Posts Tagged ‘megawati

09
Jul
09

Berkat Angka-angka

angka-angka

BETAPA besar jasa penemu angka. Coba kalau umat manusia tak menemukannya, hari-hari ini tak akan ada yang terus dipelototi, dikomentari dan dianalisa.

Ada sekian ratus juta pemilih yang 8 Juli 2009 memilih satu di antara tiga pasang calon presiden dan wakil presien. Hasil akhir dari kalkulasi angka-angka itu menentukan siapa yang jadi pemimpin negara. Luar biasa!

Setiap warga negara yang memenuhi syarat memilih, bebas menentukan pilihannya. Mungkin ada yang memilih lebih dari satu. Malah, siapa tahu ada yang sengaja tidak memilih. Namanya juga demokrasi. Nah, jumlah pemilih yang telah menentukan pilihannya itulah yang kini sedang ditunggu-tunggu.

sempoaHari ke hari, jam demi jam, angkanya berubah terus. Hampir semua stasiun televisi menyajikan angka-angka itu sebagai menu khusus dan sedemikian penting, sehingga ditampilkan dalam bentuk running text, ditayangkan secara berkala.

Media cetak tak mau ketinggalan, juga memuat angka-angka (jumlah pemilih) yang diperoleh calon pemimpin bangsa ini. Sampai Rabu senja, beberapa jam setelah pemilihan berlangsung, angka-angka itu terus jadi bahan perbincangan.

Sementara, angka untuk pasangan Susilo Bambang Yudhoyono – Budiono berada di urutan teratas. Angka bagi dua pasangan lainnya hampir imbang saling susul.  Sejauh ini pemilihan presiden berlangsung lancar, aman dan damai.

Dilihat dari peta perolehan suara yang tercermin pada angka-angka hasil hitung cepat sejumlah lembaga independen, tampaknya pemilihan presiden tidak perlu sampai dua putaran. Meski tentu saja hasil hitung cepat bukanlah hasil sesungguhnya.

Angka-angka yang tampil semata merupakan indikasi dari sejumlah sample atau contoh yang dianggap relevan. Apa yang tampak dari angka-angka yang tiap saat berubah itu pada akhirnya adalah cermin nyata dari suara rakyat.

Bahwa ada ketidakpuasan dan ada insiden yang dianggap sebagai tanda kecurangan, tentu harus dibaca sebagai dinamika sebuah proses politik yang langsung melihat secara nyata rakyat di seluruh penujuru Tanah Air.

Tentang apakah hasil itu memuaskan atau mengecewakan elite politik, itu persoalan mereka sendiri. Hari-hari ini kedaulatan sepenuhnya milik rakyat, dan itu telah ditunjukkan di tempat pemungutan suara.

Kita belum tahu persis, apakah angka seperti yang tergambar pada hasil hitung cepat itu akan sejalan dengan hasil akhir perhitungan suara yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Yang jelas, publik menangkap ada gerak dan bentuk baru yang berbeda dari pemilu sebelumnya.

Ada kebebasan untuk memilih, dan keleluasaan untuk mengetahui –melalui angka-angka– peran mereka dalam menentukan pemimpinnya. Apa yang tampak dari angka-angka itu makin menegaskan bahwa rakyat kita kini lebih leluasa menentukan sendiri calon pilihannya tanpa harus terikat oleh loyalitas kepada partai.

Penegasan dukungan oleh elite parpol kepada pasangan capres tertentu, ternyata tidak serta merta diikuti konstituen di akar rumput. Jika mau mengalkulasi dengan hitungan matematis dan statistik, maka pilpres sudah selesai dan pemenangnya sudah jelas diketahui.

Tapi, politik di Indonesia tidak mudah dikalkulasi secara matematis, sebab ada begitu banyak variabel yang tak terduga dan bisa menjadi faktor penentu yang membuat 2×2 tidak mesti sama dengan 4.

