Posts Tagged ‘semanggi

12
Mei
08

12, 13 dan 23

HARI merangkak terik. Udara kering. Sang Merah Putih terkulai layu di tiang bambu yang berdiri tegak, bisu. Sekuntum anggrek bulan ungu tergeletak di atas batu nisan keramik hitam. Empat anak muda berjongkok, tepekur mengelilingi nisan dalam perenungan masing-masing.

Wajah-wajah mereka kuyu. Tampak letih, mereka berbisik satu sama lain. Tangan-tangan mereka memungut dedaunan dan rantingranting kering di sekeliling nisan. Sejenak kemudian, mulut mereka komat-kamit merapal doa. Begitu khusyuk di tengah keheningan Pemakaman Umum Padasuka, di sisi timur kota Bandung.

Sabtu, 12 Mei 2001. Tiga tahun sudah Hafidhin Royan terbaring di sana. Ya, Oyan –demikian ia biasa disapa– adalah satu di antara empat mahasiswa Universitas Trisakti yang jadi korban ‘revolusi’ Mei 1998. Pada saat yang sama, di Jakarta berlangsung peringatan tiga tahun tragedi itu. Oyan, Herry Hartanto, Elang Mulia Lesmana dan Hendriawan Sie, tewas ditembak aparat keamanan di tengah kekacauan di kampus Trisakti pada 12 Mei 1998.

Peristiwa itu memicu kerusuhan paling brutal dan gelap dalam sejarah pergantian rezim di negeri kita selama ini. Sehari kemudian, huru-hara menelan ibu kota, menewaskan setidaknya 1.000 orang dalam aksi penjarahan, pembakaran, pemerkosaan dan pembunuhan. Hingga kini ratusan orang masih dicekam trauma, ratusan lainnya mencari-cari kejelasan tentang nasib anak, suami, istri, sanak-famili mereka yang hilang sejak kerusuhan itu.

Mengenang tragedi Mei, orang hanya ingat Insiden Trisakti. Bahkan DPR RI membentuk panitia khusus (Pansus) untuk itu. Tapi tak ada yang mengingat ratusan korban yang terpanggang hidup-hidup di dalam mal yang berkobar, atau yang terkapar di pojok gang, dibunuh setelah habis-habisan diperkosa. Kecuali keluarga mereka.

Ada peminggiran, diskriminasi yang tampak sistematis, untuk mengubur mereka dari panggung ingatan sejarah, karena mereka hanyalah orang biasa dan ‘bukan mahasiswa’.

Ya. Diskriminasi. Tak hanya hukum, bahkan sikap masyarakat pun tampaknya dibentuk untuk membangun diskriminasi itu. “Mereka mati terbakar karena –salah sendiri– menjarah. Mereka dijarah dan diperkosa karena –salah sendiri.” Dan seterusya.

Kalau setarap Pansus DPR saja tak bisa berkutik menghadapi tembok-tembok tebal yang menutup dan memagari Tragedi Trisakti, apalagi cuma tangan Ny Ruminah dan Ny Ruyati yang kehilangan anak-anak mereka dalam kebakaran hebat di mal di Klender. Apa pula daya Ny Tan Kian Seng yang kehilangan putrinya yang bunuh diri setelah tiga bulan dirawat di rumah sakit jiwa. Putri bungsunya, berusia 17, itu kacau balau setelah diperkosa dan susunya disayat silet di tengah huru-hara.

Rezim telah berganti. Tapi tak ada upaya serius untuk membuka kasus itu, mengusutnya tuntas hingga jelas siapa yang bersalah, dan siapa di balik semua kekacauan yang memalukan itu.

Jika ibu kota negeri punya luka 12 Mei yang kini berubah jadi borok ketidakjelasan, maka ibu kota Kalimatan Selatan pun seharusnya masih menderitakan luka sosial yang ditorehkan –entah oleh siapa– pada hari Jumat 23 Mei 1997.

Ya, Lebih dari 130 orang tewas dalam amuk massa yang mencabik Banjarmasin. Sebagian besar mayat tak bisa dikenali. Jasadjasad yang sebelumnya berakal budi, bertatakrama, bercita-cita, berkeluarga, dan sebagainya, saat itu berubah jadi onggokan-onggokan hangus atau setengah hangus yang cuma ditandai dengan angka: Nomor 81 sudah diambil, juga nomor 45. Jenazah nomor 48 cuma dikenali dari sabuk dan kolornya yang gosong sebagian.

