KETENANGAN Kota Banjarmasin Jumat, 14/3/2008, disentak oleh peristiwa perampokan di kantor Kas Pembantu Bank Mandiri di kawasan Trisakti. Insiden di siang bolong yang dilukiskan para saksi sebagai dramatis –mirip adegan dalam film laga– itu juga menorehkan catatan buram sebagai tindak kriminal paling brutal yang terjadi di wilayah santun ini.
Sebelumnya, memang pernah terjadi aksi perampokan dengan tingkat kekerasan yang cukup mencengangkan bagi warga Banjarmasin. Misalnya, perampokan atas kantor distributor rokok yang menyebabkan kerugian hampir satu miliar rupiah, pada tahun 2007. Sebelumnya lagi, pada 2005, perampok beraksi di kantor Pegadaian dan menggondol sekitar dua miliar rupiah. Polisi belum berhasil mengungkap kedua kasus tersebut, sampai terjadi lagi perampokan yang lebih brutal.
Dari apa yang dilukiskan para saksi di tempat kejadian, insiden di kantor Bank Mandiri di Jalan Barito Hilir itu menunjukkan aksi para bajingan ini lebih berani dan lebih brutal lagi. Mereka memilih waktu manakala orang-orang berhenti meninggalkan pekerjaan mereka sesaat untuk salat Jumat.
Kawanan ini menyerang menggunakan metode pendadakan, sehingga ketika para korban belum menyadari betul apa yang terjadi, mereka sudah beraksi dengan cepat. Sementara para korban masih terkejut oleh sentakan ancaman kematian, kawanan ini sudah menggondol uang lalu kabur.
Selain menggondol uang dan meninggalkan trauma ketakutan pada para korban, sebenarnya para bandit juga meneror masyarakat sambil sekaligus merampas lagi sebagian rasa aman yang kian hari telah semakin tipis karena terkikis oleh makin sering terjadinya tindak kriminal.
Polisi bergerak cepat, menelisik, menyelidiki, dan mengendus petunjuk-petunjuk apa pun yang mengarah pada pelaku. Mereka juga sudah menyebar sketsa para pelaku. Sketsa yang didasarkan pada ingatan orang-orang yang melihat, dituturkan kepada pelukis, tentu sekadar panduan kasar. Berbeda dengan –misalnyha– gambar hasil rekaman kamera tersembunyi.
Adalah agak janggal jika ternyata kantor kas dari sebuah bank nasioanl berjaringan luas dan termasuk satu di antara bank papan atas ini, tidak dilengkapi alat standar keamanan itu. Apalagi piranti seperti ini kini sudah sangat mudah diperolah dan relatif murah untuk ukuran keamanan industri perbankan.
Alasan bahwa transaksi di kantor bank tersebut tidak terlalu ramai, dan lalu lintas uang tidak terlalu besar, tampaknya tidak bisa diterima nalar. Sebab untuk satu lokasi mesin tunai otomatis (ATM) saja, bank-bank lain selalu menempatkan minimal satu kamera tersembunyi. Gunanya tidak saja untuk merekam orang-orang yang berinteraksi di sekitar mesin itu, melainkan juga merekam aktivitas sejauh daya jangkau kamera tersebut.
Ingat peristiwa pengeboman di Kedubes Australia, bukankah rekaman kamera pengaman dari yang dioperasikan sebuah toko di sebelah Kedubes itu yang menangkap mobil pembawa bom yang melintas nun di seberang jalan, beberapa detik sebelum bom itu meledak?
Besar kemungkinan, ketiadaan alat pantau ini pula titik lemah yang jadi perhatian para bandit, sehaingga mereka memutuskan untuk menyerang. Terbkuti pula, kantor yang tidak “terlalu ramai” transaksi itu “memberi” para bandit satu miliar lebih. Jumlah yang tentu saja cukup besar di masa-masa sulit seperti ini.
Belajar dari kasus-kasus perampokan sebelumnya –ditributor rokok dan kantor pegadaian– semestinya aparat keamanan dan masyarakat bahu membahu saling mendukung dan menjalankan cara apa saja untuk mencegah terjadinya tindak kejahatan. Setidaknya, jika ada kejadian lagi, agak lebih cepat bisa mengenali parta pelakunya dan dengan demikian lebih memudahkan lagi pengungkapan.
Peristiwa Jumat kemarin itu selayaknyalah menyentakkan lagi kesadaran segenap pihak, bahwa keamanan adalah tanggungjawab bersama. Rasa aman adalah milik hakiki setiap warga dalam menjalankan segala aktivitasnya. Memang, ada polisi yang bertugas melayani masyarakat memenuhi kebutuhan rasa aman itu. Namun adalah tugas bersama pula mendukung dan memeliharanya. ***