Posts Tagged ‘reformasi

13
Mei
09

Politik Pamer Amarah

pameramarah

KEMARAHAN. Itulah yang tampak pada pernyataan dan ungkapan tokoh politik –terutama dari Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS)– saat diwawancara reporter televisi, terkait dengan keputusan Yudhoyono menggandeng Budiono.

Berbagai dalih dilontarkan untuk memperkuat penolakan dan ketidakpuasan mereka atas pilihan Yudhoyono dan Partai Demokrat terhadap pendampingnya.

Duet capres dan cawapres dari Partai Demokrat belum resmi diumumkan. Informasi yang sengaja dibocorkan itu kontan meledakkan kontroversi di kalangan peserta koalisi. Para politisi menampilkan wajah aslinya, dan pers mendapat santapan hangat. Dalam tempo singkat kontroversi itu jadi wacana publik.

Disadari atau tidak, informasi yang sedang ditunggu banyak pihak –terutama penggiat politik– itu dialirkan pada awal pekan ini bersamaan dengan peringatan ‘Insiden Mei’ yang jadi puncak reformasi di tanah air.

Dinamika politik hari-hari ini tidak bisa dilepaskan dari apa yang terjadi pada 11 tahun silam saat gerakan reformasi mengantarkan bangsa Indonesia ke gerbang demokratisasi. Suatu kewajaran andai elemen bangsa ini tetap memperingatinya, sekaligus menoleh sejenak ke masa silam untuk memperoleh perspektif yang lebih baik bagi langkah ke depan.

Ingar bingar percaturan politik kekuasaan diselingi pamer kemarahan tokohnya, memalingkan perhatian publik dari momentum reformasi. Padahal momen itulah yang membukakan jalan bagi aktor politik, sehingga mereka bisa mencapai panggung masing-masing saat ini.

Tidak saja di ibu kota yang jadi pusat gempa politik, di sejumlah daerah pun kita melihat kecenderungan yang hampir sama. Saling dorong dan baku tarik pengaruh di antara elite politik, dan antara elite politik dengan pelaksana pemerintahan melalui isu yang tidak langsung menyentuh kepentingan rakyat.

Kita melihat, sebelas tahun pascareformasi ini telah digunakan dengan sangat baik oleh para pendosa untuk menghapus jejaknya. Bahkan kini ada di antara mereka yang tampil sebagai pengawal dan mengesankan diri sebagai tokoh paling reformis.

Rakyat dilarutkan dalam situasi sedemikian rupa sehingga perhatiannya teralih dari agenda reformasi. Keriuhrendahan yang mereka bikin, telah memaksa rakyat melupakan arsitek politik kerusuhan.

Insiden Mei sebelas tahun silam adalah puncak perubahan yang ditandai berbagai kerusuhan yang menewaskan dan ‘menghilangkan’ banyak orang. Hingga kini, tak ada satu pun dari kasus kerusuhan itu yang diselesaikan dengan tuntas.

Di Banjarmasin, misalnya, peristiwa kelam 23 Mei 1997 tak pernah jelas duduk perkara pertanggungjawabannya. Demikian pula insiden 27 Juli 1996 di Jakarta yang kemudian melahirkan PDI Perjuangan.

Peristiwa pelanggaran berat hak asasi manusia seperti yang terjadi di Sambas, Sangau Ledo (Kalbar), Sampit (Kalteng), tragedi Talangsari (Lampung), Wamena (Papua), Kupang (NTT), Ambon (Maluku), Poso (Sulawesi), Aceh, dan lain-lain, juga mengalami nasib sama, seolah sengaja dibiarkan terkubur waktu.

Omong kosong dan silat lidah politik yang dipamerkan elite membuat kita lupa tentang dosa kemanusiaan rezim sebelumnya. Berkat reformasi, rezim pun silih berganti melalui pemilu demi pemilu, namun belum ada perubahan signifikan yang bisa memberi harapan besar dan angin segar kepada rakyat.

Tak satu pun di kalangan petinggi partai yang ingat bahwa posisi mereka sekarang amat ditentukan gerakan demi gerakan yang berpuncak pada reformasi Mei.

Rezim sudah berulangkali berganti, namun banyak hal yang tak kunjung selesai dan seakan sengaja dihapus dari ingatan kolektif masyarakat. Ya, rakyat mungkin bisa dibuat lupa, tapi ingatan sejarah akan tetap mencatatnya.

01
Agu
08

Riwayat Sehelai Jaket

bpostprint.jpg

SEHELAI jaket tergantung di balik rak kaca pada bagian atas dinding depan dalam ruang redaksi di gedung lama Banjarmasin Post. Sekilas mirip jaket satuan tugas (satgas) ormas yang biasanya marak di saat kampanye. Tapi jika dicermati dengan lebih teliti, jaket itu adalah jaket `almamater’ gerakan Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI).

Jelas, penempatan jaket itu di sana bukan tanpa maksud. Bukan sekadar hiasan dan kenang-kenangan romantisme perjuangan mahasiswa, karena mereka yang hilir-mudik berlalu-lalang dan beraktivitas di dalam ruangan itu, hampir semuanya bukan mahasiswa lagi. Sebagian di antaranya malah berusia lebih muda daripada umur jaket tersebut.Bila diurut lagi dari usia pergerakan mahasiswa Indonesia, sangat mungkin pula jaket –yang tampak kusam, tua, dan berdebu karena tak pernah tersentuh oleh petugas pembersih– itu lebih tua empat atau lima tahun dari umur harian ini, Banjarmasin Post: harian terbesar pertama di Kalimantan dan satu di antara sedikit perintis pers nasional yang bisa bertahan hingga kini.

Usia koran ini jelas bukan kanak-kanak lagi, bukan pula remaja yang meledak-ledakkan romantisme perjuangannya secara gegabah. Kalau manusia, pada usia sekarang ini ia sudah mencapai tahap kematangan kedewasaannya, meski mungkin belum sampai pada tahap kebijakan pandita.

Sedangkan untuk sebuah media massa, usia itu adalah perjalanan panjang dari sebuah siklus kerja harian tanpa henti nyaris 24 jam setiap hari dan tujuh hari kerja setiap pekan, saban bulan, sepanjang tahun.

Konsistensi. Itulah salah satu kunci keberhasilan sebuah media, termasuk di dalamnya konsisten terhadap komitmennya untuk melayani khalayak pembaca, konsisten terhadap sikapnya sebagai salah satu pilar demokrasi masyarakat. Hal ini berlaku pula dalam kasus Banjarmasin Post.

Melalui usianya itu pula terlihat bahwa surat kabar ini lahir pada tempo yang nyaris bersamaan dengan bangkitnya kesadaran untuk merombak sebuah tatanan, sebuah ordo yang dianggap tidak sesuai lagi dengan tuntutan kebutuhan masyarakatnya.

Ya, harian ini boleh dikata lahir dari sebuah ordo yang menjungkirbalikkan tatanan lama, sekaligus memposisikan diri sebagai pengontrol ordo yang baru itu sendiri. Namun, celakanya ordo yang melahirkannya itu berkembang tanpa kendali, berubah jadi rezim penindas yang secara otoriter selama sekitar dua pertiga dari 32 tahun usia kekuasaannya.

Apa mau dikata, jangankan Banjarmasin Post — media di daerah yang jauh dari pusat kekuasaan– pada masa itu bahkan media raksasa pun kelimpungan dan kadang harus cerdik berkelit mencari celah aman agar tidak diinjak remuk oleh rezim yang secara sistematis memberangus kebebasan dan memanipulasinya sedemikian rupa lewat aneka regulasi dan `semangat kemitraan’ yang sesungguhnya hanya menguntungkan dan memperkokoh cengkeraman kekuasaan.

Bahwa selama sekian tahun Banjarmasin Post larut dalam kompromi yang kadang `tampak’ begitu intim dengan kekuasaan, itu hanyalah cara agar tidak diberangus dan dengan demikian bisa tetap bernapas supaya dapat terus secara konsisten mengunjungi pembacanya, mendampingi mereka dengan gambaran-gambaran mengenai realitas yang sedang tumbuh dan berkembang melalui kacamata yang tentu beda dengan kacamata penguasa.

Bagaimanapun, dalam beberapa hal, surat kabar ini tetap menjalankan fungsinya mengkritisi perkembangan sosial politik dan budaya yang terjadi di lingkungan di mana ia terbit dan beredar. Sikap kritis yang tampaknya pula dijalankan dengan sangat hati-hati, dengan cara yang tidak langsung menuding dan menonjok, bahkan mencubit pun tampaknya sungkan. Cukup dengan bisik-bisik, toh tetap ada hasilnya.

Periode malu-malu dan serba sungkan yang dijalarkan rezim dari ordo yang baru itu, kini telah berlalu. Dan, Banjarmasin Post lolos dari gulungan badai itu, meski sempat tampak kehilangan orientasi ketika reformasi meledak meluluhlantakkan ordo baru yang sudah lapuk itu. Kedekatan dengan kekuasaan –juga dengan partai yang paling berkuasa saat itu namun ogah disebut partai– membuat media ini sempat sempat agak serba kikuk.

Ini bisa dimaklumi, sebab selama tidak ada reformasi politik menuju ke arah demokratisasi — yang hanya dapat dicapai jika terjadi pelemahan kekuasaan di satu pihak dan terjadi penguatan masyarakat di pihak lain — maka pers juga tidak dapat mengekspresikan peran kontrol sosialnya secara efektif.

Dalam perspektif negara di zaman ordo Soeharto, kecenderungan yang kuat bahwa pers harus mendukung status quo kekuasaan telah mendorongnya memonopoli interpretasi atas regulasi yang diciptakan, bahkan memonopoli interpretasi atas fakta yang seharusnya secara telanjang disajikan. Dan yang lebih parah, memonopoli kebenaran.

Saat itu, perangkat regulasi yang jadi bagian inheren dalam sistem pers yang dibangun, sekaligus merupakan alat pemukul bagi pers yang dianggap merugikan kepentingan status quo. Karena itu, bisa dipahami jika ada masanya Banjarmasin Post seperti terpaksa lebih condong kepada kekuasaan.

Untunglah surat kabar ini segera menemukan kembali keseimbangan dirinya, menghidupkan kembali ruh perjuangan untuk pembebasan sebagaimana yang ditiupkan para perintis dan pendirinya .

Saat inilah kesempatan paling luas untuk segera menempa kembali ruh perjuangan itu agar tetap menggelenyar dalam urat nadi kehidupan para kerabat kerja dan generasi berikut dari pengelola harian ini.

Andai boleh membayangkan, suasana saat-saat ini -tahun-tahun awal pascareformasi– tampaknya tak terlalu jauh dengan saat-saat ketika bayi Banjarmasin Post lahir dari rahim militansi perjuangan para aktivis, menjelang, pada saat, dan setelah kejatuhan ordo yang lama.

Kini ia teah tumbuh dan berkembang dalam gelegak perjuangan menegakkan kebenaran dan memberantas sisa-sisa kezaliman rezim sebelumnya. Ia seharusnya tidak lagi mudah terjebak oleh kekuatan kekuasaan apa pun di luar dirinya, agar bisa dengan leluasa menjalankan fungsi sebagai pendamping masyarakat dalam menempuh arus perubahan, dengan senantiasa menyampaikan kabar, pandangan, dan gambaran yang jujur tanpa prasangka dan jernih tanpa dinodai kepentingan salah satu pihak.

Banjarmasin Post adalah milik masyarakatnya, bukan kepunyaan penguasa, bukan pula milik partai dan bukan, apalagi milik laskar –entah apa itu– yang banyak bermunculan belakangan ini.Karena ia milik masyarakatnya, maka ia akan memegang teguh komitmen pengabdiannya kepada khalayak umum, dari semua golongan, aliran, suku, agama dan ras. Pengabdian itu, juga berarti harus tetap mengkritisi tingkah laku, dan pola perilaku masyarakat serta penguasa yang menjalankan amanat rakyatnya. Pengabdian yang tulus tanpa pamrih, sebagaimana pengabdian para aktivis mahasiswa, ketika mencikalbakali berdirinya surat kabar ini.

Slogan, misi, dan visi pengabdian itulah `jaket almamater’ koran ini untuk menjalani proses di tengah Universitas Kehidupan. Jadi jelas, bukan tanpa maksud orang menaruh jaket KAMI pada dinding ruang redaksi Banjarmasin Post saat berkantor di gedung lama itu. Secara fisik, betul bahwa jaket tersebut sudah tua, kusam, layu dan berdebu. Tapi geletar ruh perjuangannya haruslah selalu menjadi inspirasi segenap pengelola harian ini.

Namun, sejak pindah kantor ke gedung baru berlantai lima, jaket tua “almamater KAMI” itu tak tampak lagi. Entah disimpan di mana. Mudah-mudahan saja spirit dan iman perjuangannya tetap menjalari seluruh awak harian ini. (*)

 

* Yusran Pare Pemimpin Redaksi Tribun Jabar, Bandung, Wakil Pemimpin Redaksi Banjarmasin Post (1998-2000) Catatan: Ditulis ulang dengan penyemuprnaan dari naskah yang dipublikasi 5 Agustus 2000