KEMARAHAN. Itulah yang tampak pada pernyataan dan ungkapan tokoh politik –terutama dari Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS)– saat diwawancara reporter televisi, terkait dengan keputusan Yudhoyono menggandeng Budiono.
Berbagai dalih dilontarkan untuk memperkuat penolakan dan ketidakpuasan mereka atas pilihan Yudhoyono dan Partai Demokrat terhadap pendampingnya.
Duet capres dan cawapres dari Partai Demokrat belum resmi diumumkan. Informasi yang sengaja dibocorkan itu kontan meledakkan kontroversi di kalangan peserta koalisi. Para politisi menampilkan wajah aslinya, dan pers mendapat santapan hangat. Dalam tempo singkat kontroversi itu jadi wacana publik.
Disadari atau tidak, informasi yang sedang ditunggu banyak pihak –terutama penggiat politik– itu dialirkan pada awal pekan ini bersamaan dengan peringatan ‘Insiden Mei’ yang jadi puncak reformasi di tanah air.
Dinamika politik hari-hari ini tidak bisa dilepaskan dari apa yang terjadi pada 11 tahun silam saat gerakan reformasi mengantarkan bangsa Indonesia ke gerbang demokratisasi. Suatu kewajaran andai elemen bangsa ini tetap memperingatinya, sekaligus menoleh sejenak ke masa silam untuk memperoleh perspektif yang lebih baik bagi langkah ke depan.
Ingar bingar percaturan politik kekuasaan diselingi pamer kemarahan tokohnya, memalingkan perhatian publik dari momentum reformasi. Padahal momen itulah yang membukakan jalan bagi aktor politik, sehingga mereka bisa mencapai panggung masing-masing saat ini.
Tidak saja di ibu kota yang jadi pusat gempa politik, di sejumlah daerah pun kita melihat kecenderungan yang hampir sama. Saling dorong dan baku tarik pengaruh di antara elite politik, dan antara elite politik dengan pelaksana pemerintahan melalui isu yang tidak langsung menyentuh kepentingan rakyat.
Kita melihat, sebelas tahun pascareformasi ini telah digunakan dengan sangat baik oleh para pendosa untuk menghapus jejaknya. Bahkan kini ada di antara mereka yang tampil sebagai pengawal dan mengesankan diri sebagai tokoh paling reformis.
Rakyat dilarutkan dalam situasi sedemikian rupa sehingga perhatiannya teralih dari agenda reformasi. Keriuhrendahan yang mereka bikin, telah memaksa rakyat melupakan arsitek politik kerusuhan.
Insiden Mei sebelas tahun silam adalah puncak perubahan yang ditandai berbagai kerusuhan yang menewaskan dan ‘menghilangkan’ banyak orang. Hingga kini, tak ada satu pun dari kasus kerusuhan itu yang diselesaikan dengan tuntas.
Di Banjarmasin, misalnya, peristiwa kelam 23 Mei 1997 tak pernah jelas duduk perkara pertanggungjawabannya. Demikian pula insiden 27 Juli 1996 di Jakarta yang kemudian melahirkan PDI Perjuangan.
Peristiwa pelanggaran berat hak asasi manusia seperti yang terjadi di Sambas, Sangau Ledo (Kalbar), Sampit (Kalteng), tragedi Talangsari (Lampung), Wamena (Papua), Kupang (NTT), Ambon (Maluku), Poso (Sulawesi), Aceh, dan lain-lain, juga mengalami nasib sama, seolah sengaja dibiarkan terkubur waktu.
Omong kosong dan silat lidah politik yang dipamerkan elite membuat kita lupa tentang dosa kemanusiaan rezim sebelumnya. Berkat reformasi, rezim pun silih berganti melalui pemilu demi pemilu, namun belum ada perubahan signifikan yang bisa memberi harapan besar dan angin segar kepada rakyat.
Tak satu pun di kalangan petinggi partai yang ingat bahwa posisi mereka sekarang amat ditentukan gerakan demi gerakan yang berpuncak pada reformasi Mei.
Rezim sudah berulangkali berganti, namun banyak hal yang tak kunjung selesai dan seakan sengaja dihapus dari ingatan kolektif masyarakat. Ya, rakyat mungkin bisa dibuat lupa, tapi ingatan sejarah akan tetap mencatatnya.