Posts Tagged ‘kemiskinan

23
Sep
08

Parodi Pasuruan

SENIN 15 September 2008 mestinya jadi hari hitam, hari berkabung, tidak saja bagi warga Pasuruan Jawa Timur, melainkan bagi siapa pun penduduk negeri ini yang punya hati nurani. Ya, di tengah terik siang hari bolong, sang maut menderu-deru mencabuti nyawa orang-orang miskin yang sedang berharap dapat percikan sedikit harta dari seorang dermawan.

Hari itu, juga menandai parodi paling dramatis di tanah air, ketika rakyat harus baku desak hingga jatuh bergelimpangan dan satu persatu meregang ajal demi uang Rp 30.000 rupiah, sementara di Jakarta, Gedung Parlememen tempat wakil-wakil raykat bercokol “basah kuyup” oleh semburan uang sogok, bernilai miyaran rupiah!!

Jika rakyat harus mati tergencet luapan massa hanya untuk tiga lembar puluhan ribu perak, maka wakil mereka paling pelengos malu-malu (sekaligus memalukan), megakui atau menepis ataui pura-pura tidak tahu ada uang mengalir ke pundi-pundi .. eh, rekening mereka.

Jika rakyat baku himput berebut sedekah puluhan ribu perak, atau bantuan langsung tunai empat ratusan ribu perak, maka para pembawa acara dini hari di televisi –sambil cengangas-cengenges- – membagi-bagi uang jutaan rupiah lewat pertanyaan-pertanyaan bodoh. Aneh atau tidak, itulah sepotong parodi di tanah air kita hari-hari ini.

Tersentuh dan mungkin “tersakiti” oleh insiden itu, seorang sahabat saya, Adityas Annas Azhari wartawan Tribun Jabar menulis begini:

Tragedi Kemiskinan

KITA baru saja melihat tragedi kemiskinan di bulan suci ini. Niat baik seorang pengusaha kaya raya untuk menyebarkan zakat kepada orang tak berpunya justru menjadi mimpi buruk bagi si miskin yang akan menerimanya. Sedikitnya 21 orang (miskin) tewas terinjak-injak atau kurang oksigen akibat berebut zakat dari pak haji di Pasuruan.

Pascareformasi ini sebenarnya badan-badan amil zakat telah membuat berbagai fasilitas untuk membayar zakat. Lembaga-lembaga seperti rumah zakat, dompet dhuafa, dan sebagainya telah membuat program jemput zakat dan transfer zakat.

Orang kaya cukup memindahkan sejumlah uang dari handphone-nya melalui phone banking ke rekening lembaga zakat. Atau mereka tinggal minta lembaga zakat itu mendatanginya untuk mengambil uang. Urusan pembagian zakat serahkan saja pada lembaga itu karena mereka pasti sudah tahu sasaran mana saja dan bagaimana mengelola zakat itu.

Masalahnya sekarang adalah ketidakpercayaan, kesombongan, ketidaktahuan (kebodohan) dari si kaya terhadap lembaga zakat itu, dan mungkin juga lembaga zakat dengan teknologi yang memudahkan belum menjangkau kota kecil semacam Pasuruan. Hal ini yang membuat tragedi orang miskin berdesak-desakan untuk mendapat uang/bantuan menjadi pemandangan setiap tahun menjelang lebaran di hampir setiap kota di negeri ini.

Persoalan lainnya adalah mental mengemis alias ingin selalu diberi. Mental ini kemudian cenderung dipupuk para elite sehingga membiarkan orang miskin menjadi pengemis di mana-mana, khususnya di kota-kota besar. Para orang miskin itu pula dengan mudah digiring untuk beramai-ramai menerima sumbangan yang ujung-ujungnya dipolitisasi demi kemenangan politik atau bisnis dari elite atau parpol.

Coba saja, mengapa tak ada ketegasan dari pemerintah pusat atau daerah yang mengeluarkan aturan, “Dilarang keras membagi-bagikan sembako, uang, atau zakat secara massal kepada orang-orang miskin.” Atau ada aturan, pembagian zakat, bantuan, dan sumbangan harus disalurkan melalui lembaga resmi yang terdaftar dan teraudit.

Akibat tidak ada aturan tegas ini mental saweran terus terjadi di mana-mana. Ini menjadikan masyarakat miskin sangat bergantung pada pola bantuan yang didistribusikan secara massal. Pola bantuan seperti itu justru tidak efektif mengentaskan kemiskinan.

Ironisnya lagi, para politisi dan saudagar kaya negeri ini tetap saja tak malu menghambur-hamburkan uang demi meraih kursi kekuasaan di parlemen atau sekadar memopulerkan namanya.

Mental feodal yang ingin disembah-sembah dan dianggap penting oleh para jelata masih menghinggapi para elite negeri ini. Banyak tokoh ingin dianggap dermawan di mata masyarakat atau bawahannya.