Begitu pula dalam konteks pemilihan presiden kali ini. Segala gerak-gerik, taktik, tarian, akrobat, bahkan intrik politik sudah dilakukan jauh sebelum hari pemilihan. Namun rakyat toh tetap bebas melakukan apa yang mereka kehendaki, termasuk memilih pemimpinnya.

Tanda-tanda awal, sudah terbaca lewat angka-angka yang terus mengalir dari seluruh penjuru Tanah Air.  Siapa pun yang akhirnya terpilih sebagai presiden, itulah pilihan rakyat. ***

17
Mei
09

Tiga Kandidat

genderang_perang_kalla-mega-sby

GENDERANG sudah ditabuh. Pertarungan dimulai. Tiga kandidat akan maju ke arena pemilihan presiden pada Juli 2009. Pekan lalu agenda politik nasional yang dipadati aneka spekulasi dan kontroversi, ditutup oleh atraksi formal pendaftaran para calon presiden dan wakilnya ke Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Di antara pasangan kandidat itu adalah presiden dan wakil presiden yang kini menghabiskan sisa masa baktinya, namun maju ke arena pemilihan presiden dengan bendera berbeda. Ada mantan presiden, ada bekas perwira tinggi militer, dan ada ilmuwan.

Dari tiga pasang calon presiden dan wakil presiden itu tidak tampak tokoh dari partai, golongan, maupun kelompok yang dianggap sebagai representasi dari kekuatan religius. Di masa sebelumnya, komposisi nasionalis-religius selalu menjadi acuan kepemimpinan nasional. Di samping, paduan unsur Jawa dan luar Jawa yang kini pun tidak menjadi persoalan.

Paduan nasionalis-religius (terutama Islam), memang tak lepas dari fakta historis. Pemilu 1955 menunjukkan terjadi pertarungan ideologi antara kubu Islam yang diwakili Masyumi dan NU, dengan kubu nasionalis diwakili PNI, serta kubu komunis diwakili PKI.

Namun tampaknya perdebatan ideologi politik antara kaum religius dengan nasionalis itu sudah kehilangan roh. Hal itu tampak pada pemilihan presiden 2004-2009, yang akhirnya dimenangkan pasangan Yudhoyono-Kalla yang ‘hanya’ mencerminkan ideologi nasionalis.

Demikian halnya dengan wacana paduan unsur Jawa versus luar Jawa. Pada pemilihan presiden kali ini tampaknya sudah tidak terlalu menjadi persoalan betul, karena dari tiga kandidat pasangan calon presiden dan wakil presiden itu, hanya satu yang betul-betul mencerminkan ‘luar Jawa’.

Apakah kecenderungan itu menunjukkan bahwa arena politik kita sudah lepas dari primordialisme agama dan kesukuan, sehingga hari-hari berikutnya bangsa kita berpolitik secara jernih? Tentu saja, belum tentu!

Namanya juga politik. Segala hal bisa terbolak-balik, bahkan dalam hitungan detik. Yang semula kawan, bisa mendadak menjadi lawan. Begitu pula sebaliknya, sebagaimana tampak pada perilaku politik para elite menjelang pencalonan presiden kemarin.

Akal sehat publik dipaksa menerima realitas ‘perkawinan’ antara partai yang pernah ditindas, dengan partai yang dipimpin tokoh yang menjadi bagian dari penindasnya. Atau dua partai tiba-tiba bergabung, padahal yang satunya adalah sempalan dari partai asal. Bagaimana pula partai yang tokohnya murka dan mengumbar amarah karena usulnya tak diakomodasi, tiba-tiba melunak dan langsung menghablur ke dalam persekutuan.

Namun bangsa Indonesia tentu cukup cerdas untuk menilai tingkah laku para elite politiknya, sehingga tidak akan mudah dikibuli omong kosong para politisi dengan jargon dan retorikanya.

Mereka sudah melihat bukti nyata hasil kerja para politisi kita di masa sebelumnya. Korupsi jalan terus, komunikasi politik sarat dengan bagi-bagi kursi. Kekerasan dan intoleransi tumbuh di mana- mana. Politik jadi penuh nafsu, bukan lagi sarana untuk menjalankan amanah. Itulah yang tampak dari hari ke hari, bahkan sampai menjelang pencalonan presiden dan wakil presiden.