Saya tidak tahu, apakah Pak Aswin melakukan tabur bunga di gedung Plaza Mitra sekadar untuk mengenang kepergian anak pertamanya yang hilang sejak 23 Mei 1997 itu, sebagaimana Bu Ruyati berziarah di tengah gemerlap komplek pertokoan Citra di Klender Jakarta, juga sekadar pelipur lara mengenang putranya yang hilang ketika mencari anak-anak jalanan asuhannya pada 14 Mei 1998 silam. (http://curahbebas.wordpress.com)

Jika DPR RI membentuk pansus untuk meneliti Tragedi Trisakti, maka saya tidak dengar DPRD Kalsel dan DPRD Banjarmasin membentuk panitia serupa untuk meneliti kembali huru-hara Jumat Kelabu untuk mendudukkan masalah itu pada porsi yang semestinya dalam sejarah kemanusiaan provinsi ini, dan menyeret pihak-pihak yang terlibat untuk mempertanggungjawabkannya secara hukum.

Saya tidak tahu, apakah mereka masih ingat pada peristiwa gelap itu. Peristiwa yang –mestinya– turut pula mengantar mereka ke gedung parlemen saat ini, menduduki kursi empuk di ruangan sejuk. Saya cuma berharap, mudah-mudahan mereka tidak sekadar duduk manis sambil saling berbisik soal fasilitas dan bagibagi kekuasaan.

Saya pun tidak mendengar ada Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di Kalsel –yang biasa getol protes ini-itu– yang coba mendampingi keluarga para korban, memperjuangkan hak-hak hukum dan hak-hak kemanusiaan mereka, menggalang solidaritas, menghimpun kekuatan dalam suatu ikatan untuk terus menerus mengingatkan pemerintah dan para elit setempat bahwa masih ada luka yang harus disembuhkan.

Sebaliknya, tidak di ibu kota, tak juga di daerah, saya melihat kecenderungan yang hampir sama. Saling dorong dan baku tarik pengaruh di antara para elit politik, dan antara elit politik dengan pelaksana pemerintahan melalui isu-isu yang tidak langsung menyentuh kepentingan rakyat. Saya melihat periode pascareformasi ini digunakan dengan sangat baik oleh ordo para pendosa untuk menghapus jejak-jejak kesalahannya.

Rakyat dilarutkan dalam situasi sedemikian rupa sehingga perhatiannya teralih dari agenda reformasi, dan hanya melihat bahwa penguasa saat ini linglung, bobrok, uzur, tak mampu, dan sebagainya, sehingga harus dibetot paksa.

Keriuhrendahan yang mereka bikin, telah membuat kita lupa pada para arsitek politik kerusuhan. Hiruk pikuk yang mereka timbulkan, telah membuat kita lupa tentang siapa sesungguhnya yang bertanggungjawab atas tragedi 12 Mei 1998, tentang tokoh di balik Jumat kelabu 1997, tentang sutradara sinting drama penyerbuan kantor PDI pada 27 Juli.

Buih-buih omong kosong yang mereka pompakan telah membuat kita lupa tentang dosa-dosa kemanusiaan rezim sebelumnya berikut antek, kroni, dan partai berkuasanya.

Ya, kita mungkin bisa dibuat lupa, tapi ingatan sejarah akan tetap mencatatnya. ***

 

Bandung 140501

28
Jan
08

Perginya “daripada” Soeharto

 daripada.jpg

Duka Cita Virtual

SETELAH  menjalani perawatan intensif selama 24 hari di Rumahsakit Pusat Pertamina (RSPP), Jakarta, mantan presiden kedua RI, HM Soeharto akhirnya mengembuskan napas terakhirnya, Minggu (27/1) pukul 13.10. Orang kuat di era orde baru itu meninggal dalam usia 86 tahun.

“Telah wafat dengan tenang Bapak HM Soeharto pada pukul 13.00 WIB di RSPP. Semoga amal beliau diterima dan diampuni dosanya,” ujar Ketua Tim Dokter Kepresidenan, Dr Mardjo Soebiandono, dalam keterangan resminya kepada wartawan.

Jumpa pers meskipun berlangsung singkat, hanya lima menit, terasa mengharukan. Mata tim dokter berkaca-kaca. Tiga anak Soeharto, Siti Hardiyanti Rukmana (Mbak Tutut), Siti Hediyati (Mbak Titik) dan Sigit Harijudanto ikut bersama tim dokter. Mata ketiga anak Soeharto itu sembab. Bahkan Tutut tak kuasa membendung air matanya.

“Asragfirullah…astagfirullah…astagfirullah.., inna lillahi wa inna illaihi roji’un,” kata Tutut, suaranya terus terisak, di RS Pertamina. Namun suasananya juga terhidang di setiap ruang keluarga, di rumah makan, di tempat hiburan, di kafe, dan di mana pun yang ada televisi dan televisinya dihidupkan.

Pemerintah menetapkan masa berkabung selama tujuh hari sejak kepergian Sang Jenderal Besar ini. Upacara perkabungan dan pemakamannya menyita perhatian, karena seluruh media massa nasional, terutama televisi dan media online, berusaha menyiarkan secara realtime sejak “Raja” Orde Baru ini masuk rumah sakit (lagi) hingga ke detik-detik penguburan.

Sepanjang hari Munggu dan Senin, perhatian publik tersita ke Ruma Sakit Pertamina, Jalan Cendana, nDalem Kalitan, dan Astana Giribangun. Tidak semata pada bagaimana suasana duka menyelimuti keluarga, siapa saja yang datang menjenguk dan melayat, bahkan hingga bambu dan kayu yang digunakan dalam pemakaman, sampai ke aspek mistis. Semua seolah menjadi sesuatu yang harus disampaikan kepada publik.

Era informasi telah membuat dukacita ini jadi dukacita yang mengharu-biru semua orang, seolah menindih kesusahan dan dukacita nyata yang sedang dialami oleh orang-oranga itu sendiri terlepas dari siapa dan apa pun peran dia dalam hidup keseharian.

Tepat sekali apa yang disampaikan Yasraf Amir Piliang, realitas sakit dan kepergian Pak Harto kini menjadi citra duka publik di dalam layar elektronik. Naik turun detak jantung Pak Harto seakan menjadi naik turun detak jantung publik; harap-cemas para dokter seakan menjadi harap-cemas publik; komat-kamit doa keluarga kini menjadi komat-kamit doa publik. Dan, kepergian Pak Harto kemudian membangun sebuah ruang ”publisitas” duka, keprihatinan dan doa.

Teknologi informasi tidak saja mampu memindahkan informasi dengan kecepatan tinggi dan secara real time, tetapi juga mampu memberi pembesaran efek sehingga duka diri kini menjadi duka setiap orang.

Akan tetapi, citra visual itu tidak selalu merupakan cermin realitas. Citra-citra ”dipilih” untuk satu tujuan tertentu. Mengambil foto berarti membingkai (to frame) dan meminggirkan (exclusion), yaitu menyembunyikan realitas-realitas lain dari mata publik.

Narasi visual Pak Harto yang terbaring sakit hingga wafat dan kemudian dimakamkan dalam sebuah prosesi yang kolosa, dibingkai bersama narasi-narasi visual masa kecil, kegigihan, keberanian, dan kepahlawanannya sehingga menggugah empati di hati publik.

Publik seakan diajak untuk melupakan –sejenak atau selamanya– tentang persoalan-persoalan nyata yang juga membelit mereka, meringkus semua anak bangsa. Lupa bahwa masih banyak duka cita yang belum dan dituntaskan. 

Kita pun seolah lupa, bahwa bahwa kita pernah membiarkan seorang mantan kepala negara meninggal dalam kesunyian setelah dicengekeram sakit tanpa perawatan memadai di sebuah wisma. Kita mungkin memang telah melupakan kepedihan ditinggal pergi tunas-tunas bangsa dalam aksi penembakan membabi-buta dalam insiden Trisakti dan insiden Semanggi.

Kita lupa terhadap kepedihan orang-orang yang ditinggal mati oleh suami, isteri, anak, menantu, kerabat, sanak, famili, sahabat, yang dihabisi dalam huru-hara menjelang bangkitnya rezim orde baru. Kita lupa, pada dukacita dan trauma yang dialami korban-korban kerusuhan 13-14 Mei 1998. Lupa pada kepedihan para keluarga korban 27 Juli 1996.

Soeharto telah pergi, 27 Januari 2008. Rezimnya sudah tumbang  sepuluh tahun silam. Tapi rezim berikutnya, mulai dari Habibie, Gus Dur, Megawati dan kini  Susilo bambang Yudhoyono, tampaknya terlu sibuk dengan diri masing-masing. Para politisinya pun tak kalah seru baku rebut pengaruh, posisi, dan publisitas.

Entah kapan mereka akan menoleh pada kepentingan keluarga orang-orang hilang, keluarga Munir, keluarga Udin,  keluarga para mahasiswa yang tewas ditembaki saat menyuarakan aspirasi rakyat, ribuan keluarga lain yang kehilangan anggotanya oleh sebab yang tak jelas di Aceh, Lampung, Serang, Singkawang, Sambas, Banjarmasin, Situbondo, Sampit, Poso, Ambon, Papua dan masih banyak lagi.

Selamat jalan, Jenderal Besar! ***