Posts Tagged ‘pramugari

04
Apr
09

Negarawan vs Pramugari

pramugarivsnegarawan

HIRUK-pikuk kampanye yang menyita perhatian publik segera berakhir. Hari ini dan besok, dapat dipastikan para pesertta pemilu akan memanfaatkan kesempatan terakhir mereka untuk membujuk, merayu, dan –kalau perlu– memaksa rakyat, memilih partai dan para calon anggota legislatif mereka.

Di antara ingar-bingar pesta demokrasi yang beritanya menjejali aneka media massa, ada satu peristiwa kecil di negeri tetangga yang mungkin luput dari perhatian karena dianggap “tidak relevan” dengan isu utama di tanah air.

Harian Sydney Morning Herald Australia, dalam terbitan Jumat kemarin mewartakan, Perdana Menteri (PM) Negeri Kanguru itu, Kevin Rudd, meminta maaf pada seorang pramugari yang pernah dibentaknya Januari lalu.

Diberitakan, insiden kecil terjadi dalam sebuah perjalanan seusai muhibah dari Port Moresby (Papua Nugini) ke Canberra dengan menggunakan pesawat resmi milik Angkatan Udara Australia (RAAF – Royal Australia Air Force).

Saat ditawari makan, sang perdana menteri meminta santapan yang tidak mengandung daging. Sang pramugari menjelaskan, saat itu menu yang dikehendaki perdana menteri tidak tersedia. Kepala pemerintahan ini berang, ia membentak sang pramugari. Sang pramugari beringsut dan menangis di kabinnya lalu melapor pada seniornya.

Sekilas tak ada yang istimewa dalam insiden ini. Adalah wajar jika seorang pemimpin pemnerintahan menegur staf  yang sedang melayani perjalanan kenegaraannya. Bahwa staf itu merasa tersinggung, itu pun sah-sah saja dan sangat biasa.

Hal yang menarik dalam insiden ini adalah, baru tiga bulan kemudian sang kepala negara mengetahui bahwa sikapnya telah membuat sang pramugari tersinggung, bersedih, menangis. Karena itu dia meminta maaf.

Pada sisi inilah kita melihat mengapa insiden ini penting disimak dan dijadikan cermin. Ada persoalan menyangkut sikap seseorang terkait dengan posisi dan kedudukannya, manakala berhubungan dengan pihak lain yang jaraknya sangatlah jauh. Seorang kepala pemerihtahan, berhadapan dengan soerang pesuruh. Seorang pemimin negara, terhadap satu di antara rakyatnya.

Dilihat dari posisi hirarkis, sang perdana menteri berhak saja menegur dan membentak pelayan yang dinilainya tidak patut. Namun sebagaimana diberitakan, Rudd segera menyadari bahwa ucapan dan tindakan itu telah melukai seorang pelayan di dalam penerbangan.

Dia mengatakan, sebagai manusia, dia tidak sempurna. Semua orang berbuat kesalahan, termasuk Perdana Menteri. Karena itu, ia menyesal dan minta maaf jika tindakannya telah membuat sedih seseorang.

Tentu saja tak ada tidak tahu, apakah sikap dan permintaan maafnya itu muncul dari lubuk hati yang paling dalam, atau sekadar retorika politik demi menampilkan citra sebagai pemimpin yang humanis. Yang jelas, hal seperti ini sebaiknya yang jadi ciri setiap orang, yakni secara kesatria bersedia mengakui kesalahan dan meminta maaf.

Peristiwa kecil dari negeri tetangga ini kemudian jadi terasa relevan di tengah riuh rendah pesta politik di tanah air hari- hari ini. Kita tengah dilarutkan dalam situasi harus memilih para pemimpin, para negarawan, mulai dari tingkat kabupaten dan kota, provinsi, hingga ke tinkat pusat.

Rakyat di tanah air sudah menyaksikan, bagaimana para pemimpin politik, para petinggi negara yang mendukung dan didukung partai, memamerkan jurus-jurus politik mereka. Kita pun sudah melihat bagaimana para politisi kawakan dan politikus karbitan berlomba jual kecap dan obral janji serta “rayuan gombal politik” untuk memperolah dukungan.

Masa kampanye telah memberi rakyat kesempatan untuk menilai, seberapa tinggi rasa kemanusiaan para politisi itu, seberapa besar sikap kesatria mereka, seberapa dalam komitmen mereka pada kepentingan rakyat.