Kini, fase paling menentukan sudah dilalui. Rakyat sudah diberi tiga pilihan. Terlepas dari kelebihan dan kekurangan masing- masing, tiga kandidat pasangan pemimpin nasional itu adalah putra-putri terbaik yang bersedia mengorbankan kepentingan pribadinya demi bangsa dan negara.

Siapa pun yang nanti terpilih, itulah pilihan terbaik. **

15
Apr
09

Sri Hayati dan Megawati

srigantung

HAMPIR semua media massa kemarin menyiarkan berita dan gambar pertemuan tokoh partai politik di kediaman Megawati Sukarnoputri. Mereka mengikrarkan persekutuan, menggugat hasil pemilihan umum, sekaligus menyatakan berada di seberang partai yang diperkirakan memenangi pemilu, yang juga akan bersekongkol dengan partai lain simpatisannya.

Pada potret yang disiarkan surat kabar, wanita ketua umum sekaligus calon presiden dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) itu tampak tersenyum lebar. Bersama tokoh itu, Megawati bergenggam tangan dan mengangkatnya tinggi-tinggi, menyatakan persatuan dan kebersamaan.

Sementara itu di Banjar, Ciamis, Jawa Barat, Sri Hayati (23) caleg yang sedang hamil ditemukan tewas tergantung di sebuah gubuk di tengah sawah.  Banyak yang meyakini, Sri memilih bunuh diri daripada harus menanggung malu karena tidak akan terpilih sebagai anggota parlemen.

Ia memilih meninggalkan suami dan keluarga serta kerabatnya, daripada harus menghadapi kenyatan bahwa rakyat yang dia ingin wakili ternyata tak memilihnya.  Dua peristiwa itu menarik disimak untuk melihat bagaimana orang menyikapi hasil –sementara– pemilu kali ini.

Di Jakarta yang jadi episentrum gempa politik nasional, petinggi partai dan tokoh politik nasional menyikapi kekalahan dengan cara buru-buru membangun koalisi, persekutuan, persekongkolan, dan apa pun namanya, untuk secara bersama-sama menentang, menggugat, bahkan melakukan perlawanan, terhadap penyelenggara pemilu.

Bersamaan dengan itu mereka menjadikan ‘pemenang’ pemilu dan sekutunya sebagai musuh bersama. Lawan politik yang harus dihadapi pada posisi berlawanan (oposisi).  Tarik menarik pengaruh jadi makin kuat. Dua kubu yang berbeda makin terang-terangan menancapkan kesan bahwa mereka lah kelompok atau partai yang terbaik memimpin bangsa ini.

Apa yang dipentaskan aktor besar politik itu hanya makin memperkuat kesan publik, bahwa dalam politik tidak pernah ada persekutuan maupun permusuhan yang kekal. Tidak ada konsistensi sikap dan nyaris tidak ada kejujuran.

Hal seperti itu tampak jelas pada dua pemilu sebelumnya. Pada Pemilu 1999 misalnya. Saat pemilihan presiden masih dilakukan MPR, muncul fraksi yang dengan amat militan menggalang koalisi untuk mengganjal Megawati -ketua partai pemenang pemilu- untuk menaikkan Gus Dur sebagai presiden. Koalisi itu pula yang membetot Kiai Ciganjur ini dari istana.

Demikian halnya pada Pemilu 2004. Pemimpin partai besar berangkulan dalam koalisi kebangsaan untuk menghadang laju Yudhoyono pada pemilihan presiden.

Toh, persekutuan ini buyar 45 hari kemudian, ketika aktor dari PPP tiba-tiba melakukan imkprovisasi politik persis pada saat yang menentukan siapa yang akan memimpin parlemen.

Intinya, aktor besar politik selalu menunjukkan kapasitas dan kepiawaiannya berakting manakala kepentingan mereka mulai terancam, memperlihatkan keahlian mereka mempraktikkan jurus silat lidah yang canggih. Tak peduli apakah jurus lidahnya itu menjilat ludah sendiri atau menjilat pihak lain yang dianggap bisa memperkuat posisinya.

Berbeda dengan Megawati, Prabowo, Wiranto, Yenny Wahid, maupun Puan Maharani. Politisi pemula seperti Sri Hayati dari dusun Langkaplancar, Ciamis, Jawa Barat itu tak punya keterampilan akting maupun jurus ampuh untuk melakukan akrobat politik manakala menyikapi kekalahannya.

Ia merasa tak berharga ketika warga tidak percaya kepadanya. Ia tak punya kemampuan retoris untuk menjelaskan kegagalan itu kepada suami, orangtua, saudara dan tetangga. Ia malu karena ternyata tidak terpilih.

Rasa malu. Inilah yang membedakan Sri dengan para politisi  tingkat tinggi. ***

12
Apr
09

“Say No to ….”

KAMIS 9 April 2009, sejak pagi hingga lepas tengah hari, pemilih menentukan pilihannya di bilik suara. Ada juga yang tidak, baik karena hambatan administratif maupun mereka yang memang secara sengaja tidak menggunakan haknya.

sayno2Sampai menjelang detik-detik pemilihan umum, situasi relatif tenang. Suhu politik pun sejuk-sejuk saja tidak ekstrem sebagaimana dikhawatirkan banyak pihak. Bahwa ada riak-riak hangat, sejauh ini masih dalam konteks kewajaran di tengah pesta akbar demokrasi.

Ada beberapa peristiwa cukup menarik yang kali ini turut menambah semarak hura-hura politik, yang membedakannya dari pemilu di masa lalu. Pertama, berita menyangkut putra presiden yang disiarkan media online yang kemudian berdampak hukum. Kedua, hujatan dan dukungan terhadap tokoh tertentu melalui internet. Ketiga, tokoh yang diam-diam menggunakan internet untuk tetap berkampanye di masa tenang.

Tiga cuplikan peristiwa itu sengaja diambil sebagai contoh untuk menunjukkan bahwa media alam maya telah betul-betul menjadi bagian dari kehidupan –sosial, politik, ekonomi, budaya– di Tanah Air. Ia juga sekaligus memperlihatkan bahwa ruang maya publik (internet) itu besar dan ampuh pengaruhnya.

Kemajuan teknologi informatika yang membawa lompatan jauh –dan kepraktisan– dalam pola komunikasi di dunia maya, telah mengambil alih fungsi yang selama ini diemban ruang publik konvensional, entah itu mall, pasar, gedung parlemen, atau taman kota.

Perbincangan, diskusi atau sekadar bergosip, keintiman atau bahkan kemarahan, sebagian kini telah berpindah saluran ke alam maya. Wacana kehidupan sosial, ekonomi, pendidikan, kebudayaan, dan politik, tak lagi hanya di gedung parlemen dan kampus, malainkan juga di dinding percakapan ruang maya.

Internet telah jadi ruang yang betul-betul terbuka dan bebas — dimasuki atau ditinggalkan– siapa pun. Bebas bicara dan tidak bicara apa pun. Bebas digunakan –dan tidak digunakan– untuk keperluan apa pun, termasuk kepentingan politik.

Ibarat agora (pasar) dalam sistem demokrasi di Athena, internet tidak saja merupakan tempat berjualan, melainkan berfungsi ganda sebagai wahana masyarakat untuk bertemu, berdebat, mencari berbagai, membuat konsensus atau menemukan titik-titik lemah gagasan politik dengan cara memperdebatkannya.

Dalam wacana politik, kondisi itu memberikan optimisme bahwa peran besar teknologi dunia maya tersebut merupakan alternatif kekuatan baru yang dapat menciptakan iklim demokrasi yang lebih baik. Jelas, ia pun merupakan saluran komunikasi yang potensial dalam menyalurkan berbagai opini dan gagasan politik yang seringkali tersumbat atau terkendala kesungkanan.

