KEPALA Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri), Jenderal (Pol) Bambang Hendarso Danuri menyatakan, citra, harga diri, dan kehormatan polisi di Tanah Air sedang diuji. Opini negatif yang terus berkembang di masyarakat seakan mengubur pengabdian Polri kepada negara selama 64 tahun dan menutup segala prestasi yang telah dicapai.
Saat menyampaikan amanat pada peringatan HUT ke-64 Korps Brimob Sabtu (14/11/09), Kapolri mengemukakan bahwa hari-hari ini tiap gerak langkah polisi mendapat sorotan publik. Mereka menyangsikan profesionalisme polisi dalam menjalankan tugas penegakan hukum.
Apa yang dikemukakan kapolri tentu erat kaitannya dengan perkembangan yang terjadi dan sedang membelit institusi peradilan. Masyarakat sedang merasa mendapat konfirmasi dan peneguhan atas apa yang selama ini berlangsung dalam proses penegakan hukum, yang hanya dibicarakan melalui bisik-bisik, rumor, dan desas desus.
Setidaknya, saat ini polisi menghadapi tudingan melakukan rekayasa kasus dalam mengusut petinggi komisi pemberantasan korupsi (KPK). Tudingan serupa muncul pula dalam kasus pembunuhan Direktur PT Putra Rajawali Banjaran Nasrudin Zulkarnain. Bahwa, petinggi polisi mengondisikan untuk menjerat Antasari Azhar.
Tentu saja pihak kepolisian membantah. Namun segera timbul kesan di masyarakat bahwa bantahan itu justru memperkuat dugaan bahwa hal yang dibantah itulah yang sebenarnya terjadi. Ada kesangsian, keraguan, bahkan ketidakpercayaan terhadap apa yang dikemukakan polisi.
Berbeda –misalnya– dengan ketika polisi mengumumkan keberhasilannya membongkar sindikat narkotika, dan melumpuhkan dua gembong teroris. Meski semula ada keraguan, polisi berhasil meyakinkan bahwa memang seperti itulah adanya. Bahwa gembong narkoba itu ada. Gembong teroris itu nyata.
Timbul pertanyaan, mengapa dalam kasus KPK dan Antasari Azhar, masyarakat justru cenderung tidak percaya kepada polisi. Publik merasa ada yang tidak beres dalam kedua kasus itu sejak awal. Klarifikasi, bantahan, dan penjelasan dari pihak kepolisian terhadap opini yang berkembang, seolah tak ada artinya.
Sangat boleh jadi, sikap masyarakat itu sangat dipengaruhi oleh pengalaman nyata tiap mereka berurusan dengan aparat penegak hukum. Pengalaman demi pengalaman itu terekam dalam ingatan kolektif dan jadi latar belakang cara pandang ketika menghadapi persoalan yang sama. Padahal, publik sangat berharap terjadinya perubahan ke arah yang lebih baik.
Demikian pula dalam melihat dua kasus di atas. Publik merasakan dan membaca bahwa pola yang lebih kurang sama, pasti akan dipertontonkan oleh pihak yang terkait masalah tersebut. Jadi ketika pola itu dipertontonkan, publik menerimanya sebagai peneguhan terhadap apa yang mereka pikirkan.
Masyarakat terikat dan terhubungkan oleh kesadaran kolektif. Mereka akan melakukan hal sama secara serentak ketika terjadi peristiwa yang mencederai rasa keadilannya. Keprihatinan bersama atas situasi yang melanda dunia peradilan itulah yang kemudian membangkitkan gerakan massa yang demikian besar.
Mereka menyuarakannya melalui berbagai cara dan media. Masyarakat tidak lagi tidur dan dapat dikelabui. Sebagai warga negara, mereka makin sadar akan hak dan kewajibannya. Kesadaran itu mendorong mereka untuk menunjukkan sikap, keinginan, serta harapannya. Dan, kian hari gerakan itu makin matang.
Saat seperti itu sebenarnya merupakan momentum untuk mereformasi dan melakukan perubahan. Ini adalah waktu yang tepat untuk membuat perubahan substansial pada dunia peradilan yang arahnya adalah pemenuhan rasa keadilan publik dan pemenuhan hak dasar warga negara. ***