Posts Tagged ‘otonomi

08
Feb
09

Mekar, Kuncup, Me….

kuncup-mekar1

AKHIR pekan lalu Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Agung Laksono meminta presiden segera mengeluarkan peraturan untuk menghentikan sementara (jeda) proses pemekaran daerah. Desakan ini muncul karena proses pemekaran wilayah yang terjadi dalam sepuluh tahun terakhir ini sudah tidak terkendali.

Setahun lalu, persisnya tanggal 22 Januari 2008, DPR menyetujui 21 Rancangan Undang-undang (RUU) Usul Inisiatif Pembentukan Provinsi dan Kabupaten. RUU ini terdiri atas delapan RUU Pembentukan Provinsi dan 13 RUU Pembentukan Kabupaten.

Sejak 1998, jumlah daerah otonom baru di Indonesia meningkat dua kali lipat. Jika pada tahun 1998 ada 230 kabupaten/kota, maka pada akhir 2008 sebanyak 477 kabupaten/kota. Jumlah itu memungkinkan sekali bertambah menjadi lebih banyak lagi karena usul pemekaran begitu banyak.

Sebenarnya, UU di Indonesia selain mengatur pemekaran juga mengatur penggabungan wilayah. Nyatanya, yang terjadi selama ini selalu pemekaran, tidak ada penggabungan. Semangat untuk melepaskan diri, tampaknya lebih besar dibanding bersatu membangun daerah.

Insiden di Sumatera Utara yang dipicu ide pemekaran wilayah, mungkin bisa mempertegas pandangan tentang apa sesungguhnya yang paling menjadi latar belakang dari pemekaran itu selama ini.

Jika pemekaran itu murni demi kesejehateraan rakyat, tentu saja dalam prosesnya tidak pernah akan ada tindakan-tindakan yang justru merugikan rakyat. Tampak di sana, bagaimana kepentingan para elite politik lebih banyak berperan daripada kepentingan masyarakat sendiri.

Selain itu, terungkap pula bahwa dalam proses pemekaran-pemekaran daerah selama ini, terjadi praktek-praktek percaloan politik yang sarat dengan aneka tawar-menawar, mulai dari kepentingan politik para elite hingga ke kecenderungan koruptif.

Di sisi lain, pemekaran yang sudah dilakukan selama ini ternyata tidak banyak berpengaruh terhadap kesejahteraan masyarakat. Masalahnya, pemerintahan daerah baru lebih sibuk membangun insfrastruktur, sarana dan fasilitas, yang mengisap begitu banyak dana dari anggaran. Manfaat langsung terhadap rakyat, masih belum tampak.

Data hasil audit investigatif  Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menunjukkan rendahnya kinerja keuangan daerah-daerah hasil pemekaran . Sebagian terbesar, atau 83 persen dari 148 daerah baru hasil pemekaran, kondisi keuangannya tidak memenuhi syarat alias sangat memprihatinkan.

Ini tentu saja merupakan indikasi, bahwa pemekaran daerah — setidaknya sejauh ini– belum memberikan manfaat signifikan bagi rakyatnya. Itu baru dari satu aspek, keuangan. Belum lagi yang lain. Dari situ tampak, bahwa pemekaran yang terjadi dan sedang dalam proses selama ini, baru mengakomodasi kepentingan para elite politik di daerah maupun para politisi pusat.

Simak saja reaksi keras menyusul apa yang ditetapkan DPR mengenai pemekaran atas sejumlah wilayah Naggroe Aceh Darussalam (NAD), dan Papua.  Saat itu Gubernur Aceh dengan tegas akan melawan habis-habisan para elite politik demi keutuhan dan kedaamaian wilayahnya. Majelis Rakyat Papua (MRP) juga menecam keras para politisi yang membuat kebijakan tanpa sepengetahuan daerah dan menggerogoti Otonomi Khusus (Otsus) yang diberikan pada Papua.

Berkaca pada kasus Sumatera Utara, Aceh dan Papua, masuk akal jika pemerintah mempertimbangkan kembali suara-suara yang menginginkan agar pemekaran-pemekaran wilayah itu ditunda atau bahkan dihentikan sama sekali untuk sementara.

Betul bahwa pemekaran wilayah dimungkinkan kartena diperbolehkan konstitusi. Namun pembentukan wilayah baru tanpa melihat hasil evaluasi, tentu saja juga tidak tepat karena tindakan itu hanya bersifat politis. Padahal kita semua tahu, bahwa pertimbangan politis saja tidak akan bisa menyejahterakan rakyat.

Selain itu, hingga kini pemerintah belum punya rancangan umum (grand design) yang bisa dijadikan dasar pijak untuk pengembangan wilayah agar ide npengemabangan, pemekaran, atau apa pun namanya berlangsung secara tekendali dan obyektif.

Karena terbukti pemekaran itu lahir bukan dalam rangka politik nasional tetapi lebih untuk mengakomodasi kepentingan segelintir elite, sudah saatnyalah pemerintah bersikap tegas. Daripada meghabiskan dana dan tenaga untuk pemekaran satu ke pemekaran lain, lebih baik memaksimalkan pemberdayaan aparatur yang ada. **

13
Jun
08

Pekikan dari Tengah Rimba

SENIN 2 Juni 2008, saya diminta jadi panelis pada Konferensi Meja Bundar Inisiatif Kalimantan Pertama yang digelar Selasa 3 Juni. Acara digagas The Agustin Teras Narang (ATN) Center. Organisasi ini didirikan sebagai think tank Teras Narang saat maju sebagai calon gubernur Kalimantan Tengah, dan hingga kini tetap dipertahankan.