Penyaluran informasi yang baik dan jernih adalah satu di antara syarat utama demokrasi yang sehat, karena informasi yang terang dan baik, pasti berasal dan dialirkan lewat kejernihan pikiran dan ketulusan hati. Tanpa pikiran jernih dan ketulusan, demokrasi hanya akan bermakna sebagai kebebasan mutlak yang mendorong anarkisme.

Lebih sepuluh tahun lalu, Wakil Presiden Amerikan Serikat, Al Gore meyakinkan warganya bahwa teknologi informatika membuat warga negara bisa terlibat langsung dalam berbagai keputusan politik. Tahun lalu, Barack Husein Obama membuktikan keampuhan internet dalam perjalanannya menuju Gedung Putih.

Tiga contoh yang dicuplik di atas, yakni penyebaran berita mengenai dugaan kecurangan politik yang dilakukan anak presiden, dan kemurkaan ketua partai besar atas munculnya kelompok jejaring “Say No to …” dan “Say Yes to …” di dinding facebook hanyalah  petunjuk kecil tentang seberapa jauh bangsa kita memanfaatkan keterbukaan informasi itu secara bijak dan cerdas dalam proses demokratisasi.

Makna yang bisa ditangkap adalah: pemanfaatan ruang maya publik untuk komunikasi politik seyogyanyalah disertai persyaratan, di antaranya membangun sikap politik yang matang dan budaya politik yang dewasa.

Komunikasi politik tidak dapat dipisahkan dari berbagai aspek budaya politik seperti sikap mental, etika politik, dan sistem nilai yang berlaku di masyarakat.

Apa yang terjadi dengan penggunaan kecanggihan teknologi dengan proses politik di tanah air, masih seperti atau sebatas itulah budaya dan sikap mental politik kita.

Mudah-mudahan pemilu kali ini menjadi awal kehidupan demokrasi yang lebih baik lagi.

Contreng!***

01
Feb
09

Politik Gasing dan Yoyo

yoyo-gasing_adaptasi_foto_donny_sophandi

SAMBIL meladeni sindiran politik Megawati yang mengibaratkannya bermain yoyo, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyenggol Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan tentu juga Kepolisian Republik Indonesia (Polri).

Jika kepada Megawati pihak Yudhoyono mengumpamakannya bermain gasing yang bikin rakyat pusing, maka kepada TNI dia melontarkan rumor tentang adanya sejumlah perwira yang menggalang kekuatan anti-Yudhoyono.

Megawati –presiden sebelum Yudhoyono– adalah calon presiden dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) pada Pemilu 2009. Sedangkan TNI dan Polri –yang oleh undang-undang harus berada pada posisi netral– sejauh ini adalah lembaga yang paling siap melahirkan kader-kader politik, termasuk untuk menduduki kepemimpinan dari pusat hingga daerah.

Yudhoyono sendiri adalah satu di antara kader yang dihasilkan lembaga itu. Demikian pula sejumlah tokoh yang hari-hari ini digadang-gadang sebagai calon presiden, di samping calon-calon dari kalangan sipil.

Ketika meladeni sindiran Megawati, yang disebut-sebut akan menjadi rival paling potensial pada pemilihan presiden Juli nanti, banyak pihak menilai Yudhoyono sebagai emosional sehingga mudah terpancing.

Sedangkan tudingannya kepada para petinggi TNI dan Polri, dinilai pengamat sebagai tindakan yang sembrono, panik, dan menunjukkan ketidakpercayaan namun sekaligus ingin mengesankan sebagai pihak yang dizalimi dan dikhianati.

Di satu sisi, pernyatanya mengenai TNI –jika tudingannya itu betul-betul didasari kenyataan– bisa ditafsirkan bahwa pemerintahan Yudhoyono gagal mengangkat harkat TNI sebagai kekuatan pertahanan yang profesional. Akibatnya, muncul ketidakpuasan yang kemudian diwujudkan dalam bentuk pembelotan sikap politik di balik seragam kenetralan.

