Posts Tagged ‘pemilu

01
Feb
10

Syahwat Politik


PEMILIHAN umum Kepala Daerah  di Kalimantan Selatan berlangsung Juni 2010. Dalam tempo yang relatif bersamaan pula, berlangsung hal sama di Kalimantan Tengah.

Secara formal, pemilu belum dimulai karena proses resminya baru akan diawali sekitar akhir Maret. Namun sejak akhir tahun lalu gema pesta demokrasi ini sudah terasa. Bahkan kini para kandidat tanpa malu-malu jor-joran berkampanye mengumbar syahwat politik  melalu aneka macam cara.

Ada tujuh pemilu kepala daerah yang serentak digelar pada bulan yang sama di Kalsel, yakni pemilihan gubernur dan wakil gubernur, dua pemilihan walikota dan wakil walikota, serta empat pemilihan bupati dan wakil bupati. Semantara di Kalteng ada empat pemilihan kepala daerah.

Bisa dipastikan, dinamika sosial selama enam bulan ke depan akan sangat dijalari gejolak politik di dua provinsi bertetangga ini. Pengerahan sumber daya dan sumber dana daerah akan tercurah pada agenda rutin lima tahunan ini, demi memenuhi hasrat politik para pelakunya.

Pengaruhnya akan langung dirasakan oleh masyarakat umum, dan oleh kalangan dunia usaha. Masyarakat umum di beberapa daerah akan merasakan, pada skala tertentu, layanan terhadap mereka akan terganggu oleh aktivitas kepala daerahnya yang maju lagi ke arena pemilihan.

Sulit memisahkan peran antara dia sebagai calon kepala daerah, dengan dia sebagai pemangku jabatan yang kepadanya melekat berbagai keistimewaan perlakuan. Diakui atau tidak, hal ini tetap akan membawa implikasi terhadap kelancarana dan kenyamanan pelayanan terhadap warga.

Di sisi lain, dunia usaha akan terpengaruh oleh perputaran dana yang terkonsentrasi pada bisnis politik, atau bisnis yang terkait dengan aktivitas politik. Dalam periode tertentu, sektor bisnis lain bisa jadi mengalami stagnasi atau bahkan penurunan.

Namun proses ini tetap harus dijalani karena sudah jadi kesepakatan bersama bahwa demokrasi adalah jalan terbaik saat ini bagi bangsa kita yang baru lahir kembali melalui pembedahan total reformasi sebelas tahun silam.

Idealnya, pemilihan langsung bisa jadi obat mujarab bagi borok- borok demokrasi. Dengan catatan, pemilihannya berlangsung jujur, adil, lurus, polos, tanpa tekanan, tanpa politik uang. Meski kita semua paham bahwa mesin politik saat ini tak pernah bisa bergerak tanpa bahan bakar bernama uang.

Kita tentu pula maklum, pemilihan kepala daerah secara langsung memerlukan dana sangat besar, mulai dari ongkos sosialisasi, kampanye para calon, biaya penyelenggaraan, upah para penyelenggara, dan lain sebagainya. Padahal pemerintah tidak cukup makmur untuk menggelontorkan dana tanpa batas bagi terselenggaranya demokrasi seperti ini.

Pemerintah –pusat dan daerah– tentu saja sudah menyusun anggaran untuk membiayai perhelatan demokrasi ini. Namun sudah bisa dipastikan dana itu tidak akan mencukupi. Di sinilah celah itu terbuka. Orang atau pihak-pihak yang berkepentingan dengan kebijakan-kebijakan yang mungkin diambil oleh kepala daerah terpilih, tentu tak akan menyia-nyiakan celah itu.

Taruhlah juragan tambang liar, pengelola judi, pelacuran, bisnis kayu curian atau mereka yang selalu berlindung di balik bisnis “Spanyol” alias separo nyolong, pasti akan mengerahkan segala sumberdaya dan dananya agar kepala daerah terpilih merupakan orang yang tidak akan mengusik bisnis mereka.

Jika kalangan ini –yang menguasai uang– bisa mengongkosi seorang calon kepala daerah supaya terpilih, tentunya sang kepala daerah terpilih akan memihak mereka. Bagaimanapun, kebijakan mereka nanti tidak akan bisa terlepas dari balas budi sang pemodal.

Jika sudah sampai pada tahap demikian, semangat demokratisasi yang terkandung dalam pemilihan langsung kepala daerah, tentu hanya akan jadi bungkus yang akan membuat kita “seolah-olah” demokratis. Padahal semua dari kita tentu sepakat, pemilihan langsung kepala daerah adalah wujud sejati kedaulatan rakyat dalam menentukan pemimpinnya.

Jika berlangsung secara tepat sesuai dengan semangatnya, momentum ini tentu merupakan peningkatan kualitas demokrasi. Setidaknya, keinginan rakyat untuk memilih pemimpin mereka tidak lagi dialirkan melalui wakil yang selama ini justru tampak lebih sering mendustai pihak yang diwakilinya.

Apalagi rakyat masa kini di mana pun sudah tidak sudi lagi terus menerus dikibuli. Mereka pasti akan memilih pemimpin yang paling sesuai aspirasinya, dan tidak akan menjatuhkan pilihan pada orang yang cuma berkoar-koar mengobral janji dan sibuk memoles diri.

26
Jul
09

Siapa meneror siapa?

BANYAK orang akan sepakat jika ada yang mengatakan, bahwa tahun ini memberi harapan besar terhadap kententeraman dan kedamaian. Pesta politik paling masif –pemilihan anggota lagislatif dan pemilihan presiden– sejauh ini dilalui tanpa ketegangan berarti. Tanpa kerusuhan.

bomberAda harapan baru yang tumbuh dan makin berkembang, bahwa hari-hari berikut akan lebih baik. Kehidupan akan makin tenteram dan damai sehingga warga akan lebih tenang lagi menjalani kehidupannya, menjalankan aktivitasnya dengan kegairahan baru ke arah yang lebih maju.

