Posts Tagged ‘papua

30
Des
09

Selamat Jalan, Gus!

UJUNG tahun 1999, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menyongsong pergantian tahun di Tanah Papua. Ia menyambut fajar milenium baru, tahun 2000, di tanah yang –dalam administrasi pemerintahan– semula bernama Irian Barat, lalu Irian Jaya.

Sepuluh tahun kemudian, 30 Desember 2009, sehari menjelang pergantian tahun Masehi, Gus Dur pergi untuk selama-lamanya. Ia meninggal di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, Rabu selepas waktu magrib.

Tokoh-tokoh masyarakat Papua menyatakan bela sungkawa bagi cendekiawan multidimensi ini. Demikian halnya masyarakat di Indonesia timur yang sebagian besar pemeluk Nasrani.

Adalah Gus Dur, yang ketika itu menjabat sebagai presiden, yang memutuskan menyetujui usulan rakyat di sana untuk mengembalikan nama Papua atas pulau paling timur Nusantara ini.

Gus Dur pula yang menganggap gerakan “perlawanan” rakyat Papua adalah bagian dari dinamika demokrasi. Ia menganggap bahwa pengibaran bendera Organisasi Papua Merdeka (OPM) tak perlu disikapi secara berlebih. Anggap saja bendera organisasi massa.

Itu baru sebagian kecil dari bentuk toleransi Gus Dur yang oleh sementara pihak sering dianggap melawan arus. Tidak umum. Kita tentu masih ingat, bagaimana ia tanpa ragu menetapkan Hari Raya Imlek sebagai hari libur nasional sebagaimana hari besar keagamaan lain. Suatu hal yang tak pernah terbayangkan sebelumnyam dan sekaligus merupakan apresiasi terhadap keragaman.

Ia dikecam oleh sebagian kalangan di lingkungan Islam yang menggapnya terlalu dekat dengan kaum Yahudi, karena ia jadi anggota yayasan perdamaian yang dimotori Shimon Peres, mantan PM Israel, dan menerima medali perdamaian.

Orang Yahudi menganggapnya amat berperan dalam upaya-upaya perdamaian di Timur Tengah. Demikian pula tokoh di Palestina. Ia bahkan punya hubungan khusus dan sangat dekat dengan (mendiang) Yasser Arafat.

Di tanah air, sangat boleh jadi hanya Gus Dur yang dengan tegas menyatakan siap membela para penganut Ahmadiyah, yang di beberapa tempat justru diuber-uber, diburu, diusir dan sebagian di antaranya jadi korban penganiayaan.

Sangat boleh jadi pula kita tidak atau belum akan menemukan lagi sosok seperti dia. Sosok ulama, pemikir, tokoh demokrasi, budayawan, politisi hebat. Matanya tak lagi dapat melihat, tapi hati dan pikirannya menembus dimensi kekinian, sehingga seolah mampu melihat apa yang kan terjadi.
Ya, gerak gerik pikirannya, jejak langkah gagasan-gagasannya sepenuhnya dihibahkan pada kepentingan msyarakat dalam arti luas, tanpa mengenal sekat dan batas-batas suku, keyakinan, apalagi tingkat sosial. Ia akrab dan dekat dengan siapa pun, termasuk dengan mereka yang memanfaatkannya untuk kepentingan sendiri.

Satu di antara pelajaran berharga yang diberikan Gus Dur dalam kehidupan demokrasi di tanah air adalah jiwa besarnya untuk menang dan untuk “kalah”. Ia merelakan dirinya jadi tumbal reformasi ketika eforia kebebasan menjalar kian kemari, hingga kadang menabrak spirit demokrasi itu sendiri.

Tentu banyak yang masih ingat Sidang Umum MPR 1999 seusai Pemilu yang dimenangkan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Logika sederhana, tokoh dari partai pemenang pemilu lah yang mestinya dipilih sebagai presiden. Namun realitas politik di Indonesia tidak demikian.

Fraksi Reformasi dengan militansi yang amat tinggi menggalang koalisi Poros Tengah mendorong Gus Dur naik ke kursi presiden, mengganjal Megawati. Berbagai manuver, isu, tekanan dilakukan, dan para anggoat parlemen itu bersorak persis seperti anak-anak kegirangan ketika nyata bahwa Mega akhirnya kalah.

Sekitar setahun kemudian, dalam sidang paripurna MPR pula rakyat melihat, bagaimana pula Fraksi Reformasi –yang dulu demikian garang mendukung Gus Dur– berbalik menjalin persekongkolan untuk menggulingkannya.

Publik kemudian tahu, bahwa saat itu, mereka mendukung Gus Dur jadi presiden bukan karena yang bersangkutan layak, melainkan karena mayoritas anggota parlemen tidak ingin Mega marak sebagai pemimpin, meski partainya menang dalam pemilu.

Kita juga menyaksikan, bagaimana pongahnya para politisi yang merasa sedang berada di atas angin, menguasai lapangan, dan menjalin persekutuan untuk secara bersama-sama menunjukkan kekuatannya sebagai kekuatan mayoritas yang bisa menyingkirkan kelompok minoritas.

Perilaku politik seperti ini masih tampak jelas tampak pada para elite kita hingga kini, baik di pusat maupun di daerah sepuluh tahun setelah reformasi. Politik masih dimaknai sebagai menghalalkan segala cara, meninggalkan kerendahan hati dan menutup kebesaran jiwa.

Demokrasi yang sehat terjadi ketika pihak yang kalah menerima kekalahan dan langsung bahu-membahu dengan pihak pemenang untuk melaksanakan proses organisasi. Kekurangan di satu pihak diisi oleh kelebihan dari pihak lain. Hal ini nyaris tak pernah bisa kita lakukan dengan baik.

Gus Dur telah memberikan pelajaran yang amat berharga yang mestinya jadi acuan, jadi rujukan, jadi model, bagi perilaku kita semua dalam berdemokrasi. Apalagi kini, hampir dua hari sekali digelar pesta demokrasi di berbagai penjuru tanah air, mulai dari pemilihan bupati, walikota, sampai pemilihan gubernur.

Gus Dur telah pergi. Ia meninggalkan warisan tak ternilai bagi bangsa ini, yakni sikap yang demokrat dan humanis. Jika mau berdemokrasi dengan baik, ikutilah gerak-geriknya. Gitu aja, kok repot!

Selamat jalan, Gus Dur. ***

20
Agu
09

Merdeka atau “merdeka”

meredekaMERDEKA. Kata itu kembali disebut, diingat, diresapi, atau sekadar dipekikkan. Tujuh belas Agustus 64 tahun silam, pasangan Soekarno-Hatta mengumumkan kepada dunia bahwa negeri ini merdeka. Lepas dari belenggu kolonial.

Saban tahun, peristiwa itu diperingati sampai ke pelosok negeri. Bahkan di beberapa tempat, kemeriahan dan kesemarakannya kadang melebihi keramaian lebaran. Semua bersukacita. Bergembira. Bersorak. Memekik. Merdeka!

Boleh jadi, banyak yang tak lagi peduli dengan kata itu, kecuali pada saat-saat seperti sekarang, musim agustusan. Yang jelas, merdeka menjadi semacam kata mukjizat, wasiat, dan mungkin seperti mantera, atau malah kata tanpa makna sama sekali.

Kini, kata-kata itu kembali dipekikkan, sambil kadang diikuti pertanyaan dalam hati, betulkah kita sudah merdeka? “Kata siapa kita sudah merdeka? Merdeka itu artinya bebas dari penindasan, dari tekanan dan pengaruh yang tidak sesuai, mandiri, dan bebas berkembang untuk maju,” ujar seorang sosiolog.

Betul juga, di zaman penjajahan Belanda dulu bangsa Indonesia tertindas, terdiskriminasi dan miskin. Sekarang, apakah sudah terbebas dari ketertindasan, diskriminasi dan kemiskinan itu?

Kalau dulu kita masih dikurung kebodohan dan keterbelakangan, apakah setelah 64 tahun merdeka kita sudah bebas dari kebodohan dan keterbeklakangan itu. Bukankah sekadar untuk bisa sekolah pun masih banyak warga kita yang dibelenggu ketakberdayaan membayarnya, tak mampu membeli buku paketnya?

Bersamaan dengan itu, kita juga sedang terjajah arus globalisasi. Negara yang kuat –meski tanpa persenjataan– bisa dengan mudah mencengkeram dan menghisap sumber daya negara lemah, termasuk menguasai informasi dan memaksakan budayanya demi kepentingannya.

Akibatnya, bangsa kita –diakui atau tidak– sedang dijajah budaya hedonis, pikiran konsumtif barang-barang yang diciptakan negara kuat, dan membelinya dengan mengeruk sumber daya alamnya termasuk dengan utang.

Lalu apa arti kemerdekaan yang sudah 64 tahun kita nikmati itu? Tanya saja kepada warga di seluruh pelosok Tanah Air. Mereka bisa merasakan betul betapa setiap hari tak pernah terbebas dari belenggu ketakutan dan kengerian. Rasa aman telah lama harus ditebus dengan kewaspadaan terus menerus.

Ya, ribuan jiwa telah melayang dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan. Demikian selalu diajarkan dalam buku sejarah dan di utarakan kembali dalam pidato resmi. Tapi, berapa ratus ribu jiwakah yang telah mati tanpa proses hukum selama perjalanan bangsa ini menapaki kemerdekaannya?

Seberapa besar pula peran para pengelola negara ini untuk memerdekaan warganya dari rasa takut dan tak nyaman karena saban  hari dihadapkan pada praktik korup, ancaman kriminalitas, narkotika, kejahatan kerah putih, dan ancaman terorisme?

Kini kata ‘merdeka’ dipekikkan lagi di pojok-pojok gang, di panggung perayaan karang taruna, hingga di ruang sidang parlemen. Mengapa kemerdekaan itu harus selalu dijunjung tinggi? Karena itu hak paling asasi segala bangsa.

Tapi, coba tanyakan kepada saudara kita di Aceh yang telah kehilangan ribuan putra terbaiknya. Tanyakan pula kepada 3.000-an janda dan anak yatim di Tanah Rencong itu. Tanya juga warga Dayak dan Amungme yang cuma bisa termangu, menyaksikan bumi mereka dikuras dan hasilnya dialirkan ke segenap penjuru bumi, menggetarkan kabel-kabel jaringan bursa dunia. Sementara mereka tetap terbelenggu kemiskinan dan keterbelakangan.

Kemerdekaan yang sudah 64 tahun dihirup ini ternyata juga belum memberikan banyak arti kepada penduduk yang saban hari berbondong antre di kantor eksportir tenaga kerja –kata lain dari buruh– menyusul jutaan saudara mereka yang coba menadah hujan emas di negeri orang.

Di negeri sendiri, boro-boro hujan emas. Cadangan emas yang tersisa di bumi kita pun nyaris tak pernah dinikmati dengan utuh, karena kita belum juga bisa memerdekakan diri dari jaringan bisnis asing yang sudah lebih dahulu menjarahnya habis-habisan.

Merdeka!!

atau

“Merdeka”??

04
Apr
09

Negarawan vs Pramugari

pramugarivsnegarawan

HIRUK-pikuk kampanye yang menyita perhatian publik segera berakhir. Hari ini dan besok, dapat dipastikan para pesertta pemilu akan memanfaatkan kesempatan terakhir mereka untuk membujuk, merayu, dan –kalau perlu– memaksa rakyat, memilih partai dan para calon anggota legislatif mereka.

Di antara ingar-bingar pesta demokrasi yang beritanya menjejali aneka media massa, ada satu peristiwa kecil di negeri tetangga yang mungkin luput dari perhatian karena dianggap “tidak relevan” dengan isu utama di tanah air.

Harian Sydney Morning Herald Australia, dalam terbitan Jumat kemarin mewartakan, Perdana Menteri (PM) Negeri Kanguru itu, Kevin Rudd, meminta maaf pada seorang pramugari yang pernah dibentaknya Januari lalu.

Diberitakan, insiden kecil terjadi dalam sebuah perjalanan seusai muhibah dari Port Moresby (Papua Nugini) ke Canberra dengan menggunakan pesawat resmi milik Angkatan Udara Australia (RAAF – Royal Australia Air Force).

Saat ditawari makan, sang perdana menteri meminta santapan yang tidak mengandung daging. Sang pramugari menjelaskan, saat itu menu yang dikehendaki perdana menteri tidak tersedia. Kepala pemerintahan ini berang, ia membentak sang pramugari. Sang pramugari beringsut dan menangis di kabinnya lalu melapor pada seniornya.