Pada sisi lain, pernyataan Yudhoyono tersebut bisa juga dilihat sebagai manuver politiknya untuk mencari perlindungan pada TNI atau Polri, mengingat muncul beberapa nama perwira bertaburan bintang yang akan mencalonkan diri sebagai calon presiden.

Sebagai orang militer, Yudhoyono pasti sadar betul ‘kemampuan tempur’ tiap individu dan keterampilan mengoperasikan dan mengelola jaringan demi kemenangan, sebagaimana yang dilakukannya sendiri ketika maju ke ‘medan laga’ Pemilihan Presiden 2004.

Terlepas dari semua perdebatan itu, ketika pemilu makin dekat, seharusnya para elite politik mengurangi atau bahkan menghentikan tingkah laku mereka yang bisa membuat masyarakat mengalami kelelahan politik.

Jika rakyat sudah lelah, mereka akan ‘istirahat’ yang berarti demokrasi tak akan berjalan sempurna. Bagaimana rakyat tidak letih jika hampir saban hari mendengar dan menyaksikan elite saling terkam, saling tendang dan baku sodok lewat pernyataan-pernyataan.

Polemik berkembang dan meletup-letup namun tak pernah mencapai titik akhir berupa kesimpulan rasional yang bisa melegakan semua pihak, karena belum selesai satu perkara diperdebatkan dan diributkan, muncul lagi problem baru yang tak kalah seru.

Ujung-ujungnya, rakyat makin bingung. Padahal yang terpenting dari pertarungan politik di tahun 2009 adalah semua pihak mampu mengedepankan kepentingan bangsa dan negara ini daripada kepentingan kelompok, apalagi kepentingan pribadi.

Para elite itu seharusnya makin sadar bahwa kini rakyat sudah letih dan jenuh dijadikan alas kaki mereka. Mestinya mereka lebih berhati-hati, karena rakyat pun bisa bergerak. Kita tentu sangat tidak berharap bahwa besok lusa terjadi ‘arus balik’ yang melawan para elite.

Perlawanan itu bisa dalam berbagai bentuk, mulai dari menarik kepercayaan dan mandat yang selama ini telah diberikan kepada para wakil mereka. Atau melawan secara diam: Tak peduli lagi urusan politik, tak lagi mau berpartisipasi secara politik. Itu yang berbahaya bagi kelangsungan demokrasi.**