Akhirnya, Tragedi Pasuruan, Senin (15/9), membuat kita harus mengkritisi paparan pemerintah yang menyebut angka kemiskinan cenderung turun berdasarkan data Biro Pusat Statistik (BPS). Di saat minyak tanah dan gas elpiji langka, harga bensin naik, dan harga-harga sembako makin menggila menjelang lebaran, pantaskah kita yakin bahwa kemiskinan terus menurun? (*)

01
Feb
08

Politik Poco-poco

poco-pocoan.jpg
ORANG mengenalnya sebagai lagu dan tarian khas Minahasa, Sulawesi Utara, meski sejatinya Poco-poco berasal dari Ambon, Maluku. Mulai populer awal 1990-an, hingga kini masih sering digelar dalam berbagai kesempatan pesta gembira.
Ciri poco-poco, step-nya patah-patah dengan arah berganti-ganti pada hitungan 1-2-3-4. Satu langkah kaki diayun ke depan, namun buru-buru mengayun lagi selangkah ke belakang seiring irama yang mudah diikuti.
Balenggang pata-pata
Ngana pe goyang pica-pica
Ngana pe bodi poco-poco
Selain dipopulerkan oleh kalangan militer, tari pergaulan ini juga jadi materi pelengkap di sanggar-sanggar bugar. Disisipkan di tengah latihan aerobik, dengan gerakan yang bisa lebih dinamis karena musik pengiringnya lebih rampak.
Entah karena presiden Yudhono pensiunan militer yang mungkin sesekali pernah berpoco-poco bersama pasukannya, atau karena mantan presiden Megawati Soekarnoputri gemar menari poco-poco dan memahami betul “filosofi gerak” tarian itu, sehingga ia menuding (pemerintahan) Yudhoyono ibarat poco-poco. Bergerak di tempat, cuma sekadar menghibur diri dan orang lain.
Cuma ngana yang kita cinta
Cuma ngana yang kita sayang
Cuma ngana suka biking pusing
Kritik itu dilontarakan Mega terhadap gerak-gerik pemerintah saat ini yang dinilainya tidak berhasil mengubah keadaan menjadi lebih baik. Kemiskinan bukannya semakin berkurang, malah justru meningkat, kata Mega.
Di satu sisi, kritiknya mungkin betul. Di sisi lain, adalah lebih mudah mengamati sesuatu dari luar ketimbang berada dan turut menjalankan sebuah sistem. Bagi Megawati, yang juga pernah memimpin republik ini, tentu dia paham betul bagaimana sulit dan ruwetnya persoalan yang dihadapi bangsa ini.
Mampu dan berhasilkah dia dan timnya mengatasi persoalan? Tepatkah langkah-langkah yang diambilnya untuk menuntaskan masalah kemiskinan, pendidikan, korupsi, dan lain sebagainya? Publik lah yang tentu merasakan, mencatat, dan memperbandingkannya.
Dan, bisa jadi, dengan dasar itu pula publik menentukan pilihan pada saat pemilihan presiden tempo hari. Dasar itu pula yang tentu akan jadi satu di antara pertimbangan publik untuk memilih pemimpin-pemimpin di masa datang.
Ngana bilang
Kita na sayang
Rasa hati ini malayang
Jau… uh… ci ya … ci ya
Sejauh ini, satu hal yang tampaknya belum juga bisa dituntaskan oleh para pemimpin negeri ini adalah korupsi. Betul, tiap rezim selalu punya konsep, selalu “tampak” ada upaya memberantas tuntas praktek-praktek korupsi, namun realitas menunjukkan, hampir semuanya tak berhasil.
Korupsi seperti sudah jadi ruh yang menghablur dan menggerakkan segala aktivitas hampir semua lini, institusi, lembaga, badan, pemerintahan maupun swasta, dari pusat sampai ke daerah. Padahal, lembaga dan institusi pencegah dan penindak korupsi sebenarnya sudah cukup lengkap.
Isu pemberantasan korupsi bukan saja milik pemerintahan sekarang, sebab sudah digembar-gembor demikian kencang sejak era Soekarno, di masa Soeharto, Habibie, Abdurrahman Wahid, juga saat Megawati berkuasa, hingga kini di era Yudhoyono.
Nyatanya, korupsi tetap merajalela dan –dalam beberapa bentuk– seakan sudah diterima sebagai kelaziman dan keharusan yang tak seakan perlu dipertanyakan lagi. Masyarakat sendiri seperti sudah tak berdaya menghindarinya, malah cenderung ikhlas melarutkan diri di dalam praktek yang seharusnya diperangi.
Biar kita ngana pe bayang
Biar na biking layang-layang
Cuma ngana yang kita sayang
Saking parahnya cengkereaman kultur korupsi itu, lembaga wakil rakyat dari pusat ke daerah, bahkan lembaga sekelas Bank Indonesia, bank sentral yang seharusnya steril dari soal-soal seperti itu ternyata juga terindikasi terlibat dalam arus pusaran korupsi.
Itu baru persoalan korupsi. Belum lagi masalah-masalah lain termasuk bencana alam yang seolah tak henti terjadi dan memerlukan langkah-langkah strategis dan tepat. Bencana yang silih berganti datang itu pun tidak semata akibat dari proses alamiah, namun ada juga yang hadir karena “diundang” oleh pelaksanaan dan tindak-tanduk pembangunan yang tidak tepat.
Di tengah situasi seperti ini, rakyat butuh ketenangan, keyakninan dan harapan akan masa depan yang lebih baik. Harapan itu antara lain digantungkan pada pundak para pemimpin yang mampu menunjukkan kearifan dan kebijaksanaannya. Namun, yang terjadi, para pemimpin ini jauh lebih suka baku omong dan saling-silang bersilat lidah merapal jurus-jurus retoris.
Maka, daripada ikut pusing, mendingan kita bercpoco-poco bersama saja: Dur, panjak!
Cuma ngana yang kita cinta
Cuma ngana yang kita sayang
Cuma ngana suka biking pusing
.