Ketika tiba-tiba harapan indah itu tercerai-berai oleh dua ledakan bom di jantung Kota Jakarta, kita pun tersentak. Ada apa dengan negeri ini? Kita juga tersengat oleh kesadaran yang tibatiba muncul, apakah kita terlalu cepat lupa sehingga melalaikan hal-hal dasar yang seharusnya dilakukan?

Dan, itu berakibat fatal. Sembilan orang tewas. Puluhan lain cedera. Nama Indonesia yang selama tahun-tahun terakhir berusaha kita perbaiki, tercoreng lagi. Beberapa negara langsung mengingatkan warganya agar tidak ke Indonesia.

Insiden Marriott ‘Jilid II’ seolah meneguhkan anggapan sejumlah pihak (asing) selama ini, bahwa Indonesia adalah sarang yang nyaman bagi kaum teroris. Pengelola negara pun menerima teror balik dari pemerintahan mancanegara, berupa tekanan untuk membongkar habis teroris.

Orang yang meyakini teori persekongkolan, mungkin menganggap insiden itu adalah satu mata rantai dari persekutuan jahat tingkat global yang menjadikan Indonesia sebagai salah satu sasaran.

Di lain pihak, orang juga makin yakin bahwa ternyata ada saja orang Indonesia yang rela mati bunuh diri sambil membunuh siapa saja dan sebanyak apa pun demi sesuatu yang diyakininya. Tak jelas mana yang lebih tepat.

Yang jelas, korban telah jatuh. Kita sadar, ternyata selama ini bertetangga dan bahkan berada di dalam kancah ‘republik teror’. Sebab, teror tetap terjadi meski orang-orang yang disebut sebagai pelaku peledakan sudah ditangkapi dan dihukum. Beberapa di antaranya dihukum mati.

Apalagi seperti luas diketahui, sejak insiden Bali I, aparat keamanan menjadi sedemikian siaga dan ekstra sensitif. Kini pengunjung mal, pusat perbelanjaan, dan hotel-hotel, sudah tak merasa terganggu lagi oleh pemeriksaan rinci sejak mereka memasuki areal parkir. Tapi, teror toh tetap terjadi.

Teror dalam bentuk lain pun, tetap marak. Kalau tidak di jalan raya, ya di pasar-pasar, di pelabuhan, di terminal, di hutan dan di tambang liar. Teror bisa muncul dari penjahat, bisa juga dari pejabat. Bagaimana –misalnya– mereka saling serang dan saling menjatuhkan. Tindakan mereka kadang meneror dan melecehkan akal sehat rakyat yang mereka pimpin dan mereka wakili.

Pemimpin, politisi dan pejabat tampaknya telah gagal menyelenggarakan komunikasi politik, baik di antara mereka sendiri maupun antara mereka dengan rakyatnya. Justru yang terjadi adalah, cara berkomunikasi mereka membuat rakyat terteror.

Bagaimana rakyat tidak terteror oleh pernyataan mereka yang demikian terbuka, telanjang, dan tanpa tedeng aling-aling tentang perkara-perkara yang semestinya hanya menjadi ‘domain’ mereka sendiri, bukan urusan rakyat awam?

Bagaimana mereka mengesankan diri menjadi subjek yang dizalimi dan dikeroyok lawan politiknya, sedangkan soal paling mendesak adalah bagaimana mengatasi kegiatan teroris yang senantiasa lolos. Padahal –konon– kegiatan intelijen sudah mampu mengendus gerakan sekecil apa pun yang mengancam keselamatan (calon) kepala negara?

Demikianlah, setelah dilibatkan untuk berpartisipasi penuh dalam pesta politik, rakyat masih diberi pekerjaan rumah yakni menata kembali perasaan dan kesabaran serta kebesaran hati untuk menghadapi sendiri kenyataan hidupnya. Termasuk menghadapi teror dalam aneka bentuk dan wajahnya. **

09
Jul
09

Berkat Angka-angka

angka-angka

BETAPA besar jasa penemu angka. Coba kalau umat manusia tak menemukannya, hari-hari ini tak akan ada yang terus dipelototi, dikomentari dan dianalisa.

Ada sekian ratus juta pemilih yang 8 Juli 2009 memilih satu di antara tiga pasang calon presiden dan wakil presien. Hasil akhir dari kalkulasi angka-angka itu menentukan siapa yang jadi pemimpin negara. Luar biasa!

Setiap warga negara yang memenuhi syarat memilih, bebas menentukan pilihannya. Mungkin ada yang memilih lebih dari satu. Malah, siapa tahu ada yang sengaja tidak memilih. Namanya juga demokrasi. Nah, jumlah pemilih yang telah menentukan pilihannya itulah yang kini sedang ditunggu-tunggu.

sempoaHari ke hari, jam demi jam, angkanya berubah terus. Hampir semua stasiun televisi menyajikan angka-angka itu sebagai menu khusus dan sedemikian penting, sehingga ditampilkan dalam bentuk running text, ditayangkan secara berkala.

Media cetak tak mau ketinggalan, juga memuat angka-angka (jumlah pemilih) yang diperoleh calon pemimpin bangsa ini. Sampai Rabu senja, beberapa jam setelah pemilihan berlangsung, angka-angka itu terus jadi bahan perbincangan.

Sementara, angka untuk pasangan Susilo Bambang Yudhoyono – Budiono berada di urutan teratas. Angka bagi dua pasangan lainnya hampir imbang saling susul.  Sejauh ini pemilihan presiden berlangsung lancar, aman dan damai.

Dilihat dari peta perolehan suara yang tercermin pada angka-angka hasil hitung cepat sejumlah lembaga independen, tampaknya pemilihan presiden tidak perlu sampai dua putaran. Meski tentu saja hasil hitung cepat bukanlah hasil sesungguhnya.

Angka-angka yang tampil semata merupakan indikasi dari sejumlah sample atau contoh yang dianggap relevan. Apa yang tampak dari angka-angka yang tiap saat berubah itu pada akhirnya adalah cermin nyata dari suara rakyat.

