Posts Tagged ‘perempuan

14
Sep
08

Generasi “Oplos”

BERITA mengejutkan itu datang dari ujung timur Jawa Barat, Indramayu. Empat belas orang tewas, belasan lain dirawat di rumah sakit setempat. Mereka bertumbangan setelah meminum minuman keras yang dicampur bahan-bahan lain. Sebagian terbesar dari korban itu anak-anak muda, satu lelaki paro baya, dan satu perempuan muda.

Disebut mengejutkan, karena jumlah korbannya demikian banyak. Malah terlalu banyak, kerena sehelai pun nyawa manusia sangatlah berharga. Lebih mengejutkan, karena baru dua tahun silam, insiden serupa di Indramayu merenggut nyawa tujuh anak muda.

Rupanya peristiwa itu tak cukup jadi cambuk untuk mengingatkan masyarakat dan aparat setempat betapa berbahayanya minuman keras beredar tanpa kontrol dan kendali. Apalagi di lingkungan masyarakat yang tingkat pendidikan dan pengetahuannya belum memadai secara merata di tengah kondisi sosial ekonomi yang tidak seimbang.

Indramayu sesungguhnya daerah kaya. Setidaknya kabupaten berpenduduk 1,6 juta jiwa ini merupakan lumbung padi besar yang menyangga dan memberi sumbangan penting bagi ketersediaan pangan secara nasional. Ia juga memiliki Balongan, kilang yang memproduksi 10.500-an barrel bahan bakar minyak setiap hari (data 2003), yang mestinya juga memercikkan kemakmuran bagi penduduk sekitarnya.

Namun kekayaan Indramayu ternyata belum mampu menyejahterakan warganya. Jika tidak, tak mungkin ada sekitar 1 juta penganggur di daerah itu (data 2006). Tak mungkin pula 90.000 warganya terpaksa mengais-ais rejeki di negeri orang sebagai tenaga kerja Indonesia. Sekitar 75 persen dari jumlah itu adalah para perempuan yang kebanyakan bekerja di sektor domestik. Kata lain untuk jongos.

Jika daerah itu sudah memberi peluang memadai bagi warganya untuk menyejahterakan diri, tak mungkin pula ribuan perempuan Indramayu melata-lata di keremangan dunia malam kota besar di berbagai pelosok di Tanah Air, dan itu tidak pernah terpantau jumlah maupun mobilitasnya.

Apakah kondisi seperti itu juga yang kemudian merangsang segelintir penduduknya untuk mengakrabi kebiasaan mabuk-mabukan? Belum jelas benar. Yang jelas, kemiskinan memang seringkali dianggap sebagai akar dari sejumlah masalah sosial. Satu di antara masalah itu adalah kebiasaan mabuk-mabukan.

Boleh jadi, dengan mabuk –lantas tertidur– orang “melupakan” sejenak kesulitan hidupnya. Tapi kebiasaan itu juga menyeret dampak buruk lain, yakni tingginya angka kriminalitas. Kalau orang itu minum untuk diri sendiri sampai mabuk sekali pun, dan langsung mendengkur begitu teler, tak jadi soal. Yang repot dalah para peminum tanggung yang gentayangan lalu ngoceh sana-sini dan tindakannya kurang terkontrol sehingga kadang memancing keributan.

Bagi sebagian penduduk di suatu daerah miskin di bagian timur Indonesia di mana minuman keras -olahan tradisional- sudah jadi minuman sehari-hari, banyak warga yang memang minum sampai mabuk. Biasanya, mereka membeli minuman setelah barang hasil bumi mereka laku di pasar. Selain digunakan untuk membeli keperluan hidup keluarga, mereka juga menyisihkannya untuk membeli minuman lokal, dan meminumnya sampai mabuk dan tertidur, (https://yusranpare.wordpress.com/2007/10/21/pendekar-mabuk/).

Di kota-kota besar, ada kecenderungan pada sebagian orang jalanan meminum minuman keras semata untuk stimulan. Mereka sengaja mabuk -atau setidaknya tampil seperti sedang mabuk- untuk meningkatkan efek teror terhadap sasaran yang akan dipalak atau diperasnya.

Dalam kasus Indramayu, tampaknya para peminum itu bukan semata untuk dirinya sendiri agar sekejap bisa melarikan diri dari ralitas, melainkan sudah sampai pada tahap memburu kepuasan maksimum secara bersama-sama dengan cara cepat, mudah, dan murah, karena memang sebatas itulah yang mereka mampu.

Ketidaktahuan dan keterbatasan pemahaman yang mungkin disebabkan kurangnya pendidikan -yang konon karena kemiskinan- di tengah kendornya pengawasan antarsesama warga, telah membuat orang gegabah mencampuradukkan bahan-bahan untuk dikonsumsi, sehingga jadi cairan maut yang menewaskan lebih selusin orang.

Ini harus jadi bahan renungan dan pelajaran bagi segenap pihak, sebab ini bukan peristiwa yang bisa dibiarkan berlalu begitu saja. Kejadian seperti ini tak pantas terus terulang, di Indramayu atau di manapun di wilayah tanah air. (*)

 

 

 

 

27
Des
07

Maafkan Saya, Mang!

awan2.jpg

BERITA duka itu datang sesaat setelah saya mengaktifkan telepon genggam begitu turun dari Lion Air di Bandara Syamsuddin Noor, Banjarmasin, Senin (17/12/2007). “Mang Cepi telah pergi siang ini. Innalillahi wainna ilaihi rajiun” demikian pesan singkat dari istri saya di Bandung.

Tjeppy Rachmansyah, kami memanggilnya Mang Cepi, boleh jadi merupakan orang yang pertama memperkenalkan saya –secara tidak langsung– ke dunia jurnalistik. Saya ingat betul, ketika masih di SMP (di Ujungberung), saat liburan biasanya saya habiskan di Cijagra, Buahbatu, di Komplek Wartawan.

Mang Cepi sudah bekerja sebagai wartawan Gala (saya lupa, apakah saat surat kabar itu sudah terbit harian atau masih mingguan). Seringkali ia mengajak saya ke kantornya di sebuah gedung tua di Jalan Asia Afrika, berseberangan dengan Gedung PLN, tak jauh dari Gedung Merdeka. Sering saya menungguinya mengetik. Sering pula dibonceng sepedanya mengantar kope (maksudnya, copy, naskah hasil ketik yang sudah dicorat-coret kode editing), ke percetakan.

Melalui dia pula, perlahan-lahan saya mengerti bagaimana seorang jurnalis bekerja. Ia sering mengajak saya untuk menemaninya dalam perjalanan mencari bahan tulisan. Dengan sepedanya — tentu saya dibonceng– kami menelusuri pojok-pojok Bandung. Sekali waktu, misalnya, dia mengajak saya menyusuri jalan setapak sampai tiba di sebuah ceruk yang oleh penduduk setempat dinamai Leuwi Goong.

Di situ ada jembatan yang di atasnya membentang rel kereta api (jurusan Bandung Ciwidey — jalur ini sudah tidak aktif). Di bawah jembatan beton itu terdapat sebuah lorong melengkung, yang ternyata dihuni seorang perempuan tua. (Sekarang, jembatan itu masih ada, lorongnya juga digunakan penduduk untuk semacam pos ronda), tapi kiri-kanan, depan-belakang sudah padat-dat-dat oleh permukiman).

Bandung pada tahun 1971-72 belum sepadat hari-hari ini, belum banyak tuna wisma. Jadi, mungkin (menurut pikiran saya saat ini) agak mengherankan jika ternyata ada seorang perempuan yang bertahun-tahun hidup di kolong jembatan kereta, di pinggiran kota, jauh dari kepadatan perkampungan. Karena itu, Mang Cepi menemuinya.

Saya menemani Mang Cepi ngobrol panjang lebar dengan perempuan tua itu, sampai kemudian dirasanya cukup. Lalu ia memotretnya. Beberapa hari kemudian, kisah ibu ini –lengkap dengan potretnya– muncul di halaman 1 GALA, bagian bawah (saya mengenalnya kemudian sebagai tulisan feature yang ditempatkan sebagai anchor/angker halaman).

Saya ingat, ketika ngobrol dengan perempuan tua itu Mang Cepi tidak menulis (apalagi merekam — alat macam ini belum populer) apa pun, karena tidak membawa catatan. Anehnya –bagi saya– cerita yang ditulisnya di koran persis sama dengan apa yang jadi topik obrolan antara dia dengan perempuan tua itu. Saya masih kanak-kanak, jadi tidak menimbrung percakapan. Cuma pendengar dan penyaksi.

Begitulah, pertemanan antara paman dan keponakan ini berlangsung terus sampai masa-masa sesudahnya. Baik ketika saya di SMEA (Sumedang), maupun setelah jadi mahasiswa. Di waktu-waktu luang, Mang Cepi seringkali mengajak saya jalan, menemaninya ke kantor, dan menungguinya bekerja. Atau menemaninya Jumatan di mesjid yang berbeda-beda pada setiap Jumat.

Sebagai wartawan, pergaulannya luas. Yang saya tangkap, Mang Cepi bukan termasuk wartawan salon yang lebih sering keluar masuk kantor pemerintah dan mengutip pernyataan-pernyataan birokrat. Ia adalah orang lapangan tulen, yang selalu menjelajah untuk menemukan bahan-bahan yang kemudian dilalorkannya di koran.

Tulisannya enak dibaca. Deskripsinya kuat. Jika membaca tulisannya, kita seolah jadi bagian dari cerita, seperti sedang menyaksikan dan turut serta hadir dalam peristiwa yang dikisahkannya. Pergaulan lapangannya yang luas membuat dia akrab dengan berbagai orang di dari berbagai lapisan masyarakat. Mulai dari tentara hingga birokrat, mulai dari preman, perempuan terpinggirkan, hingga waria.

gala-gala-anSaya ingat, dia pernah membuka rubrik tetap pada harian GALA, isinya mirip-mirip Jakarta Undercover-nya Bandung versi akhir tahun 70-an. Rubrik itu dijudulinya Dunia Lain Wanita Kita berisi kisah-kisah manusiawi yang sarat human interest, dari kehudupan remang-remang yang terpaksa dijalani sebagian kaum perempuan.

Kecerdikannya menggunakan data-data dan fakta-fakta, serta memanfaatkan jaringan pergaulannya yang luas, membuatnya mampu menuliskan kisah-kisah kaum perempuan yang terpinggirkan itu tanpa ia harus “ambil bagian” sebagai pelaku di dalamnya. Ceritanya jadi kisah yang humanis. Tidak terjebak pada sensasi selera rendah.

Terus terang, banyhak hal yang diam-diam saya serap dari dia yang kemudian –tanpa saya sadari– saya gunakan manakala menulis. Karena terpicu olehnya saat-saat saya di SMP, maka ketika di SMEA saya menerbitkan GEMA, majalah sekolah (stensilan) tiga bulanan. Di perguruan tinggi (Uninus), saya mengaktifkan majalah kampus (WARTA) yang kemudian jadi penyemangat berdirinya Fakultas Ilmu Komunikasi di universitas itu, hingga kini.

Dengan jurus-jurus menulis yang saya serap dari Mang Cepi pula, saya menulis feature kisah lucu mengenai dua mahasiswi Malaysia yang jadi anggota rombongan kunjungan ke kampus ke Unpad.

Tulisan itu merupakan karya pertama saya (bukan sebagai wartawan), yang ketika dikirim ke redaksi Bandung Pos, langsung dimuat kesokan harinya tanpa ada perubahan editing satu titik pun. Mulai dari judul, “Nama Saya Kamsiah! Gerrr… Mahasiswa Unpad Pun Tertawa” hingga titik akhir tulisan!

Jadi, bisa di bilang, Mang Cepi telah menuntun saya ke dunia jurnalistik. Disadarinya atau tidak, dia telah menjadi inspirasi dan mengajari tanpa menggurui. Ia jadi patron di awal-awal saya memasuki dunia kepenulisan.

***

awan11.jpg

AKHIR November 2007 tiba-tiba saja saya dikejutkan kabar bahwa ia terkena stroke dalam perjalanan dari Garut. Padahal, ketika terakhir kami berjumpa saat lebaran, ia masih seperti biasa, ceria dan ramai berkisah. Ia pencerita yang ulung, tidak saja dalam tulisan, tetapi juga dalam bertutur.

Begitu mendapat kabar tersebut, kami buru-buru menuju rumah sakit MMC di ujung tol Padaleunyi, Cileunyi. “O, Pak Cepi baru saja pulang, tadi pukul empat,” kata perawat. Kami datang sekitar 30 menit lebih lambat. Berarti, sudah pulih. Tak terlalu parah, begitu pikir saya.

Beberapa hari kemudian saya kontak Dani, adik saya. Mengajaknya bersama-sama menjenguk Mang Cepi di rumahnya. Kami sepakat menjenguk pada hari Minggu 9 Desember. Hari-hari itu, sejak tanggal 6 Desember, saya dan istri sedang bolak-balik ke Rumah Sakit Immanuel Bandung, menjenguki rekan sekerja, Lina Maliana, yang kritis digerogoti kanker.

Minggu pagi, datang kabar, mang Cepi dirawat di RS Al Islam, Jalan Soekarno Hatta. Kami buru-buru ke rumah Dani (tak jauh dari RS itu) menjemputnya untuk sekalian menjenguk Sang Paman. Ternyata, keliru. Mang Cepi bukan dirawat di RS Al Islam, tapi di RS Al Ihsan, Baleendah.

Ketika kami menengoknya Minggu siang itu, dia sudah tak berdaya. Tubuhnya terbaring di ruang ICCU Rumah Sakit Al Ihsan, Baleendah, Bandung. Matanya kosong seperti menatap lorong ketiadaan. Selang penopang hidup bersaling-silang. Tak ada yang bisa kami lakukan.

Esoknya, muncul kabar dari dr Tessa –putri sulung Mang Cepi– bahwa kondisinya sudah stabil. Tinggal pemulihan. Hari-hari itu, kami sedang larut dalam kesedihan. Lina, sahabat saya di kantor, dan akrab dengan istri saya, pergi untuk selamanya Minggu senja menjelang magrib. Hari-hari berikutnya saya masih sempat mendapat dua kabar via SMS dari Tessa mengenai pekrembangan sang ayah.

Senin pagi 17 Desember, saya berangkat dari Bandung menuju Banjarmasin via Jakarta. Tiba di Banjarmasin menjelang sore (WIB kira-kira pukul 14.00), saat saya turun dari Boeing 737 900 ER itulah sms kabar duka mengenai Mang Cepi masuk.

Inna lillahi wainna ilaihi rajiun. Segala yang berasal dariNYA, semua kembali kepadaNYA. Deg! Ada rasa bersalah, karena tak bisa menengoki dan menungguinya kala ia terbaring sakit. Bahkan, saat ia pergi pun saya yak bisa mengantarnya. Maafkan saya, Mang. ***

19
Okt
07

Untuk Laras

dunialelaki1.jpg

SAYA terusik pertanyan anak kedua, Laras Sukmaningtyas. Dalam sebuah tulisannya yang berapi-api membela kaum perempuan, ia menggugat “realitas kelelakian”. Mengapa, katanya, dunia ini seperti secara alamiah telah meminggirkan kaum perempuan? Nah, siapa tahu tulisan di bawah ini bisa menambah wacana diskusinya.

Perkakas, Perkasa

BOLEH jadi dunia ini dicipatakan untuk laki-laki. Bukan perem­puan. Atau, kaum lelaki menganggap dirinya sebagai sang pengu­asa dunia. Wanita tidak. Atau lagi, kaum lelakilah yang paling patut berkuasa atas bumi, karena lelakilah manusia pertama diciptakan, dan dibuang ke pla­net ini gara-gara skandal buah khuldi dengan perempuan pertama. Entahlah, mana yang paling tepat.

Sejak munculnya kesadaran akan diri dan ling­kungan per­­adaban, tam­paknya manusia memang menganggap lela­kilah yang paling menen­tu­kan. Lihat saja, mitos Yunani –yang disebut-sebut sebagai awal per­­a­daban– bahkan menganggap para dewa yang di atas manusia itu juga dikuasai dewa berkelamin pria. Zeus sang perkasa, dewa di atas dewa.

