Posts Tagged ‘syamsuddin noor

27
Des
07

Maafkan Saya, Mang!

awan2.jpg

BERITA duka itu datang sesaat setelah saya mengaktifkan telepon genggam begitu turun dari Lion Air di Bandara Syamsuddin Noor, Banjarmasin, Senin (17/12/2007). “Mang Cepi telah pergi siang ini. Innalillahi wainna ilaihi rajiun” demikian pesan singkat dari istri saya di Bandung.

Tjeppy Rachmansyah, kami memanggilnya Mang Cepi, boleh jadi merupakan orang yang pertama memperkenalkan saya –secara tidak langsung– ke dunia jurnalistik. Saya ingat betul, ketika masih di SMP (di Ujungberung), saat liburan biasanya saya habiskan di Cijagra, Buahbatu, di Komplek Wartawan.

Mang Cepi sudah bekerja sebagai wartawan Gala (saya lupa, apakah saat surat kabar itu sudah terbit harian atau masih mingguan). Seringkali ia mengajak saya ke kantornya di sebuah gedung tua di Jalan Asia Afrika, berseberangan dengan Gedung PLN, tak jauh dari Gedung Merdeka. Sering saya menungguinya mengetik. Sering pula dibonceng sepedanya mengantar kope (maksudnya, copy, naskah hasil ketik yang sudah dicorat-coret kode editing), ke percetakan.

Melalui dia pula, perlahan-lahan saya mengerti bagaimana seorang jurnalis bekerja. Ia sering mengajak saya untuk menemaninya dalam perjalanan mencari bahan tulisan. Dengan sepedanya — tentu saya dibonceng– kami menelusuri pojok-pojok Bandung. Sekali waktu, misalnya, dia mengajak saya menyusuri jalan setapak sampai tiba di sebuah ceruk yang oleh penduduk setempat dinamai Leuwi Goong.

Di situ ada jembatan yang di atasnya membentang rel kereta api (jurusan Bandung Ciwidey — jalur ini sudah tidak aktif). Di bawah jembatan beton itu terdapat sebuah lorong melengkung, yang ternyata dihuni seorang perempuan tua. (Sekarang, jembatan itu masih ada, lorongnya juga digunakan penduduk untuk semacam pos ronda), tapi kiri-kanan, depan-belakang sudah padat-dat-dat oleh permukiman).

Bandung pada tahun 1971-72 belum sepadat hari-hari ini, belum banyak tuna wisma. Jadi, mungkin (menurut pikiran saya saat ini) agak mengherankan jika ternyata ada seorang perempuan yang bertahun-tahun hidup di kolong jembatan kereta, di pinggiran kota, jauh dari kepadatan perkampungan. Karena itu, Mang Cepi menemuinya.

Saya menemani Mang Cepi ngobrol panjang lebar dengan perempuan tua itu, sampai kemudian dirasanya cukup. Lalu ia memotretnya. Beberapa hari kemudian, kisah ibu ini –lengkap dengan potretnya– muncul di halaman 1 GALA, bagian bawah (saya mengenalnya kemudian sebagai tulisan feature yang ditempatkan sebagai anchor/angker halaman).

Saya ingat, ketika ngobrol dengan perempuan tua itu Mang Cepi tidak menulis (apalagi merekam — alat macam ini belum populer) apa pun, karena tidak membawa catatan. Anehnya –bagi saya– cerita yang ditulisnya di koran persis sama dengan apa yang jadi topik obrolan antara dia dengan perempuan tua itu. Saya masih kanak-kanak, jadi tidak menimbrung percakapan. Cuma pendengar dan penyaksi.

Begitulah, pertemanan antara paman dan keponakan ini berlangsung terus sampai masa-masa sesudahnya. Baik ketika saya di SMEA (Sumedang), maupun setelah jadi mahasiswa. Di waktu-waktu luang, Mang Cepi seringkali mengajak saya jalan, menemaninya ke kantor, dan menungguinya bekerja. Atau menemaninya Jumatan di mesjid yang berbeda-beda pada setiap Jumat.

Sebagai wartawan, pergaulannya luas. Yang saya tangkap, Mang Cepi bukan termasuk wartawan salon yang lebih sering keluar masuk kantor pemerintah dan mengutip pernyataan-pernyataan birokrat. Ia adalah orang lapangan tulen, yang selalu menjelajah untuk menemukan bahan-bahan yang kemudian dilalorkannya di koran.

Tulisannya enak dibaca. Deskripsinya kuat. Jika membaca tulisannya, kita seolah jadi bagian dari cerita, seperti sedang menyaksikan dan turut serta hadir dalam peristiwa yang dikisahkannya. Pergaulan lapangannya yang luas membuat dia akrab dengan berbagai orang di dari berbagai lapisan masyarakat. Mulai dari tentara hingga birokrat, mulai dari preman, perempuan terpinggirkan, hingga waria.

gala-gala-anSaya ingat, dia pernah membuka rubrik tetap pada harian GALA, isinya mirip-mirip Jakarta Undercover-nya Bandung versi akhir tahun 70-an. Rubrik itu dijudulinya Dunia Lain Wanita Kita berisi kisah-kisah manusiawi yang sarat human interest, dari kehudupan remang-remang yang terpaksa dijalani sebagian kaum perempuan.

Kecerdikannya menggunakan data-data dan fakta-fakta, serta memanfaatkan jaringan pergaulannya yang luas, membuatnya mampu menuliskan kisah-kisah kaum perempuan yang terpinggirkan itu tanpa ia harus “ambil bagian” sebagai pelaku di dalamnya. Ceritanya jadi kisah yang humanis. Tidak terjebak pada sensasi selera rendah.

Terus terang, banyhak hal yang diam-diam saya serap dari dia yang kemudian –tanpa saya sadari– saya gunakan manakala menulis. Karena terpicu olehnya saat-saat saya di SMP, maka ketika di SMEA saya menerbitkan GEMA, majalah sekolah (stensilan) tiga bulanan. Di perguruan tinggi (Uninus), saya mengaktifkan majalah kampus (WARTA) yang kemudian jadi penyemangat berdirinya Fakultas Ilmu Komunikasi di universitas itu, hingga kini.

Dengan jurus-jurus menulis yang saya serap dari Mang Cepi pula, saya menulis feature kisah lucu mengenai dua mahasiswi Malaysia yang jadi anggota rombongan kunjungan ke kampus ke Unpad.

Tulisan itu merupakan karya pertama saya (bukan sebagai wartawan), yang ketika dikirim ke redaksi Bandung Pos, langsung dimuat kesokan harinya tanpa ada perubahan editing satu titik pun. Mulai dari judul, “Nama Saya Kamsiah! Gerrr… Mahasiswa Unpad Pun Tertawa” hingga titik akhir tulisan!

Jadi, bisa di bilang, Mang Cepi telah menuntun saya ke dunia jurnalistik. Disadarinya atau tidak, dia telah menjadi inspirasi dan mengajari tanpa menggurui. Ia jadi patron di awal-awal saya memasuki dunia kepenulisan.

***

awan11.jpg

AKHIR November 2007 tiba-tiba saja saya dikejutkan kabar bahwa ia terkena stroke dalam perjalanan dari Garut. Padahal, ketika terakhir kami berjumpa saat lebaran, ia masih seperti biasa, ceria dan ramai berkisah. Ia pencerita yang ulung, tidak saja dalam tulisan, tetapi juga dalam bertutur.

Begitu mendapat kabar tersebut, kami buru-buru menuju rumah sakit MMC di ujung tol Padaleunyi, Cileunyi. “O, Pak Cepi baru saja pulang, tadi pukul empat,” kata perawat. Kami datang sekitar 30 menit lebih lambat. Berarti, sudah pulih. Tak terlalu parah, begitu pikir saya.

Beberapa hari kemudian saya kontak Dani, adik saya. Mengajaknya bersama-sama menjenguk Mang Cepi di rumahnya. Kami sepakat menjenguk pada hari Minggu 9 Desember. Hari-hari itu, sejak tanggal 6 Desember, saya dan istri sedang bolak-balik ke Rumah Sakit Immanuel Bandung, menjenguki rekan sekerja, Lina Maliana, yang kritis digerogoti kanker.

Minggu pagi, datang kabar, mang Cepi dirawat di RS Al Islam, Jalan Soekarno Hatta. Kami buru-buru ke rumah Dani (tak jauh dari RS itu) menjemputnya untuk sekalian menjenguk Sang Paman. Ternyata, keliru. Mang Cepi bukan dirawat di RS Al Islam, tapi di RS Al Ihsan, Baleendah.

Ketika kami menengoknya Minggu siang itu, dia sudah tak berdaya. Tubuhnya terbaring di ruang ICCU Rumah Sakit Al Ihsan, Baleendah, Bandung. Matanya kosong seperti menatap lorong ketiadaan. Selang penopang hidup bersaling-silang. Tak ada yang bisa kami lakukan.

Esoknya, muncul kabar dari dr Tessa –putri sulung Mang Cepi– bahwa kondisinya sudah stabil. Tinggal pemulihan. Hari-hari itu, kami sedang larut dalam kesedihan. Lina, sahabat saya di kantor, dan akrab dengan istri saya, pergi untuk selamanya Minggu senja menjelang magrib. Hari-hari berikutnya saya masih sempat mendapat dua kabar via SMS dari Tessa mengenai pekrembangan sang ayah.

Senin pagi 17 Desember, saya berangkat dari Bandung menuju Banjarmasin via Jakarta. Tiba di Banjarmasin menjelang sore (WIB kira-kira pukul 14.00), saat saya turun dari Boeing 737 900 ER itulah sms kabar duka mengenai Mang Cepi masuk.

Inna lillahi wainna ilaihi rajiun. Segala yang berasal dariNYA, semua kembali kepadaNYA. Deg! Ada rasa bersalah, karena tak bisa menengoki dan menungguinya kala ia terbaring sakit. Bahkan, saat ia pergi pun saya yak bisa mengantarnya. Maafkan saya, Mang. ***