Posts Tagged ‘nirmala

10
Jun
09

From Malaysia with Blood

siti

UNTUK kesekian kali kabar duka itu datang lagi dari Malaysia. Seorang perempuan asal Garut Jawa Barat yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga di tanah jiran itu, disiksa majikannya. Selama tiga tahun memburuh, bukan upah yang diterimanya, melainkan penganiayaan demi penganiayaan.

Sebagaimana ramai diberitakan media massa, Siti Hajar, perempuan Indonesia korban kekejaman majikan Malaysia itu menderita. Luka- luka mencederai hampir seluruh anggota badan mulai dari kaki, tangan, punggung, hingga kepala.

Penderitaan Siti nyaris luput dari perhatian, tenggelam oleh hiruk-pikuk berita drama tragedi Manohara, perempuan belia yang menurut ceritanya juga jadi korban kekejaman suaminya, putra mahkota Kerajaan Kelantan.

Mano memperoleh porsi liputan yang amat gencar, dukungan besar dari lembaga swadaya masyarakat dan pengacara-pengacara kondang berkelas internsional. Siti tidak, ia –dengan kesahajaannya– hanya bisa menyerahkan nasib kepada pihak kedutaan RI di Malaysia.

Bagi Siti, tak pula ada liputan mendalam yang dilengkapi wawancara jarak jauh dengan pihak-pihak terkait yang dilakukan oleh jaringan media nasional, meski penderitaan lahir dan batin yang dialaminya mungkin sama bahkan bisa lebih parah dibanding apa yang dialami Manohara.

Terlepas dari diskriminasi perhatian media terhadap dua kasus yang menimpa perempuan Indonesia di Malaysia itu, apa yang dialami Siti kembali mengingatkan kita sebagai bangsa terhadap persoalan yang hingga kini tampaknya belum mendapatkan perhatian yang cukup dari pemerintah.

Siti adalah satu di antara sekian puluh — bahkan mungkin ratusan — pekerja kita yang mengalami nasib buruk di tanah seberang. Tiap tahun ratusan ribu orang Indonesia diperburuhkan ke luar negeri, dan dari jumlah itu, 60-70 persen dari bekerja di sektor informal (untuk tidak menyebut sebagai pembantu rumah tangga).

Banyak yang bernasib bagus, bisa pulang kampung atau setidaknya secara teratur mengirimi keluarganya di tanah air, hingga devisa yang mereka alirkan rata-rata 13,8 miliar dolar per tahun atau Rp 28 triliun. Jumlah yang tentu sangat besar.

Namun tak kurang pula yang bernasib seperti –bahkan mungkin lebih buruk dari– Siti. Kita ingat kasus Nirmala Bonat, gadis Nusa Tenggara Timur (NTT) yang dianiaya luar biasa oleh majikan malaysianya hingga wajah dan tubuhnya mengalami cacat seumur hidup. Sebelumnya, tercatat tak kurang dari 150 perempuan buruh asal Indonesia tewas oleh berbagai sebabh di Singapura. Sebagian besar diberitakan sebagai terjatuh dari rumah bertingkat tinggi.

Kisah duka para ‘siti dan nirmala’ di Timur Tengah pun tak kunjung putus. Mereka bahkan ada yang kembali sudah jadi mayat atau lumpuh seumur hidup. Atau, yang lebih tragis lagi, justru jadi korban bandit-bandit yang dengan liar memburu mangsa di Bandara Soekarno Hatta, alias di beranda kampung halaman sendiri.

Bahwa ada negara yang jadi harapan bangsa-bangsa dari negara lain, itu wajar-wajar saja. Suatu negara yang lebih makmur memang jadi sasaran tetangganya yang kurang makmur untuk mencari nafkah. Karena Indonesia kurang mampu memaksimalkan kemakmurannya sendiri, maka banyak anak bangsa mencari nafkah di negeri lain. Hal sama sebenarnya juga terjadi atas Filipina.

Bedanya, dalam pergaulan internasional, tenaga kerja Filipina seringkali lebih dihargai, gajinya lebih tinggi bukan saja karena kemampuan berbahasanya, tapi juga karena lebih terampil menggunakan alat-alat rumah tangga modern.

Bukan itu saja, pemerintah Filipina sadar betul bahwa para tenaga kerjanya adalah pahlawan devisa. Karena itu mereka melindungi dan memberi jaminan yang memadai meski warganya tinggal di negeri-negeri nun jauh. Mereka berani memilih memutuskan hubungan diplomatik demi membela anak bangsanya.

Indonesia yang sudah lebih dari 30 tahun berpengalaman “mengekspor” tenaga kerja seharusnya sudah jauh memiliki perlindungan dan jaminan keamanan serta keselamatan warganya di negeri jiran. Namun sejak tahun 1968-hingga kini, tak ada satu pun ketentuan atau perundang-undangan yang secara konkret melindungi para pekerja kita di luar negeri.

