Posts Tagged ‘kupang

23
Jan
09

Antara Kupang dan Yogya

tikus-uang

KOMISI Pemberantasan Koprusi(KPK)tak henti menggempur para koruptor dan memenjarakan mereka. Sudah banyak pejabat, wakil rakyat, bahkan jaksa yang diadili dan dipenjarakan. Namun korupsi tetap menjalari sendi-sendi kehidupan di tanah air.

Hasil survei yang dilakukan Transparency International (TI) di Indonesia yang dipublikasikan Rabu (21/01), menunjukkan negeri ini belum juga bisa melepaskan diri ringkusan gurita korupsi.

Survei yang dilakukan di 50 kota menunjukkan betapa para koruptor masih gentayangan di berbagai kota, kecil maupun besar. Survei ini dilakukan terhadap 2.371 pelaku bisnis, 396 tokoh masyarakat, dan 1.074 anggota masyarakat, antara September- Desember 2008.

Indikator yang mereka gunakan adalah soal biaya siluman (penyuapan) kepada aparat-aparat birokrasi dalam rangka investasi seperti izin usaha, ekspor-impor, pajak, keamanan, litigasi, dan biaya-biaya hantu lainnya. Skor yang digunakan adalah 0-10, nilai 0 untuk yang terbersih, dan angka 10 bagi yang paling korup.

Dari survei itu diperoleh data yang setelah diolah, ditariklah kesimpulan sesuai dengan indikator-indikator yang ditetapkan. Kupang di Nusa Tenggara Timur, misalnya, dinilai sebagai kota paling korup di Indonesia. Yogyakarta paling bersih di antara yang korup, Palangkaraya nomor dua “terbersih” setelah Yogya.

Paling bersih di antara kota-kota yang korup, belum berarti betul-betul bersih dari korupsi. Nilai “kebersihan” Yogya memang tertinggi dibanding kota-kota lain, yakni 6,43. Namun nilai paling ideal adalah 10. Ini berarti, Yogya pun belum bebas dari praktek-praktek korupsi.

Betapa pun, pemeringkatan –yang didasari survei– Lembaga yang berpusat di Jerman dengan cabang di 99 negara, ini patutlah disikapi posiitif nsebagai cara kita untuk melihat tanda-tanda, isyarat, atau bahkan sekadar indikasi seberapa berhasilnyakah kita melawan korupsi.

Dalam konteks yang lebih besar, “indeks prestasi” korupsi kota- kota di tanah air itu juga akan menjadi cermin bagi kebersihan negara kita dari kotoran korupsi. Dibanding tiga tahun lalu, hari-hari ini Indonesia juga memperbaiki posisinya dari negara terkorup pada ntahun 2005 menjadi negara yang “agak” paling korup.

Tahun ini Indonesia berada di peringkat 126 dari 180 negara, sejajar dengan Eriteria, Honduras, Guyana, Mozambik, dan Uganda, atau lebih tinggi sedikit dibanding Myanmar. Negara dengan IPK tertinggi adalah Denmark dengan nilai IPK 9,3 sementara negara dengan IPK terendah adalah Somalia dengan 1,0.

Melihat angka-angka ini tentu saja kita masih harus mengurut dada dan prihatin, sebab gerakan serempak melawan korupsi tampaknya belum membuahkan hasil yang bsignifikan. Posisi ini membuat Indonesia masih dihadapkan pada risiko besar yang harus dihadapi, yakni sulitnya investasi asing masuk.

Mengapa? Maklumlah, korupsi itu merupakan faktor utama terjadinya ketidakpastian hukum. Padahal, tinggi-rendahnya pertumbuhan investasi sangat ditentukan oleh kepastian hukum, di samping faktor stabilitas keamanan.

Indikator utama kepastian hukum itu sendiri sangat ditentukan oleh tinggi-rendahnya tingkat korupsi. Semakin tinggi tingkat korupsi di suatu negara, maka semakin rendah pula tingkat investasi ke negara yang bersangkutan.

