Posts Tagged ‘keraton

12
Mei
08

Pesta Besar, Reuni Kecil

PEREMPUAN itu menatap sekilas. Kemudian berlalu bersama rombongan kecilnya mencari-cari tempat duduk di antara ribuan tamu resepsi pernikahan agung di Keraton Yogyakarta, Jumat 9 Mei 2009 malam.

Bergaun kuning, anggun. Tampak feminin. Sekali lagi ia menatap sekilas seakan mengenal. Setelah kira-kira delapan langkah memunggungi kami di sela-sela tetamu yang sudah duduk nyaman, ia menoleh lagi. “Mas Yusran, ya?” begitu yang terbaca dari gelak bibirnya. Femiiiiii…..!!!

Dasar! Saya sendiri pangling. Lha, wong anak tomboy yang biasanya cuma berjins kumal dan kaosan tanpa rias wajah itu, kali ini tampil “normal”. Rupanya, dia sendiri pangling atau lebih tepat tak menduga bakal bersua dengan saya di tempat itu. Wakakakaka…

Dan, kami pun bercakaplah satu-dua jenak, sekaligus saya perkenalkan dia pada mamanya anak-anak. Begitulah, pesta besar dan kolosal yang dihadiri lima ribuan orang itu telah mempertemukan kami yang selama ini hanya berkomunikasi lewat internet.

Femi (http://femiadi.wordpress.com dan  http://kancutmerah.wordpress.com) adalah jurnalis dan penulis buku. Dua buku –satu di antaranya ditulis bersama seniornya di GEMA, AA Kunto A— laris di pasaran. Di tengah pesta akbar itu pula saya bertemu dengan Mas Ignatius Sawabi (Abi), Mas Trias Kuncahyono dan adiknya, Mas Probo (perjumpaan terakhir dengan Mas Probo, ya kira-kira awal tahun 1993 lah).

Kalau saja malam itu Kunto jadi ikut, mungkin pertemuan kecil itu akan lebih meriah lagi. Semula, Kunto yang ketiban sibuk menjemput saya dan mengantar ke hotel, saya ajak serta ke perhelatan raja Jawa itu. Namun rupanya ia sangat sibuk –atau malas—menghadiri pesta besar-besaran di tengah situasi yang mestinya disikapi dengan prihatin dan sederhana.

Reuni saya jadi tambah lengkap seusai pesta. Mas Agoes Widhartono bergabung, lalu kami ngariung sejenak di Jalan Suroto. Di situ ada Mas Trias, Mas Bambang Sigap Sumantri, Mas Bondan Nusantara, dan Mas Krisno “Inus” Wibowo dengan gayanya yang khas. Nah, yang istimewa, malam itu kami diajak Mas Sigap santap malam di Gudeg Pawon.

Saya pernah lama tinggal di Yogya, setidaknya dua kali dua tahun (1990/1993 – 1996/1998), tapi sungguh baru tahu malam itu ada tempat santap yang khas. Pelanggan mengambil santapan langsung dari dapur. Dan di dapur ini sang tuan rumah (penjual) sibuk mengolah dan menyiapkan makanan.

Jadi, suasananya seperti di rumah sendiri ketika kita sudah tak kuat lagi menunggu makanan tesaji di meja. Lapar, langsung ke dapur, ambil sendiri makanan yang kita inginkan. Lalu bersantaplah.

Karena rumah itu terlalu sempit (ruang tamu sekaligus ruang makan dan dapur), maka cari sendiri lah tempat nyaman untuk makan. Boleh di beranda –ada meja panjang dan sederet kursi di sana. Boleh, di lorong gang, lesehan di atas tikar. Bebas. Yang unik lagi, “kedai dapur” ini baru buka setengah dua belas malam!

