MAGRIB masih hampir satu jam lagi, saya gopoh-gapah turun dari kantor Banjarmasin Post. Saya ajak seorang rekan untuk ‘berburu’ kue di Pasar Wadai, di sepanjang jalan tak jauh dari depan Mesjid Raya Sabilal Muhtadin, tepi Sungai Martapura. Hari-hari ini , untuk kesekian kalinya saya mengalami suasana Ramdan di Banjarmasin, Kota Seribu Mesjid.
BOLEH jadi, paduan antara hasrat mengumbar nafsu (makan) de-ngan suasana eksotis Pasar Wadai, telah membuat suasana depan mesjid terbesar Banjarmasin itu jadi sangat spesifik.
Riuh rendah orang menawarkan dagangannya bercampur dengan padatnya lalu-lalang –untuk belanja atau sekadar cuci mata buang waktu me-nunggu buka — sementara udara disesaki karbon monoksida dari ra-tusan knalpot mobil dan sepeda motor. Di sisi lain, raungan mesin klotok, sesekali ikut meningkahi senja yang penuh warna itu.
Bagi saya, suasana inilah yang menarik. Bahwa sambil jalan-jalan kemudian mampir ke satu dua kedai penjual wadai, itulah yang barangkali diharapkan oleh para pedagang. Berkat Pasar Wadai, saya mengenal dan menikmati rasa putri selat dan bingka kentang serta bingka tapai. Karena perburuan di pasar itu pula, saya sempat mencicipi nangka susun bahkan sari muka yang menurut saya, rasanya gimana … gitu.
Suasananya persis seperti yang saya rasakan ketika untuk pertama kalinya mengalami Bulan Ramadan di Palembang. Hampir tiap menjelang magrib, saya mengajak –lebih tepat minta diantar– teman untuk berburu makanan di Pasar Beduk.
Sama dengan Pasar Wadai yang pernah –entah apa sebabnya– diinggriskan jadi Ramadhan Cake Fair, maka Pasar Beduk (ini sih nggak diterjemahkan ke bahasa Inggris) digelar di tanah lapang juga di sekitar komplek Mesjid Sultan Badaruddin II, Palembang.
Situasinya mirip, mulai dari aneka makanan tradisional yang langka, hingga ayam goreng ala Kolonel Sanders dari Kentucky lengkap dijaja.
Empek-empek sudah pasti ada. Tapi, makanan ini sudah terlalu populer dan dengan mudah bisa kita dapat di kota sendiri, meski memang –setelah diicip-icip betul– rasanya jauh berbeda dengan yang asli Palembang.
Toh, lewat Pasar Beduk saya kenal apa yang disebut burgo yang gurih, lembut dan nyaman di perut. Atau kue model, bahkan cincau kucur yang ternyata tak jauh berbeda dengan es cincau.
Makanan-makanan khas macam ini, di kota tempat tinggal saya kini, di Bandung, juga ada. Tapi tidak dijaja di pasar khusus di sekitar Mesjid Agung sebab tempatnya memang sudah habis oleh pedagang kaki lima. Sementara di Yogya, saya memburu makanan-makanan khas ini di sekitar komplek Kauman.
Namun perburuan yang paling terasa menantang adalah perburuan makanan khas buka puasa di Kupang, Pulau Timor. Di samping makanan-makanan khas itu memang sangat jarang didapatkan pada hari lain, suasana kota itu sendiri sangat ‘menggoda’ mereka yang menjalankan ibadah puasa.
Selain udara kota yang panas sengangar –pada pukul 17:00 pun matahari masih terasa melotot garang dan sinarnya menusuki ubun-ubun– secara umum komunitas Muslim amatlah sedikit sehingga tidak cukup mewarnai suasana Ramadan.
Toh, seperti di Banjarmasin dan Palembang, di Kupang pun ada pekan kue selama Ramadan. “Pasar” ini berpusat di sekitar Mesjid Raya Baitul Qadim. Mesjid pertama — didirikan tahun tahun 1806– dan terbesar di Kupang ini terletak di Kampung Airmata. Karena itu, pasar wadai –eh, bursa kue Bulan Ramadan– di sini pun kemudian dikenal sebagai Pasar Airmata.
Pasar, sengaja saya beri tanda kutip (“) karena memang berdiri begitu saja di beranda atau di depan rumah-rumah penduduk. Mungkin hanya dengan memajang satu meja kecil, atau bahkan kursi, sebagai tempat kue-kue dan makanan dijajakan. Belakangan, sudah banyak orang menggunakan gerobak dorong, dan lokasi penjualan meluas ke tepi jalan raya depan kediaman Walikota.
Teman saya, Dion, bilang, Airmata diambil sebagai nama kampung dari sungai kecil (lebih tepat disebut kali) yang bermuara di Teluk Kupang. Konon sih, daerah itu dahulu merupakan tempat pembuangan para tahanan politik yang sering memberontak terhadap penjajah. Bahkan seorang pejuang asal Kalimantan, Sultan Abdurrachman Al Qadri dari Pontianak, disebut-sebut dibuang hingga wafat di sini.
Berkat Pasar Airmata inilah saya mencicipi kalesong, lopis, dan serabi kua. Atau, kue bendera, dan bajongko. Tapi, tentu saja tak ada orang jual sopi atau moke, sebab minuman khas setempat ini mengandung alkohol yang kadarnya relatif tinggi. Setidaknya, langsung menyambar jika disodori korek api yang menyala.
Seperti biasa, begitu menjelang mag-rib, saya ajak seorang teman ke Airmata untuk berburu. Seperti di Pasar Wadai dan di Pasar Beduk, sambil menyusuri jalan yang di kiri kanannya ada kedai-kedai dadakan itu, kami mencari makanan-makanan tradisional yang menurut saya aneh untuk dimakan pada saat berbuka puasa kelak.
Namanya orang puasa, pada jam-jam kritis –antara lepas tengah hari hingga menjelang senja– itu rasanya segala makanan hendak ditampung, disiapkan untuk berbuka. Nafsu purba begitu serakah memandu tangan memilih aneka kue, makanan kecil, sampai ‘makanan berat’ seolah semua akan bisa ditampung lambung yang sudah tipis digosok sakit maag ini.
Tampaknya begitu pula yang dilakukan oleh banyak pemburu wadai lain. Oleh kita semua. Kita cenderung kemaruk pada suatu saat, misalnya pada saat berpuasa, sehingga seolah-olah hanya kita sendirilah yang lapar, dan kelaparan itu akan tuntas ditutup oleh jejalan aneka makanan yang kita cari dan kita siapkan, kalau perlu bahkan sejak matahari terbit.
Puasa, juga menunjukkan, bahwa pada kala tertentu orang tampil sebagaimana aslinya dengan kerakusan purbakalanya, sehingga bukan dirinya yang mengendalikan hawa nafsu –sebagaimana dimaksudkan oleh nilai puasa– melainkan nafsunyalah yang mengendalikan dia sehingga menyebabkannya jadi serakah. Lupa pada sesama di sekitarnya. Lupa bahwa orang lain juga menderitakan hal sama, merasakan kelaparan yang sama, merasakan kesakitan dan kesedihan yang sama dengan yang bisa kita rasakan.
Mungkin karena keserakahan macam itu pula bangsa kita tak juga kunjung reda dirundung masalah. Belum selesai satu persoalan, muncul soal baru yang lebih rumit dan menyengsarakan rakyat kecil.
Kita menikmati buka puasa dengan hidangan dan kue-kue yang berlimpah yang dibeli di Pasar Wadai, di Pasar Beduk dan di Pasar Airmata, di Food Court di mall-mall, di restoran cepat saji, dan sejenisnya, sementara banyak anggota masyarakat kita yang justru sahur pun tak sempurna karena makanan mereka tak cukup.
Seakan memang sudah lazim bahwa kita cenderung lebih mencitnai harta benda duniawi dan bernafsu untuk menguasainya sendiri tanpa peduli orang lain. Kita cenderung ingin menikmati sendiri kelezatan-kelezatan duniawi macam itu, sehingga macam-macam pasar tetap ramai. Pusat-pusat belanja tetap sesak dikunjungi meski –kata orang– bangsa kita sedang dilanda krisis.
Puasa memberi pelajaran sangat berharga pada saya, bahwa sebanyak apa pun wadai dan kue yang saya beli dengan penuh hasrat di Pasar Wadai, Pasar Beduk dan Pasar Airmata, ternyata tak pernah bisa saya habiskan sendiri.
Lapar dan dahaga –yang tampaknya membuat nafsu terangsang untuk berbuat tamak– sepanjang siang hingga senja pada bulan puasa, ternyata sudah cukup dipenuhi hanya oleh segelas air hangat dan sepotong kecil kue. Sesudah itu, makanan-makanan lain tampaknya tidak lagi menarik.
Setiap menyantap hidangan berbuka, saya selalu gelisah dan diam-diam memaki diri karena belum juga bisa berbuat banyak pada orang lain.
Saya sadar, sementara saya bersukacita menikmati buka puasa, di tempat lain ada banyak saudara saya yang dirundung duka dan berlinangan airmata karena hidup mereka demikian sengsara. Apakah dilanda bencana, diharu-biru amuk massa, dinodai, dilecehkan dan diintimidasi sesama. (yusran pare))