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) untuk mengontrol aktivitas partai dan para juru kampanye.

Peraturan Nomor 19 Tahun 2008 tentang Pedoman Pelaksanaan Kampanye Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD, yang ditetapkan KPU 30 Juni 2008 antara lain menegaskan, presiden, wakil presiden, menteri, gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, wali kota, dan wakil wali kota tidak boleh menggunakan fasilitas yang terkait jabatannya kecuali fasilitas pengamanan bagi pejabat negara sesuai aturan perundang-undangan.

Disebutkan pula, para pejabat boleh dan bisa berkampanye sepanjang ia mengambil cuti di luar tanggungan negara. Cuti dan jadwal dilaksanakan harus memperhatikan keberlangsungan tugas penyelenggaraan negara dan pemerintahan daerah. Permohonan izin cuti harus diajukan ke atasan masing-masing.

Jika mencermati aturan tersebut, maka peringatan Mendagri bisa kita anggap sebagai penegasan tentang sikap pemerintah untuk menjamin terselenggaranya pemerintahan yang bersih dan berwibawa.

Bersih, karena jika semua pejabat taat pada aturan main yang berlaku, berarti penyelenggaraan birokrasi dan layanan publik diharapkan bisa terbebas dari kepentingan politik yang kerap kali ditandai praktek-praktek kotor.

Berwibawa, karena memberi gambaran bahwa meskipun pejabat negara itu berasal dari partai politik, ia mampu bersikap profesional ketika menyelenggarakan tugas-tugas kenegaraan. Ia bekerja hanya untuk kepentingan seluruh lapisan dan golongan masyarakat tanpa embel-embel kepentingan lain.

Persoalaannya kemudian adalah, bisakah kita semua menjamin pihak- pihak yang terkait secara konsekuen mematuhi aturan tersebut? Bisakah kita semua mengawal aturan tersebut di lapangan sehingga tidak terjadi praktek yang jelas-jelas maupun samar-samar melanggar, atau praktek-praktek yang seolah taat asas tapi sesungguhnya bertentangan?

Hari-hari ini hampir semua pejabat negara adalah orang partai. Sebagian di antaranya, malah merangkap jabatan sekaligus sebagai ketua, atau setidaknya unsur pimpinan partai. Mulai dari presiden, gubernur, bupati, wali kota, dan wakil-wakil mereka, umumunya orang-orang partai.

Sebagai orang partai –apalagi petinggi partai– mereka akan sangat berkepentingan partainya memenangi pemilu karena dengan itu pula eksistensinya akan tetap terpelihara.

Sebagai pejabat negara, mereka memiliki akses yang lebih besar dan lebih leluasa untuk memanfaatkan segala sumberdaya dan fasilitas negara, sekaligus mengaturnya agar pemanfaatan tersebut masih dalam koridor perundang-undangan. Dengan logika pilitik yang seringkali menjungkirbalikkan akal sehat, semua itu selalu bisa diatur.

Tentu saja kita hanya bisa berharap bahwa para pejabat –yang merangkap sebagai petinggi partai– senantiasa bersikap kesatria, jujur, dan konsisten. Meski kita semua pun tahu, bahwa sikap-sikap tersebut tak dikenal dalam dunia politik kita selama ini. ***