Bacalah semua kitab suci. Semuanya menempatkan perempuan selalu sebagai subordinasi. Malah ada yang jelas-jelas meminggirkannya. Simak pula aneka hukum dan undang-undang bikinan manusia, bah­kan dalam dogma-dogma yang dikenal manusia pun, peran lelaki selalu lebih me­nonjol, meski secara fisik –di mana pun– para perem­puanlah –kecu­ali lelaki semacam Ade Rai– yang lebih banyak me­miliki tonjolan.

Jika masih kurang yakin, lihat pula jejak-jejak sejarah pe­ning­­galan peradaban kuno mulai dari para Pharaoh, hingga raja-raja –satu dua saja ratu– Jawa. Dari Yunani dan Romawi hingga Aztek, dari Piramid hingga Borobudur, semua menggambarkan betapa lelaki didudukkan pada singgasana lebih tinggi.

Singkatnya, lelaki adalah simbol kekuasaan. Atau, lelaki harus me­re­­presentasikan kekuasaan. Mungkin karena itu pula, orang ribut ke­­tika ada prempuan yang akan marak jadi presiden. Kaum lelaki kha­watir akan terkepit di ketiak subordinasi sang wanita. Perem­puan berkuasa! Wah, itu membalikkan mitos.

Tak begitu jelas, apakah suratannya memang begitu, atau per­­­kembangan yang memperkembangkan dan diperkembangkan komunitas ma­nusia telah membentuk tatanan sedemikian rupa, sehingga seolah lelakilah warga bumi nomor wahid. Perempuan tidak. Bahkan ada yang menganggap perempuan tak lebih dari segumpal daging yang bisa di­per­jual belikan, dilecehkan, diinjak, dan dicampakkan.

Padahal, kecuali manusia pertama, lelaki-lelaki berikut yang menghuni planet ini ada karena ada perempuan yang melahirkannya. Toh, tetap saja, kaum lelaki selalu menepuk dada bahwa dirinyalah sang penguasa segalanya.

Kaum ini, sejak berhimpun dalam komunitas Neanderthal maupun sejak era Homo Soloensis, tampaknya memang sudah tampil sebagai sim­bol keperkasaan. Dengan keperkasaannya itu ia menciptakan aneka perkakas untuk memerkokoh dominasinya, baik atas kekuasaan maupun atas –siapa lagi kalau bukan– lawan jenis.

Perkakas, keperkasaan, kekuasaan dan lawan jenis, tampaknya tak bisa dipisahkan dari sosok seorang lelaki. Bahkan –seperti dalam mitos Yunani– sejak semesta ini masih dihuni para dewa dan dewi-dewi.

Entah mengapa pula, keperkasaan tak cuma diterjemahkan da­lam kemam­puannya mempergunakan perkakas perang untuk memperkukuh ke­kuasaan dan menaklukkan serta mengangkangi lawan, tetapi juga dalam memperlakukan kaum perempuan.

Boleh jadi, apa yang disimpulkan Foucault benar. Bahwa tingkah laku seorang lelaki dalam memperlakukan lawan jenis­nya, akan mem­beri cermin pada pola peri­laku­nya dalam menjalankan kekuasaan dan tingkah laku politiknya. Freud malah lebih dahulu me­lontar kesim­pulan, justru pada titik hubungan lawan jenis itulah motivasi segala pola perilaku manusia terletak.

Nah, mungkin karena di titik itu semua impuls tingkahlaku ber­mula, maka dengan cara itu pula sang lelaki merepresentasikan keku­asaannya.

Jika di medan perang atau di arena bisnis, keper­kasa­an di­ukur oleh sejauh mana dia mendayagunakan segala perkakasnya untuk meraih ke­menangan dan keuntungan, maka ia pun lantas meng­anggap pada ‘per­kakas’nya pula keperkasaannya tercermin.

Padahal, jika tidak waspada dan terlalu mudah menggunakan per­ka­kas pun risikonya bisa mencelakakan diri. Sudah ba­nyak contoh, bagaimana sang perkasa mengumbar perkakasnya secara mem­babibuta hingga ia kehilangan kekuasaan atau bahkan kena tulah se­perti Oedi­pus dari Thebes sebagaimana dilukiskan dengan dramatik oleh Sopho­cles. Atau Sangkuriang (Oedipus dalam versi mitologi Sunda).

Dalam dunia nyata, banyak pula contoh bagaimana para lelaki per­­kasa jatuh karena terlalu mengikuti kemauan daging, eh perkakas keperkasaannya. Raja-raja Jawa bisa berperang gara-gara berebut per­empuan. Segarang-garangnya Adolf Hitler, bertekuk lutut –mung­kin lebih tepat, bertekuk pinggang– pada Eva Braun. Begitu flamboyannya Clinton, toh terpeleset oleh kelicinan tubuh Monica Lewinsky.

Orang bilang, tahta bisa rontok karena wanita. Tapi yang se­be­narnya –mungkin– karena sang perkasa tak bisa mengen­dali­kan per­kakasnya dengan proporsional, sehingga perlu mencari-cari wanita untuk dijadikan media penguji keperkasaannya. Sekaligus media untuk menunjukkan betapa ia bisa menguasai sang lawan (jenis).

Soal ini pun tampaknya sudah berlangsung juga sejak komunitas manusia ini tumbuh. Pada peninggalan-peninggalan kuno, perkakas sang perkasa seringkali disimbolkan secara verbal dan terang-te­rangan, seolah untuk menunjukkan demikian pentingnya peran perkakas itu dalam kelangsungan hidup peradaban.

Lihat saja candi-candi peninggalan raja-raja purba. Relief atau patung-patung melukiskan secara khusus bagaimana perkakas itu digu­nakan dan dirawat demi kelangsungan hidup generasi berikut. Sementara ‘relief’ kontemporer muncul dalam bentuk buku teks sejenis Kama Sutra.

Lingga, demikian perkakas itu dinamakan. Patungnya, kadang cuma dalam bentuk sederhana –persis aslinya– tertancap menonjok langit di pelataran sekitar kompleks candi, atau di tempat khusus yang –mungkin dahulu– merupakan tempat ritus yang berkaitan dengan urusan itu.

Kalau pun ada kelompok kasidah bernama Lingga Binangkit di Jawa Barat –yang arti­nya, maaf… ereksi– ten­tulah karena grup itu berasal dari ke­lompok kesenian spesial peng­iring upacara per­kawinan Sunda. Upacara meng­antar lingga yang akan memasuki sarang­nya, yoni — media di mana ‘kehidupan’ manusia bermula.

Jadi, bisa dipahami jika kemudian banyak di antara para le­laki melakukan berbagai upaya untuk agar perkakasnya bisa tetap perkasa da­lam perang tanding dengan lawan jenis. Sebab pada perang je­nis inilah, mungkin, keperkasaannya dipertaruhkan dan dengan demi­kian ia bisa tetap dominan sebagai sang penguasa.

Tampaknya dalam upaya perburuan keperkasaan ini pula, kemudian para ahli farmasi AS menyusun formula Viagra, yang semula diniatkan un­tuk membantu mereka yang memang betul-betul terganggu secara fi­sik, tapi kenyataannya jadi komoditi pasar gelap sebagaimana ekstasi.

Dalam model lokal, para lelaki kita sudah lama mengenal pasak bumi (dan bangunan…. hehehe), kuku-bima, dan macam-macam ramuan ta­naman dan dedaunan yang diyakini bisa bikin greng. Bahkan lebih dari itu, mereka pun rela merawat perkakas perang ranjangnya ini secara khusus lewat tangan-tangan dukun, atau melalui resep-resep tradisional hingga cara modern.

Kita tak tahu persis, apakah dengan cara itu keperkasaan se­orang lelaki sungguh-sungguh diukur. Sebab, kecenderungan yang pa­ling terlihat dari gejala seperti ini adalah, seakan-akan sang lela­ki baru dianggap perkasa jika bisa ‘menaklukkan’ lawan jenisnya berkat kehandalan perkakas perangnya.

Lagi-lagi terlihat, betapa perempuan seakan memang cuma jadi objek penderita dalam proses ‘penegakkan kepercayaan diri’ para pria ini. Padahal, urusan keperkasaan tak melulu berkisar seputar selangkangan, melainkan juga terletak pada kepala alias otak.

Tapi tampaknya dunia — bahkan semesta ini memang telanjur diyakini diciptakan oleh dan merupakan milik para lelaki.

Mungkin itu terjadi karena tuhan pun berjenis kelamin lelaki.

Jika tidak, bagaimana mungkin Maria hamil!

***