Bahwa ada ketidakpuasan dan ada insiden yang dianggap sebagai tanda kecurangan, tentu harus dibaca sebagai dinamika sebuah proses politik yang langsung melihat secara nyata rakyat di seluruh penujuru Tanah Air.

Tentang apakah hasil itu memuaskan atau mengecewakan elite politik, itu persoalan mereka sendiri. Hari-hari ini kedaulatan sepenuhnya milik rakyat, dan itu telah ditunjukkan di tempat pemungutan suara.

Kita belum tahu persis, apakah angka seperti yang tergambar pada hasil hitung cepat itu akan sejalan dengan hasil akhir perhitungan suara yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Yang jelas, publik menangkap ada gerak dan bentuk baru yang berbeda dari pemilu sebelumnya.

Ada kebebasan untuk memilih, dan keleluasaan untuk mengetahui –melalui angka-angka– peran mereka dalam menentukan pemimpinnya. Apa yang tampak dari angka-angka itu makin menegaskan bahwa rakyat kita kini lebih leluasa menentukan sendiri calon pilihannya tanpa harus terikat oleh loyalitas kepada partai.

Penegasan dukungan oleh elite parpol kepada pasangan capres tertentu, ternyata tidak serta merta diikuti konstituen di akar rumput. Jika mau mengalkulasi dengan hitungan matematis dan statistik, maka pilpres sudah selesai dan pemenangnya sudah jelas diketahui.

Tapi, politik di Indonesia tidak mudah dikalkulasi secara matematis, sebab ada begitu banyak variabel yang tak terduga dan bisa menjadi faktor penentu yang membuat 2×2 tidak mesti sama dengan 4.

Begitu pula dalam konteks pemilihan presiden kali ini. Segala gerak-gerik, taktik, tarian, akrobat, bahkan intrik politik sudah dilakukan jauh sebelum hari pemilihan. Namun rakyat toh tetap bebas melakukan apa yang mereka kehendaki, termasuk memilih pemimpinnya.

Tanda-tanda awal, sudah terbaca lewat angka-angka yang terus mengalir dari seluruh penjuru Tanah Air.  Siapa pun yang akhirnya terpilih sebagai presiden, itulah pilihan rakyat. ***

10
Mei
09

Artis Senayan, Selamt Datang!

operasenayan2

SENAYAN akan lebih marak. Selain diramaikan oleh wajah baru, Gedung DPR/MPR akan pula dimeriahkan oleh para pesohor yang wajahnya tak asing lagi di panggung hiburan dan layar televisi. Aktor dan aktris, pelawak, pembawa acara, kini berganti peran dan pindah panggung.

Sejenak, perhatian publik yang sempat dibetot heboh Antasari Azhar, Rani Juliani, Nasruddin Zulkarnaen, ditarik lagi ke hiruk-pikuk perebutan kursi dan posisi di anatara para penggiat politik.  Kemunculan kasus ini –disengaja atau tidak– sedikit memalingkan perhatian publik dari kekacauan dan karut-marut penyelenggaraan pemilu.

Merujuk pada hasil akhir Pemilu 2009, dari 560 kursi yang disediakan bagi wakil rakyat di Senayan, 70 persen di antaranya akan diduduki wajah baru. Dari jumlah itu, sekitar 10 persen adalah wakil rakyat yang semula bergiat di dunia hiburan.

Ada Vena Melinda, Inggrid Kansil, Nurul Qomar dari Partai Demokrat, Rieke Dyah Pitaloka dan Dedi ‘Miing’ Gumelar dari PDIP dan Tantowi Yahya serta Nurul Arifin dari Partai Golkar. Sebut pula Primus Yustisio di bawah bendera PAN dan Rachel Maryam (Partai Gerindra), serta sejumlah nama lain yang selama ini dikenal lewat layar kaca maupun dunia film.

Di luar para selebritas, opera politik di Senayan pada kurun 2009-2014 dilengkapi pula oleh pendatang baru yang terkait hubungan dengan politisi gaek maupun tokoh pemerintahan. Entah itu anak, istri, menantu, adik, keponakan, maupun kerabatnya.

Sosok Edhie Baskoro putra Susilo Bambang Yudhoyono, dan Puan Maharani putri Megawati Soekarnoputri, serta putra Amien Rais, hanya segelintir di antara mereka yang masuk panggung politik melalui jalur dinasti itu.

Tentu saja itu bukan yang pertama kali terjadi. Pemilu sebelumnya pun telah mengantarkan sejumlah artis ke Senayan. Bahkan beberapa di antara mereka kemudian terpilih sebagai kepala daerah, menjadi eksekutif, memimpin pemerintahan. Bedanya, kali ini jumlah mereka jauh lebih banyak dibanding sebelumnya.

Sejauh ini, episode opera politik menuju Senayan masih landai- landai saja karena memang baru pada tahap pembukaan, prolog. Belum memasuki alur cerita nyata yang sebenarnya.

Pada babak berikutnya, suasana pasti akan sangat berbeda. Aktor panggung hiburan dan politisi dinasti itu, akan beradu peran nyata dengan aktor politik tulen. Rakyat, kembali akan disuguhi tontonan demokrasi khas anak negeri.

Aktor politik asli akan menunjukkan kapasitas dan kepiawaian mereka berakting. Memperlihatkan keahlian mereka merapal jurus silat lidah yang canggih. Tak peduli apakah jurus lidahnya itu menjilat ludah sendiri, atau menjilat pihak lain yang dianggap bisa memperkuat posisinya.

Keriuhrendahan di Senayan, pasti akan sangat diwarnai oleh serunya tarik menarik kepentingan politik di luar gedung. Isyarat ke arah itu tampak jelas sejak penghitungan suara hasil pemilu legislatif dimulai, sampai penetapannya, Sabtu (9/5/09) malam.

Di luar panggung Senayan, para aktor utama partai politik terus melakukan akrobat yang kadang seperti melecehkan akal sehat rakyat. Mereka menata ulang gerak-gerik sendiri untuk menghimpun kekuatan menuju pemilihan presiden Juli nanti.

Gemuruh persekongkolan antarpartai dengan mendeklarasikan apa yang mereka sebut sebagai Koalisi Besar, tiba-tiba seperti tidak relevan lagi. Partai Golkar dan Hanura lebih dahulu saling mengikatkan diri dalam sebuah koalisi, yang ternyata bermakna menggandengkan Jusuf Kalla dengan Wiranto sebagai calon presiden dan calon wakil presiden.

Di lain pihak, PDIP yang sejak awal memosisikan diri sebagai oposan –bahkan dengan Golkar pun tak mau bergandeng– belakangan malah melirik Partai Demokrat. Rupanya dengan umur jagung pun, persekongkolan –yang digagas para elite dengan mengatasnamakan kepentingan bangsa– itu, usianya lebih pendek.

Maka koalisi yang dideklarasikan tak kurang dari sebulan lalu itu, mendadak kehilangan makna ketika para pendekar dari partai- partai besar tersebut melakukan ginkang politik. Persis pada saat-saat yang menentukan menjelang pemilihan presiden.

Di luar itu semua, rakyat tetap menjadi penonton setia yang dipaksa menyaksikan dan menerima apa saja lakon yang dimainkan para politisi itu. Entah politisi tulen, entah itu politisi pelawak dan artis, entah itu politisi dinasti.

Mudah-mudahan, bukan hal yang terpapar di atas yang membuat rakyat makin lama kian muak untuk ikut serta dalam proses politik. Jika tidak, harus ada alasan lain yang menjelaskan mengapa dalam pemilu lalu hampir 50 juta pemilih tak menggunakan haknya. ***

13
Apr
09

pemenang = pecundang

centangz

SEBAGIAN rakyat telah memberikan hak pilih mereka. Pemilihan umum (pemilu) legislatif sudah terselenggara dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Hasilnya secara bertahap telah diumumkan dan publik bisa memperkirakan partai apa yang memperoleh suara terbanyak, siapa saja calon legislatif yang akan mewakili mereka di parlemen.

Partai yang gambarnya paling banyak dicontreng, itulah yang menang. Nama calon anggota legislatif yang paling banyak dicentang, itulah wakil mereka. Gambar calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang ditandai, itulah ‘senator’ mereka.

Bahwa ada keluhan, ketidakpuasan, kekecewaan, dan ketaksempurnaan di sana-sini, dapatlah disebut sebagai bagian dari sebuah pesta besar yang melibatkan jutaan orang, namun si empunya hajat tak cermat menyiapkan daftar tamu. Akibatnya, banyak yang tak terundang. Banyak pula nama ganda, tak kurang pula nama yang manusianya sudah dikubuir, masih masuk dalam daftar.

Rakyat yang sudah ikut pesta, dengan tulus melaksanakan haknya memilih partai dan calon wakil mereka. Meski tak sedahysat euforia di awal reformasi, pesta demokrasi kemarin itu tetap menjadi perhatian dan harus diikuti dengan seksama sampai ke tahap berikutnya, yakni pemilihan presiden.

Rakyat sangat berharap terjadi perubahan ke arah yang lebih baik dari hari-hari sebelumnya. Memang ada yang berpendapat, bahwa terlalu muluk kalau berharap hasil pemilu akan langsung membawa perubahan signifikan terutama bagi rakyat.

Dari dari era yang satu ke era pemerintahan lain, dari ordo yang baru ke ordo lain, rakyat selalu saja sekadar jadi penonton di luar panggung pesta. Mereka baru dirangkul manakala menjelang pemilu.

Ya, di negeri ini rakyat kecil tetap saja berdesak-desak di permukiman kumuh atau bahkan tanpa rumah sehingga harus gentayangan di kolong jembatan. Tapi, wakil mereka menghuni rumah dinas dan segala kebutuhannya dibiayai negara dari uang rakyat.

Rakyat kecil tetap saja bergelantungan di bus, berhimpitan di dalam kapal, berdesakan di angkutan kota, atau berjudi dengan maut di atas sepeda motor yang berubah fungsi menjadi alat angkut keluarga. Wakilnya? Pastilah meluncur dengan mobil baru.

Di masa silam, suara wakil rakyat itu kadang bertolak belakang dengan suara rakyat yang sesungguhnya. Itu dulu, kini tak terlalu jauh berbeda. Setidaknya dari dinamika yang terekam selama ini dari gedung DPRD sampai Senayan, suara wakil rakyat itu masih lebih dominan mencerminkan suara kelompoknya.

Suara rakyat yang sesungguhnya, entah masih tersimpan di mana. Timbul pertanyaan, apa guna memilih partai dan mengirim wakil jika di kemudian hari mereka tak mampu menyerap aspirasi rakyat dan menyuarakannya di gedung parlemen agar mewarnai berbagai kebijakan yang dikeluarkan demi penyempurnaan penyelanggaraan negara yang berpihak pada rakyat?

Bagaimana rakyat bisa percaya jika pada saat berkampanye, para (calon) anggota dewan itu berjanji membabat habis korupsi kolusi dan nepotisme. Padahal publik pun tahu, bahwa dia merupakan bagian dari apa yang akan diberantasnya itu. Dan, dari gedung itu pula Komisi Pemberantasan Korupsi menangkapi sebagian koruptor?

Soal janji, tak pula perlu jauh mengingat sebab hampir di setiap kampanye –sejak negeri kita mulai melaksanakan pemilu– pendidikan selalu jadi tema, jadi jualan, jadi kecap dapur juru kampanye.

Sekolah gratislah, anggaran pendidikan naiklah, kesejahteraan guru lebih baiklah, gedung sekolah dibangunlah, fasilitas akan dilengkapilah dan ‘tetek bengek’ macam itu. Nyatanya, biaya pendidikan bermutu untuk rakyat kecil tetap saja terbilang mahal. Sarjana dan lulusan sekolah terus diproduksi saban menambah panjang antrean penganggur terdidik, karena janji pembukaan lapangan kerja tak kunjung imbang dengan jumlah pencari kerja.