Di sini, terjadi pula reuni tak terduga. Satu di antara penghuni ruma itu ternyata Mas Bambang Sukoco, satu di antara wartawan kami ketika saya bekerja di Harian Bernas. Saat itu, mas bbs –kami biasa memanggilnya begitu, sesuai insialnya—lebih banyak meliput peristiwa-peristiwa hukum dan kriminal. (**)

12
Mei
08

Pernikahan Ageung, eh Agung!

KAMI hadir di Keraton Yogyakarta bukan semata memenuhi undangan Ngarsa Dalem, Sri Sultan Hamengku Buwono X ,  tapi lebih karena ingin tahu peristiwa yang belum tentu bisa disaksikan sembarang waktu. Hari itu Sultan Yogya menikahkan putri ketiganya, GRAj Nurkamnari Dewi yang kini bergelar GKR Maduretno.

Sang putri disunting Yun Prasetyo yang digelari Dalem Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Purbodiningrat. Ijab kabul berlangsung Jumat 9/5/08 pagi pukul 06.35 di Masjid Panepen Kraton Ngayogyakarta. Resepsi dilaksanakan malam  harinya di Bangsal Kencana di dalam lingkungan keraton.

Pesta pernikahan itu diliput dan disiarkan secara luas oleh berbagai media. Cetak maupun elektronik. Jadi, tak perlulah diceritakan lagi di sini. Sekadar melengkapi, berikut adalah cuplikan berita yang dikutip dari Kedaulatan Rakyat, surat kabar pertama dan terbesar di Yogyakarta. Begini:

JUMAT kemarin adalah puncak dari apa yang selama ini diharapkan pasangan Yun Prasetyo dan GRAj Nurkamnari Dewi, yang telah menjalin hubungan cukup lama. Rangkaian upacara adat pernikahan di Kraton, penuh simbol bermakna.

Namun tidak seperti biasa, rangkaian upacara adat kali ini lebih banyak dilakukan secara tertutup untuk pers. Hanya upacara adat panggih yang dilaksanakan secara terbuka.

Di dalam adat panggih inilah ‘digelar’ pelbagai upacara dengan simbol-simbol tertentu. Balang-balangan gantal, mijiki serta mecah tigan oleh GKR Pembayun serta pondhongan (menggendong, ngabopong – Sunda).

Pondhongan adalah upacara yang sangat spesifik dalam perkawinan di Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Upacara ini menjadi simbol, bahwa pengantin putri adalah putri Sri Sultan Hamengku Buwono, memiliki derajat lebih tinggi daripada pengantin laki-laki. Zaman dulu kala, pondhongan dilakukan dari kuncung Kagungan Dalem Bangsal Kencana hingga Emper Kagungan Dalem Bangsal Prabayeksa.

Perjalanan waktu, pelaksanaan pondhongan tidaklah harus menempuh sepanjang itu. Pengantin laki-laki dan paman pengantin putri, biasanya memondhong pengantin putri dari kuncung Kagungan Dalem Bangsal Kencana hingga Emper Bangsal Kencana sebelah Utara.

Tetapi dalam pelaksanaan pernikahan GRAj Nurkamnari Dewi dengan Yun Prasetyo SE MBA betul-betul hanya disimbolkan saja.

Karena kondisi badannya, GKR Maduningrat tidak dipangku, melainkan hanya sepintas duduk di atas tangan suami yang bertautan dengan tangan pamannya GBPH Cakraningrat, yang seolah mau memondhong-nya. (www.kr.co.id)

Wakakakakak….. koran yang terkenal santun dan sangat patuh pada tata-titi adat Yogya ini rupanya tak mampu menahan untuk tidak menulis sosok sang pengantin putri. Padahal, tanpa dijelaskan dengan “kondisi badan” pun, publik tahulah, betapa ageung Sang Putri. Justru dengan penyebutan –meski bermaksud jujur—rasa-rasanya agak kurang patutlah. Apalagi yang dilaporkan itu adalah pesta perkawinan, kebahagian, sukacita. Ada-ada saja. (*)