Sekilas tak ada yang istimewa dalam insiden ini. Adalah wajar jika seorang pemimpin pemnerintahan menegur staf  yang sedang melayani perjalanan kenegaraannya. Bahwa staf itu merasa tersinggung, itu pun sah-sah saja dan sangat biasa.

Hal yang menarik dalam insiden ini adalah, baru tiga bulan kemudian sang kepala negara mengetahui bahwa sikapnya telah membuat sang pramugari tersinggung, bersedih, menangis. Karena itu dia meminta maaf.

Pada sisi inilah kita melihat mengapa insiden ini penting disimak dan dijadikan cermin. Ada persoalan menyangkut sikap seseorang terkait dengan posisi dan kedudukannya, manakala berhubungan dengan pihak lain yang jaraknya sangatlah jauh. Seorang kepala pemerihtahan, berhadapan dengan soerang pesuruh. Seorang pemimin negara, terhadap satu di antara rakyatnya.

Dilihat dari posisi hirarkis, sang perdana menteri berhak saja menegur dan membentak pelayan yang dinilainya tidak patut. Namun sebagaimana diberitakan, Rudd segera menyadari bahwa ucapan dan tindakan itu telah melukai seorang pelayan di dalam penerbangan.

Dia mengatakan, sebagai manusia, dia tidak sempurna. Semua orang berbuat kesalahan, termasuk Perdana Menteri. Karena itu, ia menyesal dan minta maaf jika tindakannya telah membuat sedih seseorang.

Tentu saja tak ada tidak tahu, apakah sikap dan permintaan maafnya itu muncul dari lubuk hati yang paling dalam, atau sekadar retorika politik demi menampilkan citra sebagai pemimpin yang humanis. Yang jelas, hal seperti ini sebaiknya yang jadi ciri setiap orang, yakni secara kesatria bersedia mengakui kesalahan dan meminta maaf.

Peristiwa kecil dari negeri tetangga ini kemudian jadi terasa relevan di tengah riuh rendah pesta politik di tanah air hari- hari ini. Kita tengah dilarutkan dalam situasi harus memilih para pemimpin, para negarawan, mulai dari tingkat kabupaten dan kota, provinsi, hingga ke tinkat pusat.

Rakyat di tanah air sudah menyaksikan, bagaimana para pemimpin politik, para petinggi negara yang mendukung dan didukung partai, memamerkan jurus-jurus politik mereka. Kita pun sudah melihat bagaimana para politisi kawakan dan politikus karbitan berlomba jual kecap dan obral janji serta “rayuan gombal politik” untuk memperolah dukungan.

Masa kampanye telah memberi rakyat kesempatan untuk menilai, seberapa tinggi rasa kemanusiaan para politisi itu, seberapa besar sikap kesatria mereka, seberapa dalam komitmen mereka pada kepentingan rakyat.

Masa kampanye juga telah memberi pelajaran kepada halayak, bahwa rakyat tetap terpinggirkan manakala jalanan dikuasai massa partai. Bahwa para petinggi partai itu tetap lebih mementingkan diri dan kelompok mereka ketimbang kepentingan bangsa, kecuali dalam pidato-pidatonya.

Padahal yang sedang dibutuhkan rakyat Indonesia hari-hari ini dan ke depan adalah para pemimpin dan para negarawan sejati, bukan yang cuma pintar omong kosong di atas panggung. **

08
Feb
09

Mekar, Kuncup, Me….

kuncup-mekar1

AKHIR pekan lalu Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Agung Laksono meminta presiden segera mengeluarkan peraturan untuk menghentikan sementara (jeda) proses pemekaran daerah. Desakan ini muncul karena proses pemekaran wilayah yang terjadi dalam sepuluh tahun terakhir ini sudah tidak terkendali.

Setahun lalu, persisnya tanggal 22 Januari 2008, DPR menyetujui 21 Rancangan Undang-undang (RUU) Usul Inisiatif Pembentukan Provinsi dan Kabupaten. RUU ini terdiri atas delapan RUU Pembentukan Provinsi dan 13 RUU Pembentukan Kabupaten.