Mandat telah diberikan. Hasilnya sudah dihitung dan ditabulasi. Pemenang dan pecundang sudah bisa ditebak. Ancang-pancang, manuver, dan jurus silat politik, dan segala macam cara, ramai- ramai dikerahkan. Rakyat sih kembali pada tempatnya, semata sebagai penonton…..

Dalam demokrasi yang sehat, pemenang menjalankan amanat rakyat dengan penuh tanggungjawab dan pecundang menerima kekalahan dengan lapang dada. Pemenang dan pecundang bahu-membahu berjuang memajukan bangsa tanpa melihat lagi siapa kalah siapa menang.

Indah sekali kalau begitu. ***

12
Apr
09

“Say No to ….”

KAMIS 9 April 2009, sejak pagi hingga lepas tengah hari, pemilih menentukan pilihannya di bilik suara. Ada juga yang tidak, baik karena hambatan administratif maupun mereka yang memang secara sengaja tidak menggunakan haknya.

sayno2Sampai menjelang detik-detik pemilihan umum, situasi relatif tenang. Suhu politik pun sejuk-sejuk saja tidak ekstrem sebagaimana dikhawatirkan banyak pihak. Bahwa ada riak-riak hangat, sejauh ini masih dalam konteks kewajaran di tengah pesta akbar demokrasi.

Ada beberapa peristiwa cukup menarik yang kali ini turut menambah semarak hura-hura politik, yang membedakannya dari pemilu di masa lalu. Pertama, berita menyangkut putra presiden yang disiarkan media online yang kemudian berdampak hukum. Kedua, hujatan dan dukungan terhadap tokoh tertentu melalui internet. Ketiga, tokoh yang diam-diam menggunakan internet untuk tetap berkampanye di masa tenang.

Tiga cuplikan peristiwa itu sengaja diambil sebagai contoh untuk menunjukkan bahwa media alam maya telah betul-betul menjadi bagian dari kehidupan –sosial, politik, ekonomi, budaya– di Tanah Air. Ia juga sekaligus memperlihatkan bahwa ruang maya publik (internet) itu besar dan ampuh pengaruhnya.

Kemajuan teknologi informatika yang membawa lompatan jauh –dan kepraktisan– dalam pola komunikasi di dunia maya, telah mengambil alih fungsi yang selama ini diemban ruang publik konvensional, entah itu mall, pasar, gedung parlemen, atau taman kota.

Perbincangan, diskusi atau sekadar bergosip, keintiman atau bahkan kemarahan, sebagian kini telah berpindah saluran ke alam maya. Wacana kehidupan sosial, ekonomi, pendidikan, kebudayaan, dan politik, tak lagi hanya di gedung parlemen dan kampus, malainkan juga di dinding percakapan ruang maya.

Internet telah jadi ruang yang betul-betul terbuka dan bebas — dimasuki atau ditinggalkan– siapa pun. Bebas bicara dan tidak bicara apa pun. Bebas digunakan –dan tidak digunakan– untuk keperluan apa pun, termasuk kepentingan politik.

Ibarat agora (pasar) dalam sistem demokrasi di Athena, internet tidak saja merupakan tempat berjualan, melainkan berfungsi ganda sebagai wahana masyarakat untuk bertemu, berdebat, mencari berbagai, membuat konsensus atau menemukan titik-titik lemah gagasan politik dengan cara memperdebatkannya.

Dalam wacana politik, kondisi itu memberikan optimisme bahwa peran besar teknologi dunia maya tersebut merupakan alternatif kekuatan baru yang dapat menciptakan iklim demokrasi yang lebih baik. Jelas, ia pun merupakan saluran komunikasi yang potensial dalam menyalurkan berbagai opini dan gagasan politik yang seringkali tersumbat atau terkendala kesungkanan.

Penyaluran informasi yang baik dan jernih adalah satu di antara syarat utama demokrasi yang sehat, karena informasi yang terang dan baik, pasti berasal dan dialirkan lewat kejernihan pikiran dan ketulusan hati. Tanpa pikiran jernih dan ketulusan, demokrasi hanya akan bermakna sebagai kebebasan mutlak yang mendorong anarkisme.

Lebih sepuluh tahun lalu, Wakil Presiden Amerikan Serikat, Al Gore meyakinkan warganya bahwa teknologi informatika membuat warga negara bisa terlibat langsung dalam berbagai keputusan politik. Tahun lalu, Barack Husein Obama membuktikan keampuhan internet dalam perjalanannya menuju Gedung Putih.

Tiga contoh yang dicuplik di atas, yakni penyebaran berita mengenai dugaan kecurangan politik yang dilakukan anak presiden, dan kemurkaan ketua partai besar atas munculnya kelompok jejaring “Say No to …” dan “Say Yes to …” di dinding facebook hanyalah  petunjuk kecil tentang seberapa jauh bangsa kita memanfaatkan keterbukaan informasi itu secara bijak dan cerdas dalam proses demokratisasi.

Makna yang bisa ditangkap adalah: pemanfaatan ruang maya publik untuk komunikasi politik seyogyanyalah disertai persyaratan, di antaranya membangun sikap politik yang matang dan budaya politik yang dewasa.

Komunikasi politik tidak dapat dipisahkan dari berbagai aspek budaya politik seperti sikap mental, etika politik, dan sistem nilai yang berlaku di masyarakat.

Apa yang terjadi dengan penggunaan kecanggihan teknologi dengan proses politik di tanah air, masih seperti atau sebatas itulah budaya dan sikap mental politik kita.

Mudah-mudahan pemilu kali ini menjadi awal kehidupan demokrasi yang lebih baik lagi.

Contreng!***

04
Apr
09

Negarawan vs Pramugari

pramugarivsnegarawan

HIRUK-pikuk kampanye yang menyita perhatian publik segera berakhir. Hari ini dan besok, dapat dipastikan para pesertta pemilu akan memanfaatkan kesempatan terakhir mereka untuk membujuk, merayu, dan –kalau perlu– memaksa rakyat, memilih partai dan para calon anggota legislatif mereka.