Masa kampanye juga telah memberi pelajaran kepada halayak, bahwa rakyat tetap terpinggirkan manakala jalanan dikuasai massa partai. Bahwa para petinggi partai itu tetap lebih mementingkan diri dan kelompok mereka ketimbang kepentingan bangsa, kecuali dalam pidato-pidatonya.

Padahal yang sedang dibutuhkan rakyat Indonesia hari-hari ini dan ke depan adalah para pemimpin dan para negarawan sejati, bukan yang cuma pintar omong kosong di atas panggung. **

03
Mei
08

Kartini Abad Kini

 

PEREMPUAN itu melangkah dengan agak ragu sambil menyo­rong­kan tiket dan paspornya ke pramugari. Sang pramugari tersenyum, lalu memintanya menunjukkan boarding pass agar ia bisa atahu di kursi mana penumpang ini harus duduk. “Tiket dan paspornya di­simpan saja, mbak,” katanya.

Rambutnya lurus dengan ujung dibikin keriting, lipstiknya merah menyala, kacamata hitam menutup matanya sementara kabel walkman menjulur dari ku­ping kiri-kanannya. Ia mengenakan rok over-all dari bahan jins biru dengan kaos bulu tebal lengan pan­jang bermotif kulit macan. Sepatunya berhak sangat tebal, dengan kaos kaki warna hitam bergaris-garis merah setengah betis. Jam tangan dengan piringan tebal dan melotot beradu dengan gelang manik-manik warna warni.

Begitu duduk –kebetulan di sebelah saya– di dekat jendela, ditariknya dompet dari ransel kulit kecil, paspornya pun dicabut lagi dari saku ransel, dibukanya. “Aku dari luar negeri nih,” mung­kin itu yang hendak dikatakannya.

Dari dompet panjang dica­butnya amplop, dan ia menarik isinya. Selembar cek bertulisan Huruf Arab dari sebuah bank di Riyadh. Dibolak-baliknya cek itu, se­­­akan ingin menunjukkan, “Urusan gua sudah pakai cek, cing!”. Ia turun di Jakarta dan melanjutkan dengan penerbangan lain ke Surabaya.

Ini mungkin buruh yang baru mudik, pikir saya. Ternyata benar, dari perbincangan sekilas, ia menuturkan sudah setahun bekerja pada seorang saudagar di Riyadh. Ia dizinkan pulang untuk lebar­an, tapi tak akan kembali lagi.

“Kecuali kalau ada ponsor, ‘ana’ pasti berangkat lagi,” katanya. Yang dimaksud ponsor itu, ternya­ta sponsor, penghubung alias calo tenaga kerja yang biasa datang ke desa-desa. Juga ke desanya, katanya sih, di Kediri sana.

Adegan itu teringat kembali ketika beberapa waktu lalu media mas­sa kita dihebohkan oleh kasus Kartini. Kartini yang kita kenal saat ini, tentu saja bukan Putri Je­para yang pikiran-pikirannya dilukiskan –oleh Belanda– cemer­lang dan progresif namun tak berdaya melepaskan diri dari tin­dasan adat yang memberi kebebasan pada suaminya untuk mem­per­laku­kan dia seenak perut dan bawah perut. Lalu diharumkanlah namanya sebagai Putri Sejati.

Kartini abad-21 adalah Kartini dari kampung di Rengas­deng­klok Karawang yang –karena kemiskinan– lantas membiarkan diri diekspor ke tanah seberang, dan terdamparlah ia di Fujairah Uni Emirat Arab.

Kartini diekspor ke sana bersama ratusan, mungkin ribuan, perem­puan lain yang dibetot dari komunitasnya, keluarga, anak dan sua­minya, untuk dipekerjakan sebagai pembantu rumah tangga, kata la­in untuk memperhalus istilah babu dan jongos.

Kartini hamil, atau dihamili, seorang lelaki asal India, dan ia sendirian harus menanggung dosanya. Pengadilan setempat memper­­salahkannya atas kasus perzinaan, dan hukuman untuk tindak pidana itu adalah dirajam sampai mati, sesuai dengan undang-undang setem­pat.

Kerancuan proses penempatan, minimnya mutu dan perlindungan serta kerentanan posisi buruh merupakan titik lemah program penempatan buruh ke Timur Tengah. Terlebih lagi masih ada citra di sebagian masyarakat Arab bahwa pembantu adalah budak yang bisa diperlakukan layaknya sesuka majikan. Oleh karena budak itu sudah dianggap miliknya, mereka bisa melakukan apa saja terhadap budaknya.