Di Indonesia sendiri memang belum ada penelitian yang menghubungkan antara korupsi dengan pertumbuhan investasi. Namun, dapat dipastikan penyebab utama lambannya pertumbuhan investasi belakangan ini adalah karena korupsi di tanah air kita masih juga merajalela. (*)

05
Jan
08

Horor Sang Majikan

nirmalabonat.jpg

ENTAH apa yang dirasakan Nirmala ketika Kamis (3/1/07) Hakim pengadilan Kuala Lumpur menyatakan Yim Pek Ha majikan Nirmala, bersalah dan dapat dihukum setidak-tidaknya 20 tahun penjara.

“Jaksa penuntut telah berhasil membuktikan empat tuduhan yang diajukan. Saya menyatakan Yim Pek Ha bersalah. Sebelum diputuskan berapa lama hukumannya, maka saya memberi kesempatan kepada tertuduh untuk membela diri,” kata Ahktar, hakim tunggal mahkamah di Kuala Lumpur itu.

Adil ataupun tidak, putusan ini tentu saja sangat berarti tidak hanya bagi Nirmala Bonat, tapi bagi bangsa Indonesia, khususnya mereka yang bekerja di luar negeri karena tanah airnya –yang subur makmur aman tenteram ketaraharja– ini tak mampu menyediakan lapangan kerja yang memadai bagi mereka.

Dua puluh tahun mungkin tempo yang cukup lama bagi si terhukum. Tapi cedera fisik dan psikis yang dialami Nirmala tak akan sembuh lagi sampai seumur hidupnya. Remaja putri asal Nusa Tenggara Timur ini harus menanggung cacat bikinan sang majikan.

Rumah sang majikan yang seharusnya melindunginya dari berbagai ancaman, justru jadi neraka yang mencengkeramnya dengan beragam siksa dan aniaya.

Horor ini terkuak pertengahan Mei 2004, dan langsung mengguncang perasaan orang-orang yang punya hati nurani. Ia jadi korban kekejian majikan tempatnya mengabdi. Dara berusia 19 berkulit hitam dengan paras manis berambut keriting ini telah berubah drastis.

Wajahnya jadi lebih mirip alien dalam Star Trek. Sosoknya penuh bopeng dan bekas luka melepuh. Di punggung, kedua payudara, paha, betis, kepala, tangan. Cedera fisik ini buah penderitaan yang ditahan-tahannya berbulan-bulan. Kadang ia disiram air panas. Sesekali digetok. Kali lain disetrika!

“Pada bulan keempat beta mulai disiksa. Pertama kali gara-gara piring retak kena pipa air. Dong marah, dan pukul be pung mulut deng cawan besi. Sejak itu amper tiap hari dong pukul beta. Yang paling sakit yang beta inga, setelah disetrika. Beta pingsan. Dong siram beta deng air panas. Untung beta sadar dan menghindar,” tutur Nirmala kepada Richard, wartawan Pos Kupang yang menghubunginya di tempat penampungan beberapa hari setelah dia lolos dan diselamatkan.

Ya, Nirmala berhasil lepas dari siksaan. Media setempat menyiarkannya. Dunia tersentak, dan sejenak menoleh ke Malasysia. Insiden ini tentu saja menampar muka Encik Badawi dan masyarakatnya, sekaligus (mestinya) menohok pemerintah Indonesia yang ternyata –setelah lebih 30 tahun mengekspor tenaga kerja– tidak juga mampu memberi perlindungan memadai pada anak bangsanya di rantau.

Sangat wajar jika Badawi mengaku sangat malu ketika ada warga negara makmur yang dipimpinnya berlaku amat teruk seperti itu. Sebagai bangsa beradab dan ramah, Malaysia tentu akan tercoreng oleh ulah salah seorang ‘oknum’ waragnya yang ’sanggup melakukan kesakitan begitu rupa kepada seorang manusia lain,’ sebagaimana ditulis media setempat.

Tentu sangat tidak wajar jika pemerintah tempat Nirmala berasal justru adem ayem, tidak serentak melakukan tindakan strategis dan sistematis untuk melindungi para pekerjanya di luar negeri, selain sekadar berusaha menjemputnya dan mendampingi pada saat proses hukum.

Apalagi Nirmala bukanlah satu-satunya korban. Ia hanyalah satu dari sekian puluh bahkan mungkin ratusan — dari entah berapa orang persisnya jumlah pekerja kita di tanah seberang. Tahun 2003 saja hampir 900.000 orang diekspor, eh dikirim, ke luar negeri. Dari jumlah 60-70 persen dari bekerja di sektor informal (untuk tidak menyebut sebagai pembantu rumah tangga) seperti Nirmala.

Nirmala berarti immaculata, suci, bersih, adalah seorang pengembara tulen. Ia tinggalkan kampung halaman yang tidak bisa memberinya kehidupan layak. Ia hanya punya tenaga dan kemauan mengubah nasib. Bekerja apa pun –sepanjang itu halal– jadilah.

Maka ia menyeberang ribuan kilo meter dari kampungnya di pojokan pulau karang kering di belahan barat Timor. Dari kampung halamannya yang bertetangga dengan ‘luar negeri’ Timor Leste, ia mengembara ke barat, ke negeri Encik Badawi dan mengabdi pada sebuah keluarga. Dan, malapetaka pun menimpanya.

Lihat http://curahbebas.wordpress.com

27
Des
07

“Kembali” ke Kupang

bildad11.jpg

IKAN BAKAR — Menikmati ikan bakar di pantai Kupang (1997) bersama Bildad (paling kiri), Paul Bolla dan pasangannya, kemudian Ana Jukana, Peter A Rohi, dan Hans Christian Louk. Ikan termasuk murah di Kupang, terutama kalau kita mau beli langsung dari nelayan pas mereka naik dari laut. Ikan segar itu langsung dibersihkan dengan air laut, dibakar, disantap. Gurih sekali.

Buku Kiriman Dion

KAKA.. Ini be kirim buku 15 Tahun Pos Kupang. Baca sudah! Tapi jang bilang-bilang orang laen. Be cuma bawa beberapa sa untuk ketong pung teman yang perna di Kupang, na!”

ITULAH yang dibisikkan Dion Dosi Bata Putra, Pemimpin Redaksi Pos Kupang di sela-sela Rapat Kerja pimpinan koran-koran daerah Persda di Ciater, Subang, Jawa Barat, 5 Desember 2007. Ia merogoh ransel, mengeluarkan buku bersampul biru.

Saat membacanya kemudian, saya tersedot kembali ke Kupang. Kembali ke masa-masa belajar dari para guru, mulai dari Bildad sampai Pius Rengka. Dari pendeta Paul Bolla, sampai Pater Jan Menjang (alm). Dari Daniel Rattu sampai guru besar Damyan Godho, dan masih banyak nama lagi yang harus saya sebut dengan rasa hormat karena telah begitu bermurah hati membagikan ilmu mereka.

Saya teringat kembali ketika untuk pertama kali menjejakkan kaki di Pulau Karang itu pertengahan tahun 1995. Apa yang disaksikan lewat jendela pesawat, tanah tandus kecoklatan dengan tonjolan-tonjolan karang, jadi lebih nyata beberapa saat setalah mendarat di bandara El Tari.

Sepanjang perjalanan menuju kantor, Domu Warandoy dan Evi H Pello yang menjemput saya, menunjukkan tempat-tempat di kiri kanan jalan yang kami lalui. Aduh! Tak terbayangkan bagaimana sulitnya mengembangkan koran di tempat seperti ini. Tempat di mana beli dan baca koran entah jadi prioritas keberapa dalam kehidupan sehari-hari warganya.

Pertama terbit 1 Desember 1992, sampai saat itu (1995) Pos Kupang terbit teratur sebagai koran harian berformat tabloid delapan halaman. Ya, tabloid. Ya, cuma 8 halaman. Atau setara dengan selembar koran broadsheet! Dicetak hitam-putih, dengan logo POS KUPANG di kiri atas. Jadi, meskipun “setebal” delapan halaman, koran ini jadi tipis jika selesai dibaca langsung kita lipat-lipat, masuk saku.

Sekarang, setelah berusia 15 tahun, tentu saja Pos Kupang tidak seperti dulu lagi. Ia terbit dalam bentuk broadsheet 16 halaman, dengan empat halaman warna. Ia pun sudah melakukan cetak jarak jauh di Ende dan di Maumere (Flores) di seberang laut. Nah, buku kiriman Dion itu antara lain berkisah tentang jejak langkah perjalanan Pos Kupang.

Ada testimoni dari pada pelaku, maupun mantan pelaku (banyak yang sudah berhasil di berbagai bidang, baik di NTT maupun di ibu kota dan di daerah lain), dan lebih banyak lagi berisi telaah mengenai peran Pos Kupang pada berbagai sisi kehidupan masyarakat di provinsi itu. Tokoh masyarakat, ilmuwan, kaum rohaniwan, kalangan birokrat, mantan pejabat dan lain sebagainya menuliskan pandangan kritis mereka terhada surat kabar ini.

Dus, meski buku ini diterbitkan menandai 15 tahun surat kabar itu, ia terhindar dari kesan sebagai kecap dapur yang biasanya lebih banyak berisi puji-pujian atas diri sendiri. Ia sekaligus jadi referensi yang cukup bernas mengenai perkembangan pers dan perannya di dalam kehidupan masyarakat setempat.

Tapi, bagi saya, buku itu seakan membawa saya kembali ke Kupang. Melalui buku ini, saya “bertemu” lagi dengan para guru yang luar biasa gairahnya membangun koran di negeri kering dan serba minim. Saya “bertemu” lagi dengan Pius Rengka yang kata-katanya luar biasa tajam, kokoh, dan indah.

“Bertemu” lagi dengan Hans Ch Louk yang ramah, suaranya pelan dan seperti tak pernah punya marah, namun tulisan-tulisannya lugas dan menyentak. “Betemu” lagi dengan pak pendeta, Yulius O Lopo yang kini jadi direktur pemberitaan Top TV Papua. Kepada merekalah –tentu pula dengan Dion dan Om Damyan Godho yang jadi tokoh sentral Pos Kupang— saya belajar banyak bagaimana gairah, ruh, spirit, bahu-membahu untuk menjalankan sebuah niat, membangun koran. Dan, mereka berhasil.

di-bandung-nasi-pun-berpayung-kaka.jpg

Santap malam sebelum rapat kerja: “Ai Kaka… di Bandung, nasi pun berpayung ko?

***

SAYA masih ingat betul, bagaimana sulitnya merekrut tenaga wartawan. Ketika itu, Pos Kupang baru saja ditinggal “bedol desa” oleh sejumlah wartawan dan redakturnya yang ikut Valens Goa Doy yang diberi kepercayaan mengelola Berita Yuda versi baru. Belakangan, proyek Berita Yuda itu tak berlanjut.

Rekrutmen pertama, berhasil menghimpun kemudian menyaring calon wartawan. Empat orang! Kami melatihnya secara penuh, kelas dan lapangan. Sampai akhir masa pelatihan, tak ada satu pun yang memadai. Bisa dipaksakan, tapi akan menyiksa mereka sendiri dan mungkin mengganggu sistem. Maka, buka lagi rekrutmen. Hasilnya, nihil lagi.

Toh, akhirnya dapat juga. Itu setelah berlangsung rekrutmen “ronde” ketiga. Dari sejumlah pelamar yang masuk dan lulus testing, kali ini tampak bibit-bibit yang sangat potensial. Dan terbukti, sebagian di antara mereka kini menduduki posisi-posisi penting di Pos Kupang. Satu dua lainnya, juga jadi tokoh jurnalis di luar Pos Kupang.

Itu dari satu sisi, SDM. Sisi lain, infrastruktur, jalur distribusi, persebaran penduduk di puluhan pulau, adalah tantangan lain yang hanya akan bisa diterobos dengan gairah yang dimiliki para awak Pos Kupang. Jika tidak, koran itu mungkin kini tinggal nama, bukan lagi jadi satu pilar yang kokoh dalam kehidupan demokrasi dan bisnis di NTT sebagaimana sosoknya yang tampak hari-hari ini.

Sebelum belajar ke Pos Kupang, saya sudah “sekolah” di Bandung (Bandung Pos, Mingguan Pelajar, Salam, dan kemudian Mandala – saat koran ini digandeng Kelompok Kompas-Gramedia), di Yogya (Bernas), di Palembang (Sriwijaya Post). Sarana, fasilitas dan infrastruktur di koran-koran itu boleh dibilang termasuk sederhana untuk ukuran sebuah industri koran di Jawa dan Sumatera saat itu. Tapi, begitu masuk ke Pos Kupang, saya seperti sedang menyaksikan dan ikut dalam sebuah gegar tekonologi (jika istilah ini ada).

Sampai pada proses pracetak, infrastruktur Pos Kupang tidak terlalu jauh berbeda dengan apa yang digunakan di Bernas. Tapi begitu masuk proses cetak, ya ampun. Saya seperti terlontar ke masa silam. Masa sekitar tahun 70-an, manakala saya sering ngintil paman saya mengantarkan naskah untuk korannya ke percetakan Ganaco NV di Bandung. Itu pun, mesinnya sudah agak lebih “modern” dibanding dengan yang digunakan Pos Kupang.

Sebagai ilustrasi, untuk mencetak 3000-4000 Pos Kupang saat itu, kami membutuhkan waktu antara 6-7 jam! Selain mesin, puluhan orang –tetangga sekitar– juga terlibat dalam penerbitan surat kabar ini. Tiap pagi, mulai pukul 03.00 belasan orang berderet di meja lipat di sisi lain percetakan. Ya, mereka jadi juru lipat dan juru sisip koran tabloid “setebal” delapan halaman itu!

Itu jika mesin tidak ngadat. Namanya mesin sepuh yang “berpengalaman” panjang, tentu pula acapkali macet. Ada saja gangguannya. Sampai-sampai pernah Om Damy meminta khusus pastor memberkati mesin itu. Menyembahyangi, kemudian memercikkan air suci.

Toh, mesin tak jua mau kompromi, sesekali penyakitnya datang lagi. Sampai sekali waktu, Om Damy mendatangkan paranormal untuk –jika ada– mengusir demit penyakit yang ngendon di itu mesin. Upacara pun digelar di lantai pelat baja sisi mesin. Potong ayam dan mengucurkan darahnya di lantai. Lalu ditaruhlah telur di atas genangan kecil darah itu. Beberapa saat kemudian, darah terserap entah ke mana!

Paranormal itu bermeditasi, merapal mantra, lalu bangkit bergerak ke arah mesin. Ia menunjuk sebuah titik hitam di sisi luar dinding mesin itu. Mengorek-ngoreknya sebentar, dan…. seperti ujung rambut, sepotong kawat mencuat. Ditariklah kawat itu, ternyata panjang. Seperti terkait ke suatu mekanisme di dalam mesin.

Dan ternyata, mesin itu tetap saja dengan sifat tuanya. Sesekali masih ngadat dan ogah mencetak. Jika sudah begini, tak ada jalan lain kecuali memindahkan cetakan ke Percetakan Negara Republik Indonesia (PNRI) milik Deppen setempat.

Tapi, bagi saya, “pastor” maupun “pawang” mesin itu yang sesungguhnya adalah Ign Setya Mudya Rahartono (kini mengepalai unit cetak Pos Kupang). Putra Yogya inilah yang dengan telaten ngopeni mesin peninggalan zaman “purba” itu hingga mampu mengantar Pos Kupang menuju masa-masa kejayaan.