Yang ada pun, bahkan cenderung menempatkan mereka semata sebagai barang komoditi yang harus mendatangkan keuntungan. Upaya kongkret baru dilakukan jika ada kasus yang menimpa pekerja kita di tanah seberang.

Penyelesaiannya pun dilakukan secara parsial, kasus per kasus, bukan secara mendasar merombak regulasi dan membuat mereka sangat terlindung. Kasus Siti pun bisa menguap begitu saja jika media tidak segera meributkannya. (*)

03
Mei
08

Kartini Abad Kini

 

PEREMPUAN itu melangkah dengan agak ragu sambil menyo­rong­kan tiket dan paspornya ke pramugari. Sang pramugari tersenyum, lalu memintanya menunjukkan boarding pass agar ia bisa atahu di kursi mana penumpang ini harus duduk. “Tiket dan paspornya di­simpan saja, mbak,” katanya.

Rambutnya lurus dengan ujung dibikin keriting, lipstiknya merah menyala, kacamata hitam menutup matanya sementara kabel walkman menjulur dari ku­ping kiri-kanannya. Ia mengenakan rok over-all dari bahan jins biru dengan kaos bulu tebal lengan pan­jang bermotif kulit macan. Sepatunya berhak sangat tebal, dengan kaos kaki warna hitam bergaris-garis merah setengah betis. Jam tangan dengan piringan tebal dan melotot beradu dengan gelang manik-manik warna warni.

Begitu duduk –kebetulan di sebelah saya– di dekat jendela, ditariknya dompet dari ransel kulit kecil, paspornya pun dicabut lagi dari saku ransel, dibukanya. “Aku dari luar negeri nih,” mung­kin itu yang hendak dikatakannya.

Dari dompet panjang dica­butnya amplop, dan ia menarik isinya. Selembar cek bertulisan Huruf Arab dari sebuah bank di Riyadh. Dibolak-baliknya cek itu, se­­­akan ingin menunjukkan, “Urusan gua sudah pakai cek, cing!”. Ia turun di Jakarta dan melanjutkan dengan penerbangan lain ke Surabaya.

Ini mungkin buruh yang baru mudik, pikir saya. Ternyata benar, dari perbincangan sekilas, ia menuturkan sudah setahun bekerja pada seorang saudagar di Riyadh. Ia dizinkan pulang untuk lebar­an, tapi tak akan kembali lagi.

“Kecuali kalau ada ponsor, ‘ana’ pasti berangkat lagi,” katanya. Yang dimaksud ponsor itu, ternya­ta sponsor, penghubung alias calo tenaga kerja yang biasa datang ke desa-desa. Juga ke desanya, katanya sih, di Kediri sana.

Adegan itu teringat kembali ketika beberapa waktu lalu media mas­sa kita dihebohkan oleh kasus Kartini. Kartini yang kita kenal saat ini, tentu saja bukan Putri Je­para yang pikiran-pikirannya dilukiskan –oleh Belanda– cemer­lang dan progresif namun tak berdaya melepaskan diri dari tin­dasan adat yang memberi kebebasan pada suaminya untuk mem­per­laku­kan dia seenak perut dan bawah perut. Lalu diharumkanlah namanya sebagai Putri Sejati.

Kartini abad-21 adalah Kartini dari kampung di Rengas­deng­klok Karawang yang –karena kemiskinan– lantas membiarkan diri diekspor ke tanah seberang, dan terdamparlah ia di Fujairah Uni Emirat Arab.

Kartini diekspor ke sana bersama ratusan, mungkin ribuan, perem­puan lain yang dibetot dari komunitasnya, keluarga, anak dan sua­minya, untuk dipekerjakan sebagai pembantu rumah tangga, kata la­in untuk memperhalus istilah babu dan jongos.

Kartini hamil, atau dihamili, seorang lelaki asal India, dan ia sendirian harus menanggung dosanya. Pengadilan setempat memper­­salahkannya atas kasus perzinaan, dan hukuman untuk tindak pidana itu adalah dirajam sampai mati, sesuai dengan undang-undang setem­pat.

Kerancuan proses penempatan, minimnya mutu dan perlindungan serta kerentanan posisi buruh merupakan titik lemah program penempatan buruh ke Timur Tengah. Terlebih lagi masih ada citra di sebagian masyarakat Arab bahwa pembantu adalah budak yang bisa diperlakukan layaknya sesuka majikan. Oleh karena budak itu sudah dianggap miliknya, mereka bisa melakukan apa saja terhadap budaknya.

Sudah beberapa kali Departemen Tenaga Kerja mengusulkan ke­pada sejumlah negara Arab untuk menandatangani Nota Kesepahaman (MO­U) yang isinya antara lain menyatakan bahwa TKW itu adalah pekerja dan bukannya budak. Tapi negara‑negara Arab itu tidak mau me­nekennya. Artinya, kita tetap tunduk saja pada ketentuan yang mereka berlakukan.