Tentu saja ini kesempatan menarik karena konferensi ini membahas persoalan-persoalan dasar Kalimatan sebagai satu kesatuan wilayah mandiri di tengah konstelasi Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang dijalari spirit otonomi daerah.

Menarik dan sekaligus penting, karena di pulau yang penduduknya serumpun ini ada otoritas tiga negara yakni Indonesia, Malaysia dan Brunei Darussalam.

Acara ini digelar di Pendopo Muhammad Subuh Center, kira-kira 30 kilometer dari Palangka Raya.
Konferensi ini merupakan sebuah diskusi dengan seluruh stakeholder mulai dari masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, pebisnis dan pejabat pemerintah. Tujuannya untuk mempercepat pembangunan di Kalimantan, dengan memperhatikan kondisi lokal, baik masyarakat dan lingkungannya.

Masalah yang didiskusikan meliputi ekonomi, lingkungan hidup, industri, ekoturisme dan pemerintahan yang baik. Selain itu juga pengembangan dan pemasaran kawasan di Kalimantan sebagai tujuan penanaman modal utama lokal, nasional, regional dan internasional.

Agenda ini juga untuk mencari terobosan dalam menciptakan sinergi dengan daerah-daerah di negara tetangga seperti Sabah, Serawak dan Brunei Darussalam. Dengan demikian akan sangat mendukung pengembangan ekonomi daerah.

Yang menarik lagi, dari empat gubernur di tanah Borneo, hanya tuan rumah (Teras Narang) yang hadir dan dengan intensitas tinggi mengikuti serta larut dalam konferensi dari pagi hingga menjelang malam. Gubernru Kabar, Kalsel. dan Kaltim tak tampak hadir. Malah tamu dari jiran, Asistant Minister Sabah, Datuk Wilfred Bumburing, hadir bersama timnya.

Di deretan pembicara, hadir antara lain Indra J Piliang, Denny Indrayana, Padang Wicaksono, Berry Nahdian Furqan, William Chang, Aloe Dohong (tokoh Dayak), dan lain-lain, termasuk Teras Narang yang tak surut semangatnya sejak membuka konferensi sampai konpferensi berakhir.

Luas wilayah Kalimantan mencapai 507.412 km2 atau 27,27 persen dari total wilayah Indonesia yang seluas 1.860.360 km2. Sumber daya alam yang dimiliki sangat berlimpah mulai dari hasil hutan, pertanian, perikanan dan pertambangan.

Pertumbuhan ekonomi Kalimantan 2004 mencapai 3,84 persen dan meningkat menjadi 4,06 persen pada 2005, sedangkan pada 2006 mencapai 3,74 persen. Sementara angka pengangguran Pulau Kalimantan 8,88 persen, sedangkan secara nasional mencapai 10,3 persen pada 2006.

Kalimatan itu tanah kaya. Ya! Tapi, banyak rakyat pulau ini yang miskin. Pembangunan pun tidak segencar di Jawa. Mengapa? Kebijakan pusat menjadi salah satu penyebab.

“Belum ada keberpihakan dan perhatian nasional secara fokus kepada Kalimantan. Sumber daya alam kita dipakai tapi tidak ada nilai plus bagi daerah kita. Sebut saja kayu, seandainya 23 tahun ada perhatian pusat maka kita akan menikmati hasilnya,” kata Teras Narang.

Keberpihakan yang diinginkan, bukan semata dalam bentuk anggaran, tetapi juga dalam hal kebijakan yang berpihak pada Kalimantan. Pasalnya, pembangunan di Kalimantan masih sangat memprihatinkan dan tidak berbanding dengan sumber daya alam yang sudah dikeruk.

Tuntutan serupa juga terungkap dalam deklarasi Majelis Adat Dayak Nasional (MADN) sepekan sebelumnya. Peserta menuntut otonomi khusus bagi Kalimantan. Tujuannya, pengelolaan sumber daya alam benar-benar dinikmati masyarakat lokal dan kelestarian lingkungan tetap terjaga. Selain masalah infrastruktur, ekonomi dan pemerintahan, peserta KMB juga membahas masalah lingkungan yang kian rusak.

Bagi saya, selain diskusi sepanjang konferensi, yang tak kalah menarik adalah lokasinya. Pendopo yang jelas-jelas mencirikan warna kultur Jawa ini konon dibangun oleh Muhammad Subuh, penganjur gerakan kerohanian Subud, yang anggotanya kini sudah tersebar di berbagai negara.

Fasilitas hotel berkelas, tersedia di komplek yang terletak di tengah hutan di tepi Sungai Rungan ini. Suasana alam bebas rimba raya yang membingkai pondok-pondok (cottage) membawa pengunjung/penghuni seolah terlepas dari belitan rutinitas keseharian.

Dengan lingkungan seperti ini, tukar pikiran yang terjadi sepanjang diskusi-diskusi di dalam konferensi jadi terasa lebih intens dan terfokus karena konsentrasi tetap terjaga. Dari tengah rimba ini pula, peserta konferensi memekikkan tunutan, harapan, gagasan, inisiatif, dan pikiran-pikiran demi kemajuan Tanah Borneo beserta penghuninya.

Apakah pekikan itu terderngar atau tidak, itu persoalan lain. (*)