Tokoh lain yang menurut saya berpedan besar adalah Bildad yang berhasil memegang kunci pengelolaan infrastruktur teknologi informatika Pos Kupang. Yang mengagumkan saya dari Bildad, adalah dia belajar secara otodidak mengenai IT. Pada masa itu, di Kupang belum ada lembaga, bahkan sebatas, kursus mengenai komputer/IT. Ilmu yang berhasil dikuasasinya ternyata menjadi tulangpunggung kelancaran proses kerja penerbitan surat kabar di Tanah Timor itu.

Selain  soal mesin dan keterbatasan infrasutrktur pendukung,  kertas juga jadi masalah utama, karena sangat tergantung pada pengriman dari Surabaya. Kapal pengirim, tergantung cuaca. Pernah sekali waktu, proses pracetak sudah rampung, tapi percetakan tak bisa bergerak karena kertas habis. Kiriman belum masuk karena kapal tertahan jauh dari pelabuhan. Belum bisa merapat.

Maka, menjelang tengah malam, Om Damy dan Domu melesat ke seantero pojok kota Kupang, menggedori toko yang menjual kertas ukuran plano. Dapat! Beberapa rim, cukup untuk oplaag hari itu. Mesin cetak pun bergerak. Dan hari itu Pos Kupang terbit warna warni. Kertasnya, yang warna warni! Ada yang warna telur-asin, hijau muda, kuning muda, putih, ada yang gabungan antara kertas putih dan warna lain!

Hebatnya, koran itu tetap laris dibeli orang!

***

borong-abis-na.jpg

ayo-foto-bersama-yang-melirik-nona-sendiri.jpg

Usai rapat kerja, 6 Desmber 2007, singgah ke Tribun Jabar. Ayo foto bersama! ajak Dion. Klik, dan di antara “kebersamaan” itu, cuma satu orang yang melirik ade nona! Hehehehehe…. Atas: Sempat pula pi pesiar sambil borong abis macam-macam barang. Saya diapit Dion dan Daud (Pemimpin Perusahaan Pos Kupang)

***

ITU cuma sekelumit dari gambaran nyata keadaan saat itu. Kini cerita itu tentu tinggal kenangan. Para kerabat kerja Pos Kupang telah mulai mereguk hasil kerja keras mereka yang tiada henti. Koran ini sudah mendarah daging dan jadi bagian hidup warga NTT, menjadi ruh informasi mereka, menjadi penerang, jadi penggerak opini publik, jadi pengontrol yang awas dan dipercaya.

Dion yang kini jadi pemimpin redaksi koran itu selalu bersemangat saat menceritakan, membandingkan dan menggugat, jika kami sedang rapat kerja, setidaknya setahun sekali. Keadaan sekarang, mungkin sudah jauh berubah. Setidaknya, sarana, fasilitas, dan infrastruktur pendukung, mungkin sudah lebih baik dibanding 12-15 tahun silam.

Tapi, tentu segalanya masih jauh tertinggal oleh perkembangan yang terjadi di daerah-daetah lain di luar NTT, terutama di Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi. Toh Dion Cs tetap dalam spiritnya, tetap dalam gairah yang sama dengan saat-saat saya mulai berguru kepada mereka 12 tahun silam. Hebat!

Buku yang dihadiahkannya itu sedikit mengobati kerinduan saya untuk menghirup kembali udara Kupang. Setidaknya, lewat buku itu saya bertemu dan “mendengar ” pembicaraan mereka, tidak saja mengenai Pos Kupang, melaikan mengenai hal-hal lain yang ingin saya ketahui dalam konteks kekinian.

Terimakasih, Dion. Terimakasih Om Damyan Godho. Terimkasih para guru besar saya di Kupang !! **

orang-bandung-makan-daun-ko.jpg

“Orang Bandung cuma makan daun ko, Kaka?”