Sudah beberapa kali Departemen Tenaga Kerja mengusulkan ke­pada sejumlah negara Arab untuk menandatangani Nota Kesepahaman (MO­U) yang isinya antara lain menyatakan bahwa TKW itu adalah pekerja dan bukannya budak. Tapi negara‑negara Arab itu tidak mau me­nekennya. Artinya, kita tetap tunduk saja pada ketentuan yang mereka berlakukan.

Posisi tawar menawar kita dalam ekspor budak, eh ekspor buruh ini tetap lemah ketika dihadapkan pada kelangkaan kesem­pa­tan kerja di dalam negeri di satu pihak dan peningkatan devisa di pihak lain. Maka dengan penuh semangat kita kirim sebanyak mungkin orang, termasuk yang seperti Kartini, dan ketika kena kasus barulah ribut.

Kartini, dengan keterbatasan berbahasa dan pengetahuan hukum lokal, tentu tak bisa berbuat banyak saat diadili. Bisa jadi, dalam proses persidangan, ia tidak mengerti pertanyaan yang dia­juk­an jaksa karena saat itu ia tidak didampingi oleh penerjemah, dan ia manggut-manggut saja ketika dituding telah berzina.

Kita tentu sepakat, zina adalah perbuatan dosa, dan seorang pen­dosa harus dihukum. Namun kita masih belum mendapat kejelasan, apa­kah kehamilan Kartini me­mang merupakan buah dari perzinaan su­ka sama suka, atau oleh se­bab lain. Misalnya, Kartini tak kuasa menolak atau menghindar dari amuk birahi lelaki yang kemudian me­nye­babkannya hamil.

Persoalannya kemudian adalah, haruskah Kartini mati de­ngan cara dirajam atas ‘dosa’ yang diperbuatnya bersama lawan mainnya itu? Apakah ke­hamilan saja sudah cukup membuktikan bahwa ia berzina dan harus ma­ti karena itu? Apakah orang yang turut me­lakukan perbuatan dosa itu boleh bebas berkeliaran dan lepas dari hukuman?

Dan, masih ba­nyak lagi pertanyaan yang mung­kin muncul, sebelum kita bisa mene­­rima atau menolak pelak­sanaan proses hukum bagi Kartini.

Lepas dari dari legal atau tidaknya Kartini diekspor untuk bekerja di UEA, proses penempatan Kartini merupakan gambaran dari program penempatan buruh Indonesia di mancanegara, khususnya ke Timur Tengah.

Ini juga menguak fakta yang sesungguhnya, bahwa meski zaman per­budakan sudah tinggal sejarah, pada prakteknya kita malah sedang melegalkan perbudakan model baru. Celakanya, sebagaian besar di antara ‘budak-budak’ itu justru berasal dari kaum Kartini, yang –maaf saja– sebagian besar di antara mereka diposisikan sebagai jongos alias babu, atau istilah halusnya pembantu rumah tangga, lebih halus lagi pramuwisma.

Nah, ketika nasib buruk menimpa orang seperti Kartini dan juga Nasiroh, barulah kita tersentak. Pemerintah ribut seakan betul-betul ingin membela seluruh buruh kita yang dikemas dalam pa­ket-paket ekspor tenaga kerja. Namun persoalan sudah ter­lalu rumit sebab kita tidak menanganinya secara benar sejak awal. Ketika muncul kasus per kasus, barulah tindakan penanganan dilakukan sehingga terkesan pemerintah kita membela buruh yang tenaganya diperas untuk meningkatan devisa itu.

Hal yang agak menimbulkan pertanyaan adalah, mengapa pada saat-saat seperti ini para Kartini yang tergabung dalam berbagai lembaga swadaya masyarakat seperti tidak tergerak untuk menun­jukkan peran dan pembelaannya terhadap sesama kaumnya. Ingat ketika kerusuhan Mei, betapa militan para Kartini ini berjuang bahkan bergerilya menolong dan membela, memberi advokasi, dan berdemonstrasi meneriakkan penderitaan para perempuan yang jadi korban kebiadaban amuk massa.

Namun, ketika Kartini abad 21 terpojok di kursi pesakitan nun di negeri seberang sana, hanya sedikit orang di tanah air yang mau bersuara, apalagi memperjuangkannya. Atau ketika mengalami nasib sebagaimana yang menimpa Nirmala Bonat, ( http://curahbebas.wordpress.com)

Padahal, bukan cuma Kartini, Nirmala, dan Nasiroh yang nasibnya tak menentu di tanah seberang (antara 30 – 40 persen perempuan pekerja di sana dilaporkan mengalami perundungan seksual!), sebab di tanah air sendiri masih banyak Kartini lain yang nasibnya harus diper­juangkan. ***

 April 2000Bandung,