Di antara ingar-bingar pesta demokrasi yang beritanya menjejali aneka media massa, ada satu peristiwa kecil di negeri tetangga yang mungkin luput dari perhatian karena dianggap “tidak relevan” dengan isu utama di tanah air.

Harian Sydney Morning Herald Australia, dalam terbitan Jumat kemarin mewartakan, Perdana Menteri (PM) Negeri Kanguru itu, Kevin Rudd, meminta maaf pada seorang pramugari yang pernah dibentaknya Januari lalu.

Diberitakan, insiden kecil terjadi dalam sebuah perjalanan seusai muhibah dari Port Moresby (Papua Nugini) ke Canberra dengan menggunakan pesawat resmi milik Angkatan Udara Australia (RAAF – Royal Australia Air Force).

Saat ditawari makan, sang perdana menteri meminta santapan yang tidak mengandung daging. Sang pramugari menjelaskan, saat itu menu yang dikehendaki perdana menteri tidak tersedia. Kepala pemerintahan ini berang, ia membentak sang pramugari. Sang pramugari beringsut dan menangis di kabinnya lalu melapor pada seniornya.

Sekilas tak ada yang istimewa dalam insiden ini. Adalah wajar jika seorang pemimpin pemnerintahan menegur staf  yang sedang melayani perjalanan kenegaraannya. Bahwa staf itu merasa tersinggung, itu pun sah-sah saja dan sangat biasa.

Hal yang menarik dalam insiden ini adalah, baru tiga bulan kemudian sang kepala negara mengetahui bahwa sikapnya telah membuat sang pramugari tersinggung, bersedih, menangis. Karena itu dia meminta maaf.

Pada sisi inilah kita melihat mengapa insiden ini penting disimak dan dijadikan cermin. Ada persoalan menyangkut sikap seseorang terkait dengan posisi dan kedudukannya, manakala berhubungan dengan pihak lain yang jaraknya sangatlah jauh. Seorang kepala pemerihtahan, berhadapan dengan soerang pesuruh. Seorang pemimin negara, terhadap satu di antara rakyatnya.

Dilihat dari posisi hirarkis, sang perdana menteri berhak saja menegur dan membentak pelayan yang dinilainya tidak patut. Namun sebagaimana diberitakan, Rudd segera menyadari bahwa ucapan dan tindakan itu telah melukai seorang pelayan di dalam penerbangan.

Dia mengatakan, sebagai manusia, dia tidak sempurna. Semua orang berbuat kesalahan, termasuk Perdana Menteri. Karena itu, ia menyesal dan minta maaf jika tindakannya telah membuat sedih seseorang.

Tentu saja tak ada tidak tahu, apakah sikap dan permintaan maafnya itu muncul dari lubuk hati yang paling dalam, atau sekadar retorika politik demi menampilkan citra sebagai pemimpin yang humanis. Yang jelas, hal seperti ini sebaiknya yang jadi ciri setiap orang, yakni secara kesatria bersedia mengakui kesalahan dan meminta maaf.

Peristiwa kecil dari negeri tetangga ini kemudian jadi terasa relevan di tengah riuh rendah pesta politik di tanah air hari- hari ini. Kita tengah dilarutkan dalam situasi harus memilih para pemimpin, para negarawan, mulai dari tingkat kabupaten dan kota, provinsi, hingga ke tinkat pusat.

Rakyat di tanah air sudah menyaksikan, bagaimana para pemimpin politik, para petinggi negara yang mendukung dan didukung partai, memamerkan jurus-jurus politik mereka. Kita pun sudah melihat bagaimana para politisi kawakan dan politikus karbitan berlomba jual kecap dan obral janji serta “rayuan gombal politik” untuk memperolah dukungan.

Masa kampanye telah memberi rakyat kesempatan untuk menilai, seberapa tinggi rasa kemanusiaan para politisi itu, seberapa besar sikap kesatria mereka, seberapa dalam komitmen mereka pada kepentingan rakyat.

Masa kampanye juga telah memberi pelajaran kepada halayak, bahwa rakyat tetap terpinggirkan manakala jalanan dikuasai massa partai. Bahwa para petinggi partai itu tetap lebih mementingkan diri dan kelompok mereka ketimbang kepentingan bangsa, kecuali dalam pidato-pidatonya.

Padahal yang sedang dibutuhkan rakyat Indonesia hari-hari ini dan ke depan adalah para pemimpin dan para negarawan sejati, bukan yang cuma pintar omong kosong di atas panggung. **

03
Apr
09

Dan, Sandiwara pun Usai

panggungsandiwara1q

PANGGUNG sandiwara kampanye sudah mencapai titik akhir. Calon anggota legislatif, juru kampanye, petinggi partai politik, sudah terjun menemui massa di berbagai kota. Berbagai slogan sudah dipekikkan, aneka janji diteriakkan, bersamaan dengan berbagai manuver di luar panggung kampanye.

Semua perhatian pemimpin negeri dari pusat hingga daerah seolah tercurah hanya untuk kampanye sesuai kepentingan masing-masing, yang kadang harus merampas kenyamanan dan acapkali mengganggu kelancaran proses pelayanan publik.

Menyimak pelaksanaan kampanye terbuka selama sepekan lalu, publik akan dengan mudah menangkap bahwa apa yang dilakukan elit politik belumlah beranjak dari pola lama.

Pertama, mengintensifkan kampanye tertutup, mulai dari menggelar pertemuan tidak resmi, mendatangi warga dari pintu ke pintu, hingga memperbanyak atribut dan memperluas lokasi persebarannya. Kedua, menebar janji dan pesona melalui pidato politik yang disampaikan petinggi dan juru kampanye partai.

Memang banyak cara dan manuver yang mereka lakukan, namun umumnya dua model itulah nyang paling menonjol sebagaimana yang bisa diamati dari laporan media massa.

Jika saja publik memiliki waktu dan minat untuk mencermati dengan sedikit lebih teliti, mungkin mereka akan menangkap kesan bahwa di samping tidak kreatif dan tidak inovatif, kampanye itu pun tak lebih dari pameran keangkuhan dan parade hal-hal yang bertolak belakang.