21
Okt
07

Pendekar Mabuk

 

kupang.jpgSabtu 20/10/07 malam, guru saya Romo Dion DBP menelepon dari Kupanng. Beliau minta komentar saya yang akan disertakan timnya ke dalam buku 15 Tahun Pos Kupang. Aduh! Saya memang pernah di Kupang (1995/1996), berguru kepada Romo Dion dan Pater Damyan Godho, namun untuk berkemontar tentang Pos Kupang tentulah saya bukan maqom-nya. Saya tak pernah memberikan apa-apa kepada Pos Kupang, kecuali menyerap ilmu yang dengan murah hati mereka tebar dan semai di sanubari saya. Selain ilmu, saya juga memperoleh banyak kenangan. Misalnya, kisah di bawah ini:

“PASANGAN” itu selalu datang bersama-sama, setidaknya dua kali dalam sepekan. Keduanya sama-sama tampak tua meski umurnya mungkin masih paro baya, antara 40-50-an. Keduanya selalu berjalan sejajar –jarang sekali beriringan– menyusuri jalan kecil agak menanjak di depan kantor kami, menuju pasar di pusat kota Kupang, Nusa Tenggara Timur.
Biasanya mereka muncul antara pukul 07.00 sampai pukul 09.00 dan selalu kembali melintas untuk pulang pada lepas tengah hari ketika matahari memanggang demikian teriknya, membuat isi kepala seperti mendidih.
Beberapa kali saya berpapasan dengan “pasangan” ini, atau melihatnya dari balik kaca pintu. Menurut teman saya, Dion, Mereka dari dusun, di hutan sana. Datang untuk jualan hasil bumi, dan uangnya mereka belikan beras serta sepotong-dua lauk pauk dan kebutuhan lain, kata teman saya sekantor.
Yang luar biasa di mata saya adalah, setiap pulang dari pa¬sar itu keduanya selalu berjalan sempoyongan. Kaki mereka seperti kehilangan belulang. Goyah.
Keduanya pasti berjalan terseok-seok ke kiri dan ke kanan. Sesekali, sambil berjalan dua orang ini saling bertumpu pundak, baku sangga. Yang satu miring ke kiri, pundaknya bertumpu pada rekannya yang doyong ke kanan. Kali lain, keduanya ambruk, menggelosor begitu saja di emperan kantor kami. Lalu mendengkur.
“Wah, drunken master baru pi tidur…!” kata satpam di kantor kami sambil terkekeh. Ia tak bisa berbuat banyak untuk menghalau dua lelaki yang hanya “bercelana” lilitan kain tenun ikat –tanpa kolor– itu. Sekitar satu atau dua jam kemudian, barulah ia bisa membangunkan pasangan pendekar mabuk ini dan dengan mudah menyuruhnya pergi.
Dari rekan-rekan sekantor, saya dapat gambaran bahwa kedua lelaki paro baya itu warga kampung yang cukup jauh dari kota. Mereka pergi dini hari membawa ha¬sil bumi dan hasil hutan untuk dijual di pasar.
Dengan uang yang diperolehnya dari ‘bisnis’ itu mereka belanja kebutuhan sehari-hari, dan pasti membeli sopi di warung pasar. Minuman keras dari fermentasi air lontar itulah yang membikin mereka sempoyongan. Minuman yang diproduksi secara tradisional itu memang relatif murah, bahkan dibanding bir.
Sukar dibayangkan, bagaimana rasanya menggelontori perut dengan bergelas-gelas minuman berkadar alkohol sampai lebih dari 45 persen itu di bawah udara terik sengangar, di atas lahan kering karang berdebu yang jadi ciri khas kota di ujung barat Pulau Timor itu.
Absurd, memang. “Sudah miskin, cari uang susah, eh setelah dapat dipakai mabuk. Bagi kita, mungkin aneh. Tapi hanya itulah cara yang mereka tahu untuk berusaha melarikan diri dari tekanan hidup sehari-hari,” kata seorang rekan.
Minuman keras memang nyaris jadi minuman sehari-hari –selain air– bagi sebagian penduduk di daerah itu. Di samping secara tradisional sudah merupakan kebiasaan turun temurun, juga karena relatif murahnya harga minuman yang kadar alkoholnya bisa menyambar api geretan itu. Kalau pun tak punya duit, orang toh bisa mengolah sendiri melalui proses yang tak terlalu rumit.