Sejak 1998, jumlah daerah otonom baru di Indonesia meningkat dua kali lipat. Jika pada tahun 1998 ada 230 kabupaten/kota, maka pada akhir 2008 sebanyak 477 kabupaten/kota. Jumlah itu memungkinkan sekali bertambah menjadi lebih banyak lagi karena usul pemekaran begitu banyak.

Sebenarnya, UU di Indonesia selain mengatur pemekaran juga mengatur penggabungan wilayah. Nyatanya, yang terjadi selama ini selalu pemekaran, tidak ada penggabungan. Semangat untuk melepaskan diri, tampaknya lebih besar dibanding bersatu membangun daerah.

Insiden di Sumatera Utara yang dipicu ide pemekaran wilayah, mungkin bisa mempertegas pandangan tentang apa sesungguhnya yang paling menjadi latar belakang dari pemekaran itu selama ini.

Jika pemekaran itu murni demi kesejehateraan rakyat, tentu saja dalam prosesnya tidak pernah akan ada tindakan-tindakan yang justru merugikan rakyat. Tampak di sana, bagaimana kepentingan para elite politik lebih banyak berperan daripada kepentingan masyarakat sendiri.

Selain itu, terungkap pula bahwa dalam proses pemekaran-pemekaran daerah selama ini, terjadi praktek-praktek percaloan politik yang sarat dengan aneka tawar-menawar, mulai dari kepentingan politik para elite hingga ke kecenderungan koruptif.

Di sisi lain, pemekaran yang sudah dilakukan selama ini ternyata tidak banyak berpengaruh terhadap kesejahteraan masyarakat. Masalahnya, pemerintahan daerah baru lebih sibuk membangun insfrastruktur, sarana dan fasilitas, yang mengisap begitu banyak dana dari anggaran. Manfaat langsung terhadap rakyat, masih belum tampak.

Data hasil audit investigatif  Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menunjukkan rendahnya kinerja keuangan daerah-daerah hasil pemekaran . Sebagian terbesar, atau 83 persen dari 148 daerah baru hasil pemekaran, kondisi keuangannya tidak memenuhi syarat alias sangat memprihatinkan.

Ini tentu saja merupakan indikasi, bahwa pemekaran daerah — setidaknya sejauh ini– belum memberikan manfaat signifikan bagi rakyatnya. Itu baru dari satu aspek, keuangan. Belum lagi yang lain. Dari situ tampak, bahwa pemekaran yang terjadi dan sedang dalam proses selama ini, baru mengakomodasi kepentingan para elite politik di daerah maupun para politisi pusat.

Simak saja reaksi keras menyusul apa yang ditetapkan DPR mengenai pemekaran atas sejumlah wilayah Naggroe Aceh Darussalam (NAD), dan Papua.  Saat itu Gubernur Aceh dengan tegas akan melawan habis-habisan para elite politik demi keutuhan dan kedaamaian wilayahnya. Majelis Rakyat Papua (MRP) juga menecam keras para politisi yang membuat kebijakan tanpa sepengetahuan daerah dan menggerogoti Otonomi Khusus (Otsus) yang diberikan pada Papua.

Berkaca pada kasus Sumatera Utara, Aceh dan Papua, masuk akal jika pemerintah mempertimbangkan kembali suara-suara yang menginginkan agar pemekaran-pemekaran wilayah itu ditunda atau bahkan dihentikan sama sekali untuk sementara.

Betul bahwa pemekaran wilayah dimungkinkan kartena diperbolehkan konstitusi. Namun pembentukan wilayah baru tanpa melihat hasil evaluasi, tentu saja juga tidak tepat karena tindakan itu hanya bersifat politis. Padahal kita semua tahu, bahwa pertimbangan politis saja tidak akan bisa menyejahterakan rakyat.

Selain itu, hingga kini pemerintah belum punya rancangan umum (grand design) yang bisa dijadikan dasar pijak untuk pengembangan wilayah agar ide npengemabangan, pemekaran, atau apa pun namanya berlangsung secara tekendali dan obyektif.

Karena terbukti pemekaran itu lahir bukan dalam rangka politik nasional tetapi lebih untuk mengakomodasi kepentingan segelintir elite, sudah saatnyalah pemerintah bersikap tegas. Daripada meghabiskan dana dan tenaga untuk pemekaran satu ke pemekaran lain, lebih baik memaksimalkan pemberdayaan aparatur yang ada. **