SENIN 15 September 2008 mestinya jadi hari hitam, hari berkabung, tidak saja bagi warga Pasuruan Jawa Timur, melainkan bagi siapa pun penduduk negeri ini yang punya hati nurani. Ya, di tengah terik siang hari bolong, sang maut menderu-deru mencabuti nyawa orang-orang miskin yang sedang berharap dapat percikan sedikit harta dari seorang dermawan.
Hari itu, juga menandai parodi paling dramatis di tanah air, ketika rakyat harus baku desak hingga jatuh bergelimpangan dan satu persatu meregang ajal demi uang Rp 30.000 rupiah, sementara di Jakarta, Gedung Parlememen tempat wakil-wakil raykat bercokol “basah kuyup” oleh semburan uang sogok, bernilai miyaran rupiah!!
Jika rakyat harus mati tergencet luapan massa hanya untuk tiga lembar puluhan ribu perak, maka wakil mereka paling pelengos malu-malu (sekaligus memalukan), megakui atau menepis ataui pura-pura tidak tahu ada uang mengalir ke pundi-pundi .. eh, rekening mereka.
Jika rakyat baku himput berebut sedekah puluhan ribu perak, atau bantuan langsung tunai empat ratusan ribu perak, maka para pembawa acara dini hari di televisi –sambil cengangas-cengenges- – membagi-bagi uang jutaan rupiah lewat pertanyaan-pertanyaan bodoh. Aneh atau tidak, itulah sepotong parodi di tanah air kita hari-hari ini.
Tersentuh dan mungkin “tersakiti” oleh insiden itu, seorang sahabat saya, Adityas Annas Azhari wartawan Tribun Jabar menulis begini:
Tragedi Kemiskinan
KITA baru saja melihat tragedi kemiskinan di bulan suci ini. Niat baik seorang pengusaha kaya raya untuk menyebarkan zakat kepada orang tak berpunya justru menjadi mimpi buruk bagi si miskin yang akan menerimanya. Sedikitnya 21 orang (miskin) tewas terinjak-injak atau kurang oksigen akibat berebut zakat dari pak haji di Pasuruan.
Pascareformasi ini sebenarnya badan-badan amil zakat telah membuat berbagai fasilitas untuk membayar zakat. Lembaga-lembaga seperti rumah zakat, dompet dhuafa, dan sebagainya telah membuat program jemput zakat dan transfer zakat.
Orang kaya cukup memindahkan sejumlah uang dari handphone-nya melalui phone banking ke rekening lembaga zakat. Atau mereka tinggal minta lembaga zakat itu mendatanginya untuk mengambil uang. Urusan pembagian zakat serahkan saja pada lembaga itu karena mereka pasti sudah tahu sasaran mana saja dan bagaimana mengelola zakat itu.
Masalahnya sekarang adalah ketidakpercayaan, kesombongan, ketidaktahuan (kebodohan) dari si kaya terhadap lembaga zakat itu, dan mungkin juga lembaga zakat dengan teknologi yang memudahkan belum menjangkau kota kecil semacam Pasuruan. Hal ini yang membuat tragedi orang miskin berdesak-desakan untuk mendapat uang/bantuan menjadi pemandangan setiap tahun menjelang lebaran di hampir setiap kota di negeri ini.
Persoalan lainnya adalah mental mengemis alias ingin selalu diberi. Mental ini kemudian cenderung dipupuk para elite sehingga membiarkan orang miskin menjadi pengemis di mana-mana, khususnya di kota-kota besar. Para orang miskin itu pula dengan mudah digiring untuk beramai-ramai menerima sumbangan yang ujung-ujungnya dipolitisasi demi kemenangan politik atau bisnis dari elite atau parpol.
Coba saja, mengapa tak ada ketegasan dari pemerintah pusat atau daerah yang mengeluarkan aturan, “Dilarang keras membagi-bagikan sembako, uang, atau zakat secara massal kepada orang-orang miskin.” Atau ada aturan, pembagian zakat, bantuan, dan sumbangan harus disalurkan melalui lembaga resmi yang terdaftar dan teraudit.
Akibat tidak ada aturan tegas ini mental saweran terus terjadi di mana-mana. Ini menjadikan masyarakat miskin sangat bergantung pada pola bantuan yang didistribusikan secara massal. Pola bantuan seperti itu justru tidak efektif mengentaskan kemiskinan.
Ironisnya lagi, para politisi dan saudagar kaya negeri ini tetap saja tak malu menghambur-hamburkan uang demi meraih kursi kekuasaan di parlemen atau sekadar memopulerkan namanya.
Mental feodal yang ingin disembah-sembah dan dianggap penting oleh para jelata masih menghinggapi para elite negeri ini. Banyak tokoh ingin dianggap dermawan di mata masyarakat atau bawahannya.
Akhirnya, Tragedi Pasuruan, Senin (15/9), membuat kita harus mengkritisi paparan pemerintah yang menyebut angka kemiskinan cenderung turun berdasarkan data Biro Pusat Statistik (BPS). Di saat minyak tanah dan gas elpiji langka, harga bensin naik, dan harga-harga sembako makin menggila menjelang lebaran, pantaskah kita yakin bahwa kemiskinan terus menurun? (*)