Posts Tagged ‘karta

24
Nov
09

Tragedi Minah


MAJELIS hakim Pengadilan Negeri Purwokerto, Jawa Tengah, menjatuhkan vonis pidana 1,5 bulan penjara dengan masa percobaan tiga bulan kepada Minah (55). Perempuan miskin dan buta huruf ini dinyatakan bersalah, mencuri tiga butir buah kakao dari kebun sebuah perusahaan perkebunan di desanya, awal Agustus lalu.

Saat ini harga kakao basah di pasaran sekitar Rp 7.500. Tiga butir buah kakao seperti yang dicuri Minah akan menghasilkan tiga puluh gram biji kakao basah. Jika dijual, harganya sekitar Rp 2.100. Dalam dakwaan, jaksa menyebutkan nilai dari buah yang dicuri itu Rp 30.000.

Sejak mulai diperiksa polisi akhir Agustus lalu sampai tuntas persidangan 19 November, perempuan ini dengan patuh mengikuti proses hukum. Tak ada barisan pengacara mendampingi, tentu tak pula ia bertelepon dengan aparat penegak hukum, untuk menghadapi perkaranya. Jaksa mendakwanya melanggar Pasal 362 Kitab Undang Undang Hukum Pidana. Ia diancam hukuman enam bulan penjara.

Memang, vonis 1,5 bulan penjara dengan percobaan tiga bulan itu tak membuatnya masuk penjara, kecuali ia melakukan tindak pidana selama masa percobaan. Namun kasus ini tentu saja mengusik rasa keadailan masyarakat.

Di tengah kontroversi penegakan hukum yang dipicu kasus Chandra- Bibit, tersingkapnya praktik-praktik pembengkokan hukum, mafia peradilan dan makelar kasus-kasus besar, maka kasus Minah seakan kian meneguhkan betapa hukum di Tanah Air ini ibarat jaring laba- laba yang hanya menjerat mahluk kecil.

Tragedi Minah mengingatkan kembali kasus Sengkon-Karta di pertengahan 1970-an. Dua lelaki ini dituding merampok dan membunuh pasangan suami-istri di Bekasi. Majelis hakim memvonis masing-masing dihukum 7 tahun dan 12 tahun penjara.

Belakangan terbukti, ada orang lain pelaku sebenarnya. Akhirnya Mahkamah Agung menyatakan mereka bukan pelaku kejahatan dan membebaskan keduanya setelah bertahun-tahun dipenjara. Setelah bebas, Sengkon tewas kecelakaan. Karta meninggal akibat menderita sakit TBC.

Jika dirunut dari kasus Sengkon-Karta hingga kontroversi kasus Chandra-Bibit dan terakhir tragedi Minah, kita melihat betapa selama 35 tahun wajah pelaksanaan penegakan hukum di negeri ini belum juga mampu menerjemahkan apalagi memenuhi rasa keadilan masyarakat.

Enam tahun lalu seorang warga Banjarmasin dihukum empat tahun penjara dan denda Rp 150 juta karena menguasai sepotong pil ekstasi. Di pengadilan yang sama seorang pemilik 1.400 butir ekstasi dipidana sembilan bulan penjara potong masa tahanan dan denda Rp 200 juta.

Nalar sederhana saja bisa dengan cepat menangkap keganjilan dalam proses hukum pada dua kasus ini. Rasa keadilan masyarakat pasti terusik. Jika orang yang membawa seperempat butir pil ekstasi dihukum empat tahun penjara, seharusnya orang yang menguasai 1.400 butir pil yang sama dihukum 5.600 tahun penjara. Tapi, itu tak terjadi.

Kasus Prita yang harus mendekam di balik jeruji besi, karena surat elektroniknya sebagai pelanggan rumah sakit dianggap mencemarkan nama baik. Atau, kasus Aguswandi yang harus meringkuk di sel hanya karena mencuri listrik untuk mengisi batere telepon genggam, adalah contoh mutakhir sistem hukum kita bekerja.

Sejak kasus Sengkon-Karta, jika dirinci dari tahun ke tahun selalu ada kasus yang serupa, mirip, yang esensinya sama, yakni terselenggaranya proses peradilan yang jutru tak mencerminkan rasa keadilan. Hanya saja, banyak yang tak jadi pembicaraan masyarakat. Bisa jadi, masyarakat sudah tak punya harapan lagi untuk mempersoalkannya karena memang sudah kehilangan kepercayaan.

Masyarakat sudah sangat sangsi bahwa hukum bisa ditegakkan. Pengalaman demi pengalaman membuktikan bahwa hukum di negeri ini mengalir seperti layaknya dongeng yang bisa direka sesuai selera sang pendongeng. Pengalaman menunjukkan, hukum seakan bisa dipelintir sejak dalam penyidikan, penuntutan, pembelaan, hingga ke pengadilan.

Kini momentum itu sudah tiba. Persoalannya kemudian, apakah rezim ini betul-betul memiliki komitmen untuk melakukan perubahan besar-besaran dalam proses penegakan hukum, atau hanya akan melanjutkan kebobrokan? Masyarakat hanya bisa menunggu. (*) Lanjutkan membaca ‘Tragedi Minah’