Hampir semua juru kampanye –di luar pendukung pemerintah– meneriakkan keburukan, kelemahan, dan ketakberhasilan pemerintah. Dengan angkuh mereka mengklaim diri sebagai yang terbaik bagi Indonesia masa depan.

Arogansi yang sama juga dilakukan juru kampanye partai yang tokohnya sedang berada di dalam pemerintahan. Tanpa rasa malu mereka mengklaim berbagai hal yang disebutnya sebagai keberhasilan, dan mengakuinya sebagai keberhasilan partai mereka.

Jika masyarakat tak cermat mencernanya, mereka bisa terjebak oleh logika semu yang sesungguhnya menipu. Seolah masuk akal, padahal tidak nalar. Seolah logis, padahal gombal.

Selama sepekan lalu publik menangkap bahwa kampanye hanyalah arena untuk saling caci dan baku maki. Kampanye hanyalah wadah untuk menunjuk diri sendiri sebagai yang terbaik. Kampanye adalah kesempatan sangat terbuka untuk menuding pihak lain dan memburukkannya.

Keangkuhan tidak saja tersirat dan tersurat serta terucapkan pada pidato juru kampanye, melainkan juga tampak dari cara mereka — antara lain melalui pengerahan massa– yang ‘menindas’ masyarakat di jalan raya maupun di tempat umum. Rakyat dipaksa mengalah dan memberi jalan serta menyediakan ruang bagi arak-arakan massa dan aktivitas kampanye mereka.

Sisi lain yang bertolak belakang, juga tampak sejak kampanye tertutup dimulai dan makin parah pada kampanye terbuka. Simak saja atribut dan pameran narsisisme para politisi (dan calon politisi) itu.

Intinya, semua menyatakan akan turut menciptakan pemerintahan yang bersih, membela rakyat kecil, dan lain sebagainya. Namun bersamaan dengan itu pula mereka ramai-ramai mengotori kota dan merusak keindahan tata ruang, dengan tindakannya memasang atribut di sembarang tempat.

Biasanya, makin dekat ke hari pemilihan umum kian kencang dan gencar aktivitas peserta pesta demokrasi, makin runcing pula benih-benih perseteruan maupun keintiman politik mereka.

Masyarakat berharap, meskipun tensi politik makin tinggi, tak perlulah diiringi peningkatan ketegangan dan permusuhan. Sebab semua yang sedang kita lakukan dalam pesta politik ini semata demi keselamatan dan kesejahteraan bangsa.

Dan, kita sadari betul, semua ini cuma panggung sandiwara kehidupan. ***

29
Jan
09

Adu Siasat Berebut Suara

suaradiam

PERHATIAN para peminat politik di tanah air sejenak berpaling ke Solo, Jawa Tengah tempat Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) melakukan Rapat Kerja Nasional. Kegiatan itu sebenarnya biasa-biasa saja dan sangat wajar dilakukan sebuah partai politik, apalagi menjelang pesta demokrasi.

Namun karena PDIP merupakan partai besar dan berpengaruh dalam konstelasi politik di tanah air, apapun hasil rapat kerja itu akan turut mengubah, bahkan menentukan perimbangan dan kalkulasi politik menjelang pemilu.

Megawati Soekarnoputri selaku Ketua Umum PDIP merupakan calon presiden dari partai itu. Namun karena bangunan dan tata laku politik kita tak memungkinkan seseorang maju sendiri hanya atas dasar dukungan partainya. Makanya, hasil raker partai itu –yang antara lain merekomendasi tokoh mana saja yang akan mendampingi Megawati– menjadi penting. Pasalnya menyangkut partai lain dan basis massanya, yang berarti akan menentukan hasil pemilu.

Dengan menggandeng figur tertentu dari partai atau organisasi massa tertentu, diharapkan parpol itu –juga setelah berkoalisi– bisa menangguk suara cukup signifikan yang akan menentukan langkah berikutnya di pemilihan presiden.

Hal seperti ini galib saja dalam dunia politik, apalagi di Tanah Air kita yang para politisinya masih belajar berdemokrasi secara dewasa. Koalisi memungkinkan memadukan dan menggabungkan kekuatan serta keunggulan masing-masing, di sana juga terjadi konsesi- konsesi dan berbagai kompromi.

Jika dicermati secara logika normal, bisa saja terasa terbolak- balik. Yang semula kawan, bisa mendadak jadi lawan. Demikian sebaliknnya. Pelajaran dari dua pemilu sebelumnya (1999 dan 2004) bisa memberi gambaran cukup nyata mengenai wajah asli dan perilaku politik para politisi kita.

Pada Pemilu 1999, misalnya. PDIP menang telak, tapi yang jadi presiden malah Gus Dur. Belakangan, Gus Dur justru digusur oleh kekuatan yang semula mendukungnya menggeser Mega dari singgasana. Pada Pemilu 2004, Partai Golkar menang, tidak bisa menempatkan orangnya sebagai kepala negara.

Banyak pengamat memperkirakan hadirnya kekuatan nasionalis- religius masih akan mewarnai panggung politik kita. Paduan nasionalis-religius memang tak lepas dari fakta historis yang hingga kini masih terus berlanjut dan menjadi patron para politisi kita.

Namun perdebatan dari ideologi nasionalis-religius itu akhir- akhir ini kehilangan roh. Tak heran kalau kita tak menemukan nilai-nilai religiusitas ataupun nasionalisme dalam arti yang sesungguhnya di kalangan para politisi.

Buktinya, korupsi jalan terus, komunikasi politik sarat dengan bagi-bagi kursi, kelicikan dan intoleransi. Politik jadi penuh nafsu dan ambisi, bukan lagi sarana untuk ibadah atau perwujudan patriotisme.

Kalau pun tokoh nasionalis dan tokoh agama kemudian bergabung, bukan lagi dilandasi persamaan cita-cita untuk menyejahterakan bangsa, tetapi lebih sebagai lokomotif yang akan menarik gerbong massa menuju puncak kekuasaan.