01
Feb
08

Politik Poco-poco

poco-pocoan.jpg
ORANG mengenalnya sebagai lagu dan tarian khas Minahasa, Sulawesi Utara, meski sejatinya Poco-poco berasal dari Ambon, Maluku. Mulai populer awal 1990-an, hingga kini masih sering digelar dalam berbagai kesempatan pesta gembira.
Ciri poco-poco, step-nya patah-patah dengan arah berganti-ganti pada hitungan 1-2-3-4. Satu langkah kaki diayun ke depan, namun buru-buru mengayun lagi selangkah ke belakang seiring irama yang mudah diikuti.
Balenggang pata-pata
Ngana pe goyang pica-pica
Ngana pe bodi poco-poco
Selain dipopulerkan oleh kalangan militer, tari pergaulan ini juga jadi materi pelengkap di sanggar-sanggar bugar. Disisipkan di tengah latihan aerobik, dengan gerakan yang bisa lebih dinamis karena musik pengiringnya lebih rampak.
Entah karena presiden Yudhono pensiunan militer yang mungkin sesekali pernah berpoco-poco bersama pasukannya, atau karena mantan presiden Megawati Soekarnoputri gemar menari poco-poco dan memahami betul “filosofi gerak” tarian itu, sehingga ia menuding (pemerintahan) Yudhoyono ibarat poco-poco. Bergerak di tempat, cuma sekadar menghibur diri dan orang lain.
Cuma ngana yang kita cinta
Cuma ngana yang kita sayang
Cuma ngana suka biking pusing
Kritik itu dilontarakan Mega terhadap gerak-gerik pemerintah saat ini yang dinilainya tidak berhasil mengubah keadaan menjadi lebih baik. Kemiskinan bukannya semakin berkurang, malah justru meningkat, kata Mega.
Di satu sisi, kritiknya mungkin betul. Di sisi lain, adalah lebih mudah mengamati sesuatu dari luar ketimbang berada dan turut menjalankan sebuah sistem. Bagi Megawati, yang juga pernah memimpin republik ini, tentu dia paham betul bagaimana sulit dan ruwetnya persoalan yang dihadapi bangsa ini.
Mampu dan berhasilkah dia dan timnya mengatasi persoalan? Tepatkah langkah-langkah yang diambilnya untuk menuntaskan masalah kemiskinan, pendidikan, korupsi, dan lain sebagainya? Publik lah yang tentu merasakan, mencatat, dan memperbandingkannya.
Dan, bisa jadi, dengan dasar itu pula publik menentukan pilihan pada saat pemilihan presiden tempo hari. Dasar itu pula yang tentu akan jadi satu di antara pertimbangan publik untuk memilih pemimpin-pemimpin di masa datang.
Ngana bilang
Kita na sayang
Rasa hati ini malayang
Jau… uh… ci ya … ci ya
Sejauh ini, satu hal yang tampaknya belum juga bisa dituntaskan oleh para pemimpin negeri ini adalah korupsi. Betul, tiap rezim selalu punya konsep, selalu “tampak” ada upaya memberantas tuntas praktek-praktek korupsi, namun realitas menunjukkan, hampir semuanya tak berhasil.
Korupsi seperti sudah jadi ruh yang menghablur dan menggerakkan segala aktivitas hampir semua lini, institusi, lembaga, badan, pemerintahan maupun swasta, dari pusat sampai ke daerah. Padahal, lembaga dan institusi pencegah dan penindak korupsi sebenarnya sudah cukup lengkap.
Isu pemberantasan korupsi bukan saja milik pemerintahan sekarang, sebab sudah digembar-gembor demikian kencang sejak era Soekarno, di masa Soeharto, Habibie, Abdurrahman Wahid, juga saat Megawati berkuasa, hingga kini di era Yudhoyono.
Nyatanya, korupsi tetap merajalela dan –dalam beberapa bentuk– seakan sudah diterima sebagai kelaziman dan keharusan yang tak seakan perlu dipertanyakan lagi. Masyarakat sendiri seperti sudah tak berdaya menghindarinya, malah cenderung ikhlas melarutkan diri di dalam praktek yang seharusnya diperangi.
Biar kita ngana pe bayang
Biar na biking layang-layang
Cuma ngana yang kita sayang
Saking parahnya cengkereaman kultur korupsi itu, lembaga wakil rakyat dari pusat ke daerah, bahkan lembaga sekelas Bank Indonesia, bank sentral yang seharusnya steril dari soal-soal seperti itu ternyata juga terindikasi terlibat dalam arus pusaran korupsi.
Itu baru persoalan korupsi. Belum lagi masalah-masalah lain termasuk bencana alam yang seolah tak henti terjadi dan memerlukan langkah-langkah strategis dan tepat. Bencana yang silih berganti datang itu pun tidak semata akibat dari proses alamiah, namun ada juga yang hadir karena “diundang” oleh pelaksanaan dan tindak-tanduk pembangunan yang tidak tepat.
Di tengah situasi seperti ini, rakyat butuh ketenangan, keyakninan dan harapan akan masa depan yang lebih baik. Harapan itu antara lain digantungkan pada pundak para pemimpin yang mampu menunjukkan kearifan dan kebijaksanaannya. Namun, yang terjadi, para pemimpin ini jauh lebih suka baku omong dan saling-silang bersilat lidah merapal jurus-jurus retoris.
Maka, daripada ikut pusing, mendingan kita bercpoco-poco bersama saja: Dur, panjak!
Cuma ngana yang kita cinta
Cuma ngana yang kita sayang
Cuma ngana suka biking pusing
.