Posisi tawar menawar kita dalam ekspor budak, eh ekspor buruh ini tetap lemah ketika dihadapkan pada kelangkaan kesem­pa­tan kerja di dalam negeri di satu pihak dan peningkatan devisa di pihak lain. Maka dengan penuh semangat kita kirim sebanyak mungkin orang, termasuk yang seperti Kartini, dan ketika kena kasus barulah ribut.

Kartini, dengan keterbatasan berbahasa dan pengetahuan hukum lokal, tentu tak bisa berbuat banyak saat diadili. Bisa jadi, dalam proses persidangan, ia tidak mengerti pertanyaan yang dia­juk­an jaksa karena saat itu ia tidak didampingi oleh penerjemah, dan ia manggut-manggut saja ketika dituding telah berzina.

Kita tentu sepakat, zina adalah perbuatan dosa, dan seorang pen­dosa harus dihukum. Namun kita masih belum mendapat kejelasan, apa­kah kehamilan Kartini me­mang merupakan buah dari perzinaan su­ka sama suka, atau oleh se­bab lain. Misalnya, Kartini tak kuasa menolak atau menghindar dari amuk birahi lelaki yang kemudian me­nye­babkannya hamil.

Persoalannya kemudian adalah, haruskah Kartini mati de­ngan cara dirajam atas ‘dosa’ yang diperbuatnya bersama lawan mainnya itu? Apakah ke­hamilan saja sudah cukup membuktikan bahwa ia berzina dan harus ma­ti karena itu? Apakah orang yang turut me­lakukan perbuatan dosa itu boleh bebas berkeliaran dan lepas dari hukuman?

Dan, masih ba­nyak lagi pertanyaan yang mung­kin muncul, sebelum kita bisa mene­­rima atau menolak pelak­sanaan proses hukum bagi Kartini.

Lepas dari dari legal atau tidaknya Kartini diekspor untuk bekerja di UEA, proses penempatan Kartini merupakan gambaran dari program penempatan buruh Indonesia di mancanegara, khususnya ke Timur Tengah.

Ini juga menguak fakta yang sesungguhnya, bahwa meski zaman per­budakan sudah tinggal sejarah, pada prakteknya kita malah sedang melegalkan perbudakan model baru. Celakanya, sebagaian besar di antara ‘budak-budak’ itu justru berasal dari kaum Kartini, yang –maaf saja– sebagian besar di antara mereka diposisikan sebagai jongos alias babu, atau istilah halusnya pembantu rumah tangga, lebih halus lagi pramuwisma.

Nah, ketika nasib buruk menimpa orang seperti Kartini dan juga Nasiroh, barulah kita tersentak. Pemerintah ribut seakan betul-betul ingin membela seluruh buruh kita yang dikemas dalam pa­ket-paket ekspor tenaga kerja. Namun persoalan sudah ter­lalu rumit sebab kita tidak menanganinya secara benar sejak awal. Ketika muncul kasus per kasus, barulah tindakan penanganan dilakukan sehingga terkesan pemerintah kita membela buruh yang tenaganya diperas untuk meningkatan devisa itu.

Hal yang agak menimbulkan pertanyaan adalah, mengapa pada saat-saat seperti ini para Kartini yang tergabung dalam berbagai lembaga swadaya masyarakat seperti tidak tergerak untuk menun­jukkan peran dan pembelaannya terhadap sesama kaumnya. Ingat ketika kerusuhan Mei, betapa militan para Kartini ini berjuang bahkan bergerilya menolong dan membela, memberi advokasi, dan berdemonstrasi meneriakkan penderitaan para perempuan yang jadi korban kebiadaban amuk massa.

Namun, ketika Kartini abad 21 terpojok di kursi pesakitan nun di negeri seberang sana, hanya sedikit orang di tanah air yang mau bersuara, apalagi memperjuangkannya. Atau ketika mengalami nasib sebagaimana yang menimpa Nirmala Bonat, ( http://curahbebas.wordpress.com)

Padahal, bukan cuma Kartini, Nirmala, dan Nasiroh yang nasibnya tak menentu di tanah seberang (antara 30 – 40 persen perempuan pekerja di sana dilaporkan mengalami perundungan seksual!), sebab di tanah air sendiri masih banyak Kartini lain yang nasibnya harus diper­juangkan. ***

 April 2000Bandung,

 

05
Jan
08

Horor Sang Majikan

nirmalabonat.jpg

ENTAH apa yang dirasakan Nirmala ketika Kamis (3/1/07) Hakim pengadilan Kuala Lumpur menyatakan Yim Pek Ha majikan Nirmala, bersalah dan dapat dihukum setidak-tidaknya 20 tahun penjara.

“Jaksa penuntut telah berhasil membuktikan empat tuduhan yang diajukan. Saya menyatakan Yim Pek Ha bersalah. Sebelum diputuskan berapa lama hukumannya, maka saya memberi kesempatan kepada tertuduh untuk membela diri,” kata Ahktar, hakim tunggal mahkamah di Kuala Lumpur itu.

Adil ataupun tidak, putusan ini tentu saja sangat berarti tidak hanya bagi Nirmala Bonat, tapi bagi bangsa Indonesia, khususnya mereka yang bekerja di luar negeri karena tanah airnya –yang subur makmur aman tenteram ketaraharja– ini tak mampu menyediakan lapangan kerja yang memadai bagi mereka.

Dua puluh tahun mungkin tempo yang cukup lama bagi si terhukum. Tapi cedera fisik dan psikis yang dialami Nirmala tak akan sembuh lagi sampai seumur hidupnya. Remaja putri asal Nusa Tenggara Timur ini harus menanggung cacat bikinan sang majikan.

Rumah sang majikan yang seharusnya melindunginya dari berbagai ancaman, justru jadi neraka yang mencengkeramnya dengan beragam siksa dan aniaya.

Horor ini terkuak pertengahan Mei 2004, dan langsung mengguncang perasaan orang-orang yang punya hati nurani. Ia jadi korban kekejian majikan tempatnya mengabdi. Dara berusia 19 berkulit hitam dengan paras manis berambut keriting ini telah berubah drastis.

Wajahnya jadi lebih mirip alien dalam Star Trek. Sosoknya penuh bopeng dan bekas luka melepuh. Di punggung, kedua payudara, paha, betis, kepala, tangan. Cedera fisik ini buah penderitaan yang ditahan-tahannya berbulan-bulan. Kadang ia disiram air panas. Sesekali digetok. Kali lain disetrika!

“Pada bulan keempat beta mulai disiksa. Pertama kali gara-gara piring retak kena pipa air. Dong marah, dan pukul be pung mulut deng cawan besi. Sejak itu amper tiap hari dong pukul beta. Yang paling sakit yang beta inga, setelah disetrika. Beta pingsan. Dong siram beta deng air panas. Untung beta sadar dan menghindar,” tutur Nirmala kepada Richard, wartawan Pos Kupang yang menghubunginya di tempat penampungan beberapa hari setelah dia lolos dan diselamatkan.

Ya, Nirmala berhasil lepas dari siksaan. Media setempat menyiarkannya. Dunia tersentak, dan sejenak menoleh ke Malasysia. Insiden ini tentu saja menampar muka Encik Badawi dan masyarakatnya, sekaligus (mestinya) menohok pemerintah Indonesia yang ternyata –setelah lebih 30 tahun mengekspor tenaga kerja– tidak juga mampu memberi perlindungan memadai pada anak bangsanya di rantau.

Sangat wajar jika Badawi mengaku sangat malu ketika ada warga negara makmur yang dipimpinnya berlaku amat teruk seperti itu. Sebagai bangsa beradab dan ramah, Malaysia tentu akan tercoreng oleh ulah salah seorang ‘oknum’ waragnya yang ’sanggup melakukan kesakitan begitu rupa kepada seorang manusia lain,’ sebagaimana ditulis media setempat.

Tentu sangat tidak wajar jika pemerintah tempat Nirmala berasal justru adem ayem, tidak serentak melakukan tindakan strategis dan sistematis untuk melindungi para pekerjanya di luar negeri, selain sekadar berusaha menjemputnya dan mendampingi pada saat proses hukum.

Apalagi Nirmala bukanlah satu-satunya korban. Ia hanyalah satu dari sekian puluh bahkan mungkin ratusan — dari entah berapa orang persisnya jumlah pekerja kita di tanah seberang. Tahun 2003 saja hampir 900.000 orang diekspor, eh dikirim, ke luar negeri. Dari jumlah 60-70 persen dari bekerja di sektor informal (untuk tidak menyebut sebagai pembantu rumah tangga) seperti Nirmala.

Nirmala berarti immaculata, suci, bersih, adalah seorang pengembara tulen. Ia tinggalkan kampung halaman yang tidak bisa memberinya kehidupan layak. Ia hanya punya tenaga dan kemauan mengubah nasib. Bekerja apa pun –sepanjang itu halal– jadilah.

Maka ia menyeberang ribuan kilo meter dari kampungnya di pojokan pulau karang kering di belahan barat Timor. Dari kampung halamannya yang bertetangga dengan ‘luar negeri’ Timor Leste, ia mengembara ke barat, ke negeri Encik Badawi dan mengabdi pada sebuah keluarga. Dan, malapetaka pun menimpanya.

Lihat http://curahbebas.wordpress.com