SAYA terusik pertanyan anak kedua, Laras Sukmaningtyas. Dalam sebuah tulisannya yang berapi-api membela kaum perempuan, ia menggugat “realitas kelelakian”. Mengapa, katanya, dunia ini seperti secara alamiah telah meminggirkan kaum perempuan? Nah, siapa tahu tulisan di bawah ini bisa menambah wacana diskusinya.
Perkakas, Perkasa
BOLEH jadi dunia ini dicipatakan untuk laki-laki. Bukan perempuan. Atau, kaum lelaki menganggap dirinya sebagai sang penguasa dunia. Wanita tidak. Atau lagi, kaum lelakilah yang paling patut berkuasa atas bumi, karena lelakilah manusia pertama diciptakan, dan dibuang ke planet ini gara-gara skandal buah khuldi dengan perempuan pertama. Entahlah, mana yang paling tepat.
Sejak munculnya kesadaran akan diri dan lingkungan peradaban, tampaknya manusia memang menganggap lelakilah yang paling menentukan. Lihat saja, mitos Yunani –yang disebut-sebut sebagai awal peradaban– bahkan menganggap para dewa yang di atas manusia itu juga dikuasai dewa berkelamin pria. Zeus sang perkasa, dewa di atas dewa.
Bacalah semua kitab suci. Semuanya menempatkan perempuan selalu sebagai subordinasi. Malah ada yang jelas-jelas meminggirkannya. Simak pula aneka hukum dan undang-undang bikinan manusia, bahkan dalam dogma-dogma yang dikenal manusia pun, peran lelaki selalu lebih menonjol, meski secara fisik –di mana pun– para perempuanlah –kecuali lelaki semacam Ade Rai– yang lebih banyak memiliki tonjolan.
Jika masih kurang yakin, lihat pula jejak-jejak sejarah peninggalan peradaban kuno mulai dari para Pharaoh, hingga raja-raja –satu dua saja ratu– Jawa. Dari Yunani dan Romawi hingga Aztek, dari Piramid hingga Borobudur, semua menggambarkan betapa lelaki didudukkan pada singgasana lebih tinggi.
Singkatnya, lelaki adalah simbol kekuasaan. Atau, lelaki harus merepresentasikan kekuasaan. Mungkin karena itu pula, orang ribut ketika ada prempuan yang akan marak jadi presiden. Kaum lelaki khawatir akan terkepit di ketiak subordinasi sang wanita. Perempuan berkuasa! Wah, itu membalikkan mitos.
Tak begitu jelas, apakah suratannya memang begitu, atau perkembangan yang memperkembangkan dan diperkembangkan komunitas manusia telah membentuk tatanan sedemikian rupa, sehingga seolah lelakilah warga bumi nomor wahid. Perempuan tidak. Bahkan ada yang menganggap perempuan tak lebih dari segumpal daging yang bisa diperjual belikan, dilecehkan, diinjak, dan dicampakkan.
Padahal, kecuali manusia pertama, lelaki-lelaki berikut yang menghuni planet ini ada karena ada perempuan yang melahirkannya. Toh, tetap saja, kaum lelaki selalu menepuk dada bahwa dirinyalah sang penguasa segalanya.
Kaum ini, sejak berhimpun dalam komunitas Neanderthal maupun sejak era Homo Soloensis, tampaknya memang sudah tampil sebagai simbol keperkasaan. Dengan keperkasaannya itu ia menciptakan aneka perkakas untuk memerkokoh dominasinya, baik atas kekuasaan maupun atas –siapa lagi kalau bukan– lawan jenis.
Perkakas, keperkasaan, kekuasaan dan lawan jenis, tampaknya tak bisa dipisahkan dari sosok seorang lelaki. Bahkan –seperti dalam mitos Yunani– sejak semesta ini masih dihuni para dewa dan dewi-dewi.
Entah mengapa pula, keperkasaan tak cuma diterjemahkan dalam kemampuannya mempergunakan perkakas perang untuk memperkukuh kekuasaan dan menaklukkan serta mengangkangi lawan, tetapi juga dalam memperlakukan kaum perempuan.
Boleh jadi, apa yang disimpulkan Foucault benar. Bahwa tingkah laku seorang lelaki dalam memperlakukan lawan jenisnya, akan memberi cermin pada pola perilakunya dalam menjalankan kekuasaan dan tingkah laku politiknya. Freud malah lebih dahulu melontar kesimpulan, justru pada titik hubungan lawan jenis itulah motivasi segala pola perilaku manusia terletak.
Nah, mungkin karena di titik itu semua impuls tingkahlaku bermula, maka dengan cara itu pula sang lelaki merepresentasikan kekuasaannya.
Jika di medan perang atau di arena bisnis, keperkasaan diukur oleh sejauh mana dia mendayagunakan segala perkakasnya untuk meraih kemenangan dan keuntungan, maka ia pun lantas menganggap pada ‘perkakas’nya pula keperkasaannya tercermin.
Padahal, jika tidak waspada dan terlalu mudah menggunakan perkakas pun risikonya bisa mencelakakan diri. Sudah banyak contoh, bagaimana sang perkasa mengumbar perkakasnya secara membabibuta hingga ia kehilangan kekuasaan atau bahkan kena tulah seperti Oedipus dari Thebes sebagaimana dilukiskan dengan dramatik oleh Sophocles. Atau Sangkuriang (Oedipus dalam versi mitologi Sunda).
Dalam dunia nyata, banyak pula contoh bagaimana para lelaki perkasa jatuh karena terlalu mengikuti kemauan daging, eh perkakas keperkasaannya. Raja-raja Jawa bisa berperang gara-gara berebut perempuan. Segarang-garangnya Adolf Hitler, bertekuk lutut –mungkin lebih tepat, bertekuk pinggang– pada Eva Braun. Begitu flamboyannya Clinton, toh terpeleset oleh kelicinan tubuh Monica Lewinsky.
Orang bilang, tahta bisa rontok karena wanita. Tapi yang sebenarnya –mungkin– karena sang perkasa tak bisa mengendalikan perkakasnya dengan proporsional, sehingga perlu mencari-cari wanita untuk dijadikan media penguji keperkasaannya. Sekaligus media untuk menunjukkan betapa ia bisa menguasai sang lawan (jenis).
Soal ini pun tampaknya sudah berlangsung juga sejak komunitas manusia ini tumbuh. Pada peninggalan-peninggalan kuno, perkakas sang perkasa seringkali disimbolkan secara verbal dan terang-terangan, seolah untuk menunjukkan demikian pentingnya peran perkakas itu dalam kelangsungan hidup peradaban.
Lihat saja candi-candi peninggalan raja-raja purba. Relief atau patung-patung melukiskan secara khusus bagaimana perkakas itu digunakan dan dirawat demi kelangsungan hidup generasi berikut. Sementara ‘relief’ kontemporer muncul dalam bentuk buku teks sejenis Kama Sutra.
Lingga, demikian perkakas itu dinamakan. Patungnya, kadang cuma dalam bentuk sederhana –persis aslinya– tertancap menonjok langit di pelataran sekitar kompleks candi, atau di tempat khusus yang –mungkin dahulu– merupakan tempat ritus yang berkaitan dengan urusan itu.
Kalau pun ada kelompok kasidah bernama Lingga Binangkit di Jawa Barat –yang artinya, maaf… ereksi– tentulah karena grup itu berasal dari kelompok kesenian spesial pengiring upacara perkawinan Sunda. Upacara mengantar lingga yang akan memasuki sarangnya, yoni — media di mana ‘kehidupan’ manusia bermula.
Jadi, bisa dipahami jika kemudian banyak di antara para lelaki melakukan berbagai upaya untuk agar perkakasnya bisa tetap perkasa dalam perang tanding dengan lawan jenis. Sebab pada perang jenis inilah, mungkin, keperkasaannya dipertaruhkan dan dengan demikian ia bisa tetap dominan sebagai sang penguasa.
Tampaknya dalam upaya perburuan keperkasaan ini pula, kemudian para ahli farmasi AS menyusun formula Viagra, yang semula diniatkan untuk membantu mereka yang memang betul-betul terganggu secara fisik, tapi kenyataannya jadi komoditi pasar gelap sebagaimana ekstasi.
Dalam model lokal, para lelaki kita sudah lama mengenal pasak bumi (dan bangunan…. hehehe), kuku-bima, dan macam-macam ramuan tanaman dan dedaunan yang diyakini bisa bikin greng. Bahkan lebih dari itu, mereka pun rela merawat perkakas perang ranjangnya ini secara khusus lewat tangan-tangan dukun, atau melalui resep-resep tradisional hingga cara modern.
Kita tak tahu persis, apakah dengan cara itu keperkasaan seorang lelaki sungguh-sungguh diukur. Sebab, kecenderungan yang paling terlihat dari gejala seperti ini adalah, seakan-akan sang lelaki baru dianggap perkasa jika bisa ‘menaklukkan’ lawan jenisnya berkat kehandalan perkakas perangnya.
Lagi-lagi terlihat, betapa perempuan seakan memang cuma jadi objek penderita dalam proses ‘penegakkan kepercayaan diri’ para pria ini. Padahal, urusan keperkasaan tak melulu berkisar seputar selangkangan, melainkan juga terletak pada kepala alias otak.
Tapi tampaknya dunia — bahkan semesta ini memang telanjur diyakini diciptakan oleh dan merupakan milik para lelaki.
Mungkin itu terjadi karena tuhan pun berjenis kelamin lelaki.
Jika tidak, bagaimana mungkin Maria hamil!
***