Boleh jadi, dengan mabuk, lantas tertidur, mereka melupakan sejenak kesulitan hidupnya. Tapi kebiasaan itu juga menyeret dampak buruk lain, yakni tingginya angka kriminalitas. Kalau orang itu mabuk untuk diri sendiri, dan langsung mendengkur begitu teler, tak jadi soal.
Yang repot dalah para drunken tanggung yang gentayangan lalu ngoceh sana-sini dan tindakannya kurang terkontrol. “Kacau sudah, bisa-bisa perang antarkampung, gara-gara orang mabuk berantem,” ujar rekan saya.
Nah, di kota tempat saya tinggal saat ini pun, mulai banyak drunken “tanggung” master gentayangan di jalanan, terutama di simpang-simpang jalan tengah kota yang ramai kendaraan. Apalagi di malam liburan, seperti malam tahun baru misalnya. Bahkan di malam lebaran, di sela-sela orang berpawai menabuh bedug.
Mereka gentayangan dengan langkah goyah, mendekati mobil-mobil yang terhenti oleh lampu merah. Kadang sambil membawa ecek-ecek dari tutup botol yang dirangkai, atau sekadar bermodalkan tepuk tangan. Maksudnya mungkin mengamen. Para pengemudi biasanya ngeri berhadapan dengan teror macam itu, sehingga dengan terpaksa menyodorkan sekeping dua keping uang.
Boleh jadi, mereka sengaja mabuk –atau setidaknya tampil seperti sedang mabuk– karena tak cukup punya keberanian untuk menekan orang lain itu dalam keadaan sadar, sehingga perlu menyetengahsadardirikan. Yang jelas, para pengemudi mobil apalagi kaum perempuan, akan dengan mudah merasa diteror. Dan, keping-keping uang logam pun menggelinding dari balik jendela mobil.
Begitulah. Jika drunken master yang saya temukan di Kupang itu cari uang untuk mabuk agar melupakan kenyataan betapa sulitnya cari uang, maka di kota tempat tinggal saya saat ini para anak muda itu justru mabuk (setengah mabuk, ‘kali) dahulu, untuk mencari uang. Dua hal yang tampaknya bertolak belakang.
Mana yang lebih terhormat? Entahlah, sebab kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, kita juga bisa dengan mudah menemukan drunken master yang lain.
Orang-orang ini tidak berasal dari kalangan miskin seperti di Kupang atau para pemuda sempoyongan di jalanan kota, melainkan dari kalangan yang secara intelektual, sosial, dan ekonomi relatif lebih ‘tinggi’ sehingga minuman keras yang dikonsumsinya pun boleh dikata “berkelas”.
Minuman jenis ini tentu harus dibeli dengan bergepok-gepok uang yang sekali duduk minum bisa menghanguskan senilai dua atau tiga kuintal beras kelas satu.
Sepanjang duduk minum itu, bisa berkembang aneka percakapan, mulai dari soal bisnis, saham terlaris, sampai urusan esek-esek dengan selingkuhan atau bahkan siapa saja. Selesai minum, bisa langsung pulang, atau meneruskan ‘bisnis’ lain sambil rehat di hotel mana saja yang bisa dijangkau dalam tempo serba kebelet.
Anehnya, makin banyak saja tempat untuk kongkow mcam itu dibuka meski dengan kedok rumah makan, resto, kafe, dan sebangsanya. Dan, pengunjungnya tetap ramai, bahkan makin meriah saja tampaknya. Artinya, saban malam jutaan rupiah mengalir ke tempat-tempat macam ini.
Para drunken master dari kelas ini jelas tidak sedang melupakan sulitnya hidup dan mencari, atau perlu topeng keberanian untuk mencari uang. Tampaknya para master ini termasuk pada kalangan orang-orang yang sudah kehabisan cara menghabiskan uang.
Tentang bagaimana cara mereka mendapatkannya, itu lain soal.
Kadang, hidup memang tampak absurd.* (yusranpare, Bandung, 291201)