Tampilnya pasangan capres-cawapres dengan embel-embel nasionalis, religius, maupun citra kearifan kekuasaan tradisional, membuktikan politisi kita masih terkurung dalam pusaran sejarah masa silam.

Memang tokoh berbasis massa akan jadi modal pada kemenangan pemilu. Tapi tak sedikit juga pemilih – umumnya swing voters – mendambakan tokoh baru, pemimpin baru yang memiliki visi jauh tanpa mengandalkan merek masa lalu.

Pengalaman pemilu sebelumnya menunjukkan, pengaruh dari pemilih yang tidak memberikan suara pada pemilu legislatif, ternyata cukup signifikan dalam menentukan siapa yang kemudian jadi pemenang dalam pilpres.

Prediksi ‘suara diam’ dalam pemilu kali ini akan jauh lebih besar lagi. Jadi, daripada rumit-rumit beradu argumen dan tawar menawar tentang siapa jadi apa nanti, lebih baik jalani dulu proses politik secara normal. Pelajari pengalaman dari pemilu-pemilu sebelumnya.

Bukankah pengalaman adalah guru terbaik? **

18
Jan
09

Wakil Rakyat?

dewan-dewanan

TIGA anggota dewan perwakilan rakyat daerah , diciduk di sebuah hotel di Jakarta, Kamis (15/1/09 ) malam pekan lalu. Mereka berasal dari sebuah kabupaten di Sumatera Utara, datang ke ibu kota lalu terpergok sedang berjudi. Polisi juga menyita uang tunai jutaan rupiah sebagai barang bukti, demikian disiarkan berbagai media Sabtu silam.

Peristiwa ini menambah panjang daftar wakil rakyat yang berperilaku tidak patut. Mulai dari yang meniduri penyanyi, yang melecehkan perempuan stafnya, yang menerima suap sekaligus berselingkuh, sampai yang mati di kamar panti pijat. Muilai dari yang malas bersidang, hingga yang kecanduan narkotika.

Jika tempo hari sempat menyala kembali semangat untuk melawan politisi busuk, sangat boleh jadi peristiwa di atas makin memperkuat keyakinan kita untuk tidak memberi lagi tempat kepada politisi macam ini, apalagi membiarkannya melenggang ke gedung parlemen.

Sebelum pemilu 2004, kampanye antipolitisi busuk demikian gencarnya disuarakan. Hasilnya, malah lebih banyak wakil rakyat yang digelandang dan dihukum karena kebusukan perilakunya. Kampanye dan perlawanan moral, ternyata tidak mampu membendung para pengkhianat itu menyusup ke gedung parlemen.

Begitu banyak wakil rakyat yang ternyata lebih diperbudak syahwat rendah dan menghambakan diri pada juragan napsu. Sebagai wakil, mereka tidak mengabdi kepada rakyat yang telah memilih dan mempercayakan sepenuhnya aspirasi mereka.

Kini pemilu sudah di ambang pintu, para politisi –baik yang sudah matang, maupun yang karbitan, bersih atau busuk– sudah pula menjual diri di berbagai kesempatan, memasang iklan di tepi-tepi jalan mengotori dan merusak keindahan kota-kota.

Kita tak tahu berapa banyakkah di antara deretan nama dan gambar yang terpampang di jalan-jalan itu termasuk politisi bersih. Berapa pula yang busuk? Termasuk orang jujurkah atau cuma mengesankan diri sebagai orang saleh? Penganggur yang bingung atau telah orang yang telah menunjukkan karya nyata? Tak jelas, sebab semua mencitrakan diri sebagai orang patut, paling baik, paling tepat untuk dipilih.

Persoalnnya kemudian apakah apakah DPR hasil Pemilu 2009 nanti benar-benar menghasilkan wakil-wakil rakyat yang bersih atau tidak? Sulit menjaminnya, meski saat memasuki ranah pemilihan –secara administratif– mereka telah dinyatakan bersih oleh kepolisian, pengadilan, maupun Komisi Pemilihan Umum.

Pengalaman membuktikan, setelah terpilih sebagai wakil rakyat, mereka mulai menunjukkan wajahnya yang asli. Motivasinya jadi wakil rakyat ternyata bukan memperjuangkan aspirasi dan kepentingan rakyat, tapi semata hanya demi mendapat status sosial, pekerjaan, gaji besar, mobil dinas, rumah dinas, dan berbagai fasilitas lain dari negara yang dibeli dengan uang rakyat.

Terkuaknya berbagai kasus kriminal, asusila, dan kasus korupsi di kalangan wakil rakyat menunjukkan bahwa di antara mereka yang lolos jadi legislator, banyak yang tidak matang secara intelektual, emosi maupun moral. Ini gambaran sederhana akibat pola rekrutmen pencalonan anggota legislatif yang mengesampingkan kemampuan tiga faktor tersebut. Dalam menjaring jagonya untuk duduk menjadi wakil rakyat, parpol lebih bersandar pada pertimbangan politis kelompok maupun perimbangan uang.

Bukan hanya performa itu yang kini membuat rakyat kemudian harus mengelus dada. Realitas politik hari-hari ini –buah hasil pemilu sebelumnya– telah menunjukkan bahwa hubungan emosi antara rakyat dengan wakilnya sudah terputus. Mereka melupakan rakyat yang dengan segala kepolosan, keiklasan, ketidaktahuan, keluguan, dan segala harapannya telah memilihnya.

Berkaca pada pengalaman –bukankah ia guru terbaik?– yang terpenting bagi kita hari-hari in i adalah masalah bobot moralitas dan kepercayaan yang akan kita berikan kepada mereka melalui pemilu nanti. Kita sudah mengalami dua pemilu paling demokratis dan menikmati hasilnya berupa penghianatan dan pelecehan terhadap amanat dan aspirasi kita.

Masihkah akan kita biarkan orang-orang macam itu menduduki kursi di gedung parlemen hanya untuk mengkhianati kita? Masih layakkah orang-orang seperti ini menginjak-injak dan melecehkan amanah politik kita? Jawaban atas pertanyaan ini seharusnya hanya satu kata: Tidak! (***)