Posts Tagged ‘the venetian

01
Jun
10

Langit Palsu Macau, Ws..ws..ws!

STADION di dalam gedung? Ya, ini mungkin cuma di kota tiruan Venesia di Macau. Selain arena judi mahaluas dan pertokoan serbalengkap, di bagian lain dalam gedung ini ada pula stadion dengan kapasitas 15.000 tempat duduk. Stadion ini pernah jadi tempat pertandingan eksibisi NBA dan pertandingan tenis antara dua pemain terkemuka Roger Federer dan Pete Sampras.

Dibangun dengan dana 2,4 miliar dolar AS (sekitar Rp 22 triliun), Venetian Macau Resort Hotel menawarkan replika kota air Venesia, Italia, lengkap dengan gondola (sampan khas Venesia) dan pengemudi yang selalu melantunkan nyanyian riang.

Nuansa Venesia dengan kanal dan gondola ditampilkan Venetian Macau dalam areal yang mereka sebut Grand Canal Shoppes di lantai dua. Seperti namanya, ini areal pertokoan dan restoran di tepi kanal. Saat ini Grand Canal Shoppes berisi 350 gerai, 30 restoran fine dining, dan food court dengan 1.000 tempat duduk.

Usai beristirahat sejenak, kami segera bergabung dengan ribuan manusia dari berbagai negara menyusuri kota kecil dalam gedung besar ini. Begitu tiba di lantai dua yang disebut Canal Shoppes, saya tercengang lagi. Udara cerah, langit senja ditandai awan berarak. Padahal, rasanya tadi di luar sudah menjelang malam.

Tiga gondola mengangkut pasangan penumpang-pasangan penumpang mengarungi kanal ditingkahi kecipak airnya yang bening. Dengan 108 dolar Hong Kong setiap orang bisa menikmati ayunan sampan khas ini selama 15 menit menyusuri kanal. Sementara sang pengemudi mengayuh sambil bernyanyi bak seorang tenor dalam opera. Waktu seakan berhenti di sini.

Rupanya, kapan pun kita berada di areal itu, konsep waktu memang tak diperlukan. Entah pagi, siang, sore, atau tengah malam, yang terasa adalah suasana senja. Demikian pula, saat di luyar sana panas terik, hujan, atau bahkan badai sekali pun langit Canal Shoppes tetap saja langit sore yang cerah.

Grand Canal berada di lantai dua dari The Venetian yang berlantai 32, namun terasa seperti berada di kompleks pertokoan di pinggir kali di ruang terbuka dengan langit berawan bersepuh semburat jingga senja.

Ya! Langit itu memang buatan. Sejatinya ia adalah langit- langit lapisan bawah kubah gedung ini yang direkayasa melalui kecanggihan teknologi. Tampaknya, warna dasar langit-langit ini putih, kemudian disoroti cahaya yang merefleksikan senja berawan cerah.

Uang telah membuat segalanya jadi mungkin. Menjiplak kota, meniru sungai, juga memalsukan langit, untuk mendatangkan uang yang lebih banyak lagi.

***

SELAMA ini banyak orang berpikir, kalau mau belanja pergilah ke Hong Kong. Mau cari untung lewat judi, datang saja ke Macau. Kini, The Venetian tidak saja menggabungkan dua hal itu melainkan memadukan nyaris segala aspek kebutuhan hedonis.

Bagi mereka yang tak suka judi dan tak punya cukup uang untuk shopping ia juga jadi tempat nyaman untuk sekadar cuci mata, jalan-jalan. Kalau sekadar kehausan, tinggal turun ke arena judi, ambil segelas minuman dan camilan. Gratis.

Jika pun kelaparan, tak perlu susah. Tak kurang dari 30 restoran dengan mudah ditemui di sana. Jika ingin yang harganya miring, datang saja ke pusat jajan serbaada (food court) di tepi kanal. Segala macam masakan khas ada di sana. Mulai dari nasi goreng Indonesia, makanan Malaysia, Korea, Thailand, Jepang, India dan seterusnya.

Usai bersantap, kami melanjutkan jalan-jalan di ‘kota’ dalam gedung raksasa ini. Keluar-masuk gerai yang menawarkan barang- barang bermerek.

Kami sedang berjalan sambil bercengkerama ketika dua perempuan muda, usianya sekitar 20-25 tahun, menjejeri langkah kami, menoleh dan tersenyum. Lalu berbicara cepat dalam nada rendah setengah berbisik. Mendesis-desis, kedengarannya seperti sedang mengatakan, “Wes ewes ewes? wes ewes ewes…?”

Kami saling tatap, bingung menangkap lafal Inggrisnya yang tidak biasa bagi kami. Selain itu bahasa Inggris kami –terutama saya– ancur banget. Maka rekan seperjalanan dari Jakarta mencoba mengambil alih percakapan, karena dia yang paling fasih dan paling sering bepergian ke berbagai negara.

Ternyata was wis wes desisannya tadi adalah bagian dari rangkaian kata sapaan yang disambung penawaran. “Massage? Massage…? (yang terdengar seperti masas, masas, masas)” Rupanya perempuan muda dan temannya ini menawarkan jasa pijat.

Seorang teman yang sudah tiga kali ke Venesia tiruan ini mengatakan, pijat adalah tawaran awal yang lazim digunakan para perempuan penghibur di sana. Layanan lebih dari itu, tentu saja tergantung negosiasi.

Demikian pula dengan dua perempuan muda tadi. Ujung- ujungnya, ia menawarkan layanan khusus. Pijat yang paripurna dengan plus-plusnya, komplet sampai tuntas. “Beri saya seribu dolar dan kita selesaikan urusan sampai tuntas di kamar Anda..” kira-kira begitu katanya sambil tersenyum penuh arti.

Ia pun meremas telapak tangan rekan seperjalanan saya saat menyalaminya. Rupanya ia menyelipkan secarik kertas berisi nomor telepon. “Hubungi saja nomor ini begitu Anda siap. Saya langsung ke kamar Anda…” katanya sambil berlalu. Halah! (*)