AKHIR pekan lalu Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Agung Laksono meminta presiden segera mengeluarkan peraturan untuk menghentikan sementara (jeda) proses pemekaran daerah. Desakan ini muncul karena proses pemekaran wilayah yang terjadi dalam sepuluh tahun terakhir ini sudah tidak terkendali.
Setahun lalu, persisnya tanggal 22 Januari 2008, DPR menyetujui 21 Rancangan Undang-undang (RUU) Usul Inisiatif Pembentukan Provinsi dan Kabupaten. RUU ini terdiri atas delapan RUU Pembentukan Provinsi dan 13 RUU Pembentukan Kabupaten.
Sejak 1998, jumlah daerah otonom baru di Indonesia meningkat dua kali lipat. Jika pada tahun 1998 ada 230 kabupaten/kota, maka pada akhir 2008 sebanyak 477 kabupaten/kota. Jumlah itu memungkinkan sekali bertambah menjadi lebih banyak lagi karena usul pemekaran begitu banyak.
Sebenarnya, UU di Indonesia selain mengatur pemekaran juga mengatur penggabungan wilayah. Nyatanya, yang terjadi selama ini selalu pemekaran, tidak ada penggabungan. Semangat untuk melepaskan diri, tampaknya lebih besar dibanding bersatu membangun daerah.
Insiden di Sumatera Utara yang dipicu ide pemekaran wilayah, mungkin bisa mempertegas pandangan tentang apa sesungguhnya yang paling menjadi latar belakang dari pemekaran itu selama ini.
Jika pemekaran itu murni demi kesejehateraan rakyat, tentu saja dalam prosesnya tidak pernah akan ada tindakan-tindakan yang justru merugikan rakyat. Tampak di sana, bagaimana kepentingan para elite politik lebih banyak berperan daripada kepentingan masyarakat sendiri.
Selain itu, terungkap pula bahwa dalam proses pemekaran-pemekaran daerah selama ini, terjadi praktek-praktek percaloan politik yang sarat dengan aneka tawar-menawar, mulai dari kepentingan politik para elite hingga ke kecenderungan koruptif.
Di sisi lain, pemekaran yang sudah dilakukan selama ini ternyata tidak banyak berpengaruh terhadap kesejahteraan masyarakat. Masalahnya, pemerintahan daerah baru lebih sibuk membangun insfrastruktur, sarana dan fasilitas, yang mengisap begitu banyak dana dari anggaran. Manfaat langsung terhadap rakyat, masih belum tampak.
Data hasil audit investigatif Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menunjukkan rendahnya kinerja keuangan daerah-daerah hasil pemekaran . Sebagian terbesar, atau 83 persen dari 148 daerah baru hasil pemekaran, kondisi keuangannya tidak memenuhi syarat alias sangat memprihatinkan.
Ini tentu saja merupakan indikasi, bahwa pemekaran daerah — setidaknya sejauh ini– belum memberikan manfaat signifikan bagi rakyatnya. Itu baru dari satu aspek, keuangan. Belum lagi yang lain. Dari situ tampak, bahwa pemekaran yang terjadi dan sedang dalam proses selama ini, baru mengakomodasi kepentingan para elite politik di daerah maupun para politisi pusat.
Simak saja reaksi keras menyusul apa yang ditetapkan DPR mengenai pemekaran atas sejumlah wilayah Naggroe Aceh Darussalam (NAD), dan Papua. Saat itu Gubernur Aceh dengan tegas akan melawan habis-habisan para elite politik demi keutuhan dan kedaamaian wilayahnya. Majelis Rakyat Papua (MRP) juga menecam keras para politisi yang membuat kebijakan tanpa sepengetahuan daerah dan menggerogoti Otonomi Khusus (Otsus) yang diberikan pada Papua.
Berkaca pada kasus Sumatera Utara, Aceh dan Papua, masuk akal jika pemerintah mempertimbangkan kembali suara-suara yang menginginkan agar pemekaran-pemekaran wilayah itu ditunda atau bahkan dihentikan sama sekali untuk sementara.
Betul bahwa pemekaran wilayah dimungkinkan kartena diperbolehkan konstitusi. Namun pembentukan wilayah baru tanpa melihat hasil evaluasi, tentu saja juga tidak tepat karena tindakan itu hanya bersifat politis. Padahal kita semua tahu, bahwa pertimbangan politis saja tidak akan bisa menyejahterakan rakyat.
Selain itu, hingga kini pemerintah belum punya rancangan umum (grand design) yang bisa dijadikan dasar pijak untuk pengembangan wilayah agar ide npengemabangan, pemekaran, atau apa pun namanya berlangsung secara tekendali dan obyektif.
Karena terbukti pemekaran itu lahir bukan dalam rangka politik nasional tetapi lebih untuk mengakomodasi kepentingan segelintir elite, sudah saatnyalah pemerintah bersikap tegas. Daripada meghabiskan dana dan tenaga untuk pemekaran satu ke pemekaran lain, lebih baik memaksimalkan pemberdayaan aparatur yang ada. **