AKHIRNYA dua unsur pimpinan (nonaktif) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah, dikeluarkan dari tahanan, Selasa (3/11) malam. Itu adalah antiklimaks tragedi hukum cicak melawan buaya yang selama dua bulan terakhir digelar di hadapan publik.
Klimaksnya terjadi siang harinya di Gedung Mahkamah Konstitusi yang hari itu membuka dan memperdengarkan rekaman telepon hasil sadapan KPK atas telepon Anggodo Widjojo, adik kandung Anggoro Widjojo tersangka yang buron dalam kasus korupsi pengadaan alat komunikasi Departemen Kehutanan.
Banyak orang terpana di depan televisi yang menyiarkan langsung sidang MK hari itu. Rekaman itu terdengar vulgar dan menggambarkan bagaimana sebuah kasus dirancang hingga tawar menawar imbalan kepada pihak-pihak yang terkait dalam sebuah rekayasa hukum atas para petinggi KPK.
Isi rekaman itu meneguhkan dugaan tentang adanya persekutuan jahat untuk membungkam petinggi KPK, sekaligus memaparkan kepada kita bagaimana petinggi di lembaga penegakan hukum –dalam hal ini kepolisian dan kejaksaan– bermain mata dengan pihak yang berkepentingan dengan suatu perkara hukum.
Hal itu sekaligus mengonfirmasi dugaan, kecurigaan, juga keyakinan bahwa selama ini aparat penegak hukum tidak pernah benar-benar menegakkan hukum, melainkan bersekutu dengan pihak yang beperkara untuk menyiasati hukum demi keuntungan pribadi.
Rekaman percakapan itu menambah keyakinan kepada kita semua bahwa praktik mafia peradilan yang selama ini jadi isu dan selalu dibantah penegak hukum, ternyata benar-benar hadir dan nyata adanya.
Tergambar di sana, bagaimana orang seperti Anggodo bisa memainkan peran demikian besar dengan melibatkan para petinggi di kepolisian dan kejaksaan, juga pengacara. Terlukis dengan jelas bagamana dana dikeluarkan dan dialirkan, demi menyelamatkan orang yang seharusnya dipidana dan mencelakakan orang yang justru sedang menegakkan hukum.
Kita terperangah ketika tahun lalu seorang perempuan bisa dengan mudah bermain mata dan bertransaksi perkara dengan orang-orang di Kejaksaan Agung. Kasus jaksa Urip Tri Gunawan mestinya bisa jadi tonggak untuk membersihkan institusi penegakan hukum dari buaya- buaya korup, namun ternyata keadaan justru lebih parah.
Sangat boleh jadi, itulah tamparan paling keras terhadap rezim yang sedang berkuasa. Bahwa selama ini mereka tidak berhasil mengelola institusi penegakan hukum. Bahwa hukum hanya berpihak kepada mereka yang beruang. Reformasi hukum hanya sebatas retorika, tidak pada realita. Dan, hanya menghasilkan oknum-oknum korup yang tak punya rasa malu.
Jika di level atas, para petinggi KPK saja bisa ditelikung oleh rekayasa bertabur uang sehingga kebenaran dijungkirbalikkan, maka bisa dibayangkan apa yang akan terjadi manakala rakyat biasa yang –sengaja atau tidak– harus berurusan dengan hukum?
Dalam masyarakat normal, aparat hukum merupakan sosok yang disegani dan ditakuti karena bisa mengancam orang lain yang mau bertindak di luar hukum. Di Tanah Air kita sebaliknya.
Di sini penyidikan, penuntutan, advokassi, dan keputusan pengadilan dalam setiap kasus, justru sering dijadikan celah terjadinya tindak kriminal di atas perkara kriminal, sepeti korupsi dan kolusi sebagaimana tampak pada kasus Bibit-Chandra maupun kasus Urip Tri Gunawan.
Seharusnya para penegak hukum itu menyadari posisi mereka hari- hari ini di tengah masyarakat yang makin kritis. Dia tak lagi bisa ditipu dan dikibuli oleh aneka rekayasa. Saat mereka tak menemukan kebenaran dari institusi hukum, mereka akan mencari dengan caranya sendiri entah di ruang publik nyata maupun di ruang maya, dan efeknya bisa luar biasa massif dibanding yang bisa diperkirakan.
Kasus Bibit-Chandra versus persekongkolan polisi-jaksa-Anggodo seharusnya menjadi tonggak reformasi hukum yang sebenar-benarnya. Apa yang terungkap dari kasus itu hanya permukaan kecil dari gunung es pemutarbalikan hukum di Tanah Air.
Karena itu, perlu langkah besar kekuasaan untuk membongkar dan membenahinya. Pada titik itulah, presiden –dengan kewenangan dan kekuasaan yang dimilikinya secara konstitusional– bisa melakukan hal itu. Kita tunggu saja! ***