Posts Tagged ‘wiranto

09
Jul
09

Berkat Angka-angka

angka-angka

BETAPA besar jasa penemu angka. Coba kalau umat manusia tak menemukannya, hari-hari ini tak akan ada yang terus dipelototi, dikomentari dan dianalisa.

Ada sekian ratus juta pemilih yang 8 Juli 2009 memilih satu di antara tiga pasang calon presiden dan wakil presien. Hasil akhir dari kalkulasi angka-angka itu menentukan siapa yang jadi pemimpin negara. Luar biasa!

Setiap warga negara yang memenuhi syarat memilih, bebas menentukan pilihannya. Mungkin ada yang memilih lebih dari satu. Malah, siapa tahu ada yang sengaja tidak memilih. Namanya juga demokrasi. Nah, jumlah pemilih yang telah menentukan pilihannya itulah yang kini sedang ditunggu-tunggu.

sempoaHari ke hari, jam demi jam, angkanya berubah terus. Hampir semua stasiun televisi menyajikan angka-angka itu sebagai menu khusus dan sedemikian penting, sehingga ditampilkan dalam bentuk running text, ditayangkan secara berkala.

Media cetak tak mau ketinggalan, juga memuat angka-angka (jumlah pemilih) yang diperoleh calon pemimpin bangsa ini. Sampai Rabu senja, beberapa jam setelah pemilihan berlangsung, angka-angka itu terus jadi bahan perbincangan.

Sementara, angka untuk pasangan Susilo Bambang Yudhoyono – Budiono berada di urutan teratas. Angka bagi dua pasangan lainnya hampir imbang saling susul.  Sejauh ini pemilihan presiden berlangsung lancar, aman dan damai.

Dilihat dari peta perolehan suara yang tercermin pada angka-angka hasil hitung cepat sejumlah lembaga independen, tampaknya pemilihan presiden tidak perlu sampai dua putaran. Meski tentu saja hasil hitung cepat bukanlah hasil sesungguhnya.

Angka-angka yang tampil semata merupakan indikasi dari sejumlah sample atau contoh yang dianggap relevan. Apa yang tampak dari angka-angka yang tiap saat berubah itu pada akhirnya adalah cermin nyata dari suara rakyat.

Bahwa ada ketidakpuasan dan ada insiden yang dianggap sebagai tanda kecurangan, tentu harus dibaca sebagai dinamika sebuah proses politik yang langsung melihat secara nyata rakyat di seluruh penujuru Tanah Air.

Tentang apakah hasil itu memuaskan atau mengecewakan elite politik, itu persoalan mereka sendiri. Hari-hari ini kedaulatan sepenuhnya milik rakyat, dan itu telah ditunjukkan di tempat pemungutan suara.

Kita belum tahu persis, apakah angka seperti yang tergambar pada hasil hitung cepat itu akan sejalan dengan hasil akhir perhitungan suara yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Yang jelas, publik menangkap ada gerak dan bentuk baru yang berbeda dari pemilu sebelumnya.

Ada kebebasan untuk memilih, dan keleluasaan untuk mengetahui –melalui angka-angka– peran mereka dalam menentukan pemimpinnya. Apa yang tampak dari angka-angka itu makin menegaskan bahwa rakyat kita kini lebih leluasa menentukan sendiri calon pilihannya tanpa harus terikat oleh loyalitas kepada partai.

Penegasan dukungan oleh elite parpol kepada pasangan capres tertentu, ternyata tidak serta merta diikuti konstituen di akar rumput. Jika mau mengalkulasi dengan hitungan matematis dan statistik, maka pilpres sudah selesai dan pemenangnya sudah jelas diketahui.

Tapi, politik di Indonesia tidak mudah dikalkulasi secara matematis, sebab ada begitu banyak variabel yang tak terduga dan bisa menjadi faktor penentu yang membuat 2×2 tidak mesti sama dengan 4.

Begitu pula dalam konteks pemilihan presiden kali ini. Segala gerak-gerik, taktik, tarian, akrobat, bahkan intrik politik sudah dilakukan jauh sebelum hari pemilihan. Namun rakyat toh tetap bebas melakukan apa yang mereka kehendaki, termasuk memilih pemimpinnya.

Tanda-tanda awal, sudah terbaca lewat angka-angka yang terus mengalir dari seluruh penjuru Tanah Air.  Siapa pun yang akhirnya terpilih sebagai presiden, itulah pilihan rakyat. ***

17
Mei
09

Tiga Kandidat

genderang_perang_kalla-mega-sby

GENDERANG sudah ditabuh. Pertarungan dimulai. Tiga kandidat akan maju ke arena pemilihan presiden pada Juli 2009. Pekan lalu agenda politik nasional yang dipadati aneka spekulasi dan kontroversi, ditutup oleh atraksi formal pendaftaran para calon presiden dan wakilnya ke Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Di antara pasangan kandidat itu adalah presiden dan wakil presiden yang kini menghabiskan sisa masa baktinya, namun maju ke arena pemilihan presiden dengan bendera berbeda. Ada mantan presiden, ada bekas perwira tinggi militer, dan ada ilmuwan.

Dari tiga pasang calon presiden dan wakil presiden itu tidak tampak tokoh dari partai, golongan, maupun kelompok yang dianggap sebagai representasi dari kekuatan religius. Di masa sebelumnya, komposisi nasionalis-religius selalu menjadi acuan kepemimpinan nasional. Di samping, paduan unsur Jawa dan luar Jawa yang kini pun tidak menjadi persoalan.

Paduan nasionalis-religius (terutama Islam), memang tak lepas dari fakta historis. Pemilu 1955 menunjukkan terjadi pertarungan ideologi antara kubu Islam yang diwakili Masyumi dan NU, dengan kubu nasionalis diwakili PNI, serta kubu komunis diwakili PKI.

Namun tampaknya perdebatan ideologi politik antara kaum religius dengan nasionalis itu sudah kehilangan roh. Hal itu tampak pada pemilihan presiden 2004-2009, yang akhirnya dimenangkan pasangan Yudhoyono-Kalla yang ‘hanya’ mencerminkan ideologi nasionalis.

Demikian halnya dengan wacana paduan unsur Jawa versus luar Jawa. Pada pemilihan presiden kali ini tampaknya sudah tidak terlalu menjadi persoalan betul, karena dari tiga kandidat pasangan calon presiden dan wakil presiden itu, hanya satu yang betul-betul mencerminkan ‘luar Jawa’.

Apakah kecenderungan itu menunjukkan bahwa arena politik kita sudah lepas dari primordialisme agama dan kesukuan, sehingga hari-hari berikutnya bangsa kita berpolitik secara jernih? Tentu saja, belum tentu!

Namanya juga politik. Segala hal bisa terbolak-balik, bahkan dalam hitungan detik. Yang semula kawan, bisa mendadak menjadi lawan. Begitu pula sebaliknya, sebagaimana tampak pada perilaku politik para elite menjelang pencalonan presiden kemarin.

Akal sehat publik dipaksa menerima realitas ‘perkawinan’ antara partai yang pernah ditindas, dengan partai yang dipimpin tokoh yang menjadi bagian dari penindasnya. Atau dua partai tiba-tiba bergabung, padahal yang satunya adalah sempalan dari partai asal. Bagaimana pula partai yang tokohnya murka dan mengumbar amarah karena usulnya tak diakomodasi, tiba-tiba melunak dan langsung menghablur ke dalam persekutuan.

Namun bangsa Indonesia tentu cukup cerdas untuk menilai tingkah laku para elite politiknya, sehingga tidak akan mudah dikibuli omong kosong para politisi dengan jargon dan retorikanya.

Mereka sudah melihat bukti nyata hasil kerja para politisi kita di masa sebelumnya. Korupsi jalan terus, komunikasi politik sarat dengan bagi-bagi kursi. Kekerasan dan intoleransi tumbuh di mana- mana. Politik jadi penuh nafsu, bukan lagi sarana untuk menjalankan amanah. Itulah yang tampak dari hari ke hari, bahkan sampai menjelang pencalonan presiden dan wakil presiden.

Kini, fase paling menentukan sudah dilalui. Rakyat sudah diberi tiga pilihan. Terlepas dari kelebihan dan kekurangan masing- masing, tiga kandidat pasangan pemimpin nasional itu adalah putra-putri terbaik yang bersedia mengorbankan kepentingan pribadinya demi bangsa dan negara.

Siapa pun yang nanti terpilih, itulah pilihan terbaik. **

15
Apr
09

Sri Hayati dan Megawati

srigantung

HAMPIR semua media massa kemarin menyiarkan berita dan gambar pertemuan tokoh partai politik di kediaman Megawati Sukarnoputri. Mereka mengikrarkan persekutuan, menggugat hasil pemilihan umum, sekaligus menyatakan berada di seberang partai yang diperkirakan memenangi pemilu, yang juga akan bersekongkol dengan partai lain simpatisannya.

Pada potret yang disiarkan surat kabar, wanita ketua umum sekaligus calon presiden dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) itu tampak tersenyum lebar. Bersama tokoh itu, Megawati bergenggam tangan dan mengangkatnya tinggi-tinggi, menyatakan persatuan dan kebersamaan.

Sementara itu di Banjar, Ciamis, Jawa Barat, Sri Hayati (23) caleg yang sedang hamil ditemukan tewas tergantung di sebuah gubuk di tengah sawah.  Banyak yang meyakini, Sri memilih bunuh diri daripada harus menanggung malu karena tidak akan terpilih sebagai anggota parlemen.

Ia memilih meninggalkan suami dan keluarga serta kerabatnya, daripada harus menghadapi kenyatan bahwa rakyat yang dia ingin wakili ternyata tak memilihnya.  Dua peristiwa itu menarik disimak untuk melihat bagaimana orang menyikapi hasil –sementara– pemilu kali ini.

Di Jakarta yang jadi episentrum gempa politik nasional, petinggi partai dan tokoh politik nasional menyikapi kekalahan dengan cara buru-buru membangun koalisi, persekutuan, persekongkolan, dan apa pun namanya, untuk secara bersama-sama menentang, menggugat, bahkan melakukan perlawanan, terhadap penyelenggara pemilu.

Bersamaan dengan itu mereka menjadikan ‘pemenang’ pemilu dan sekutunya sebagai musuh bersama. Lawan politik yang harus dihadapi pada posisi berlawanan (oposisi).  Tarik menarik pengaruh jadi makin kuat. Dua kubu yang berbeda makin terang-terangan menancapkan kesan bahwa mereka lah kelompok atau partai yang terbaik memimpin bangsa ini.

Apa yang dipentaskan aktor besar politik itu hanya makin memperkuat kesan publik, bahwa dalam politik tidak pernah ada persekutuan maupun permusuhan yang kekal. Tidak ada konsistensi sikap dan nyaris tidak ada kejujuran.

Hal seperti itu tampak jelas pada dua pemilu sebelumnya. Pada Pemilu 1999 misalnya. Saat pemilihan presiden masih dilakukan MPR, muncul fraksi yang dengan amat militan menggalang koalisi untuk mengganjal Megawati -ketua partai pemenang pemilu- untuk menaikkan Gus Dur sebagai presiden. Koalisi itu pula yang membetot Kiai Ciganjur ini dari istana.

Demikian halnya pada Pemilu 2004. Pemimpin partai besar berangkulan dalam koalisi kebangsaan untuk menghadang laju Yudhoyono pada pemilihan presiden.

Toh, persekutuan ini buyar 45 hari kemudian, ketika aktor dari PPP tiba-tiba melakukan imkprovisasi politik persis pada saat yang menentukan siapa yang akan memimpin parlemen.

Intinya, aktor besar politik selalu menunjukkan kapasitas dan kepiawaiannya berakting manakala kepentingan mereka mulai terancam, memperlihatkan keahlian mereka mempraktikkan jurus silat lidah yang canggih. Tak peduli apakah jurus lidahnya itu menjilat ludah sendiri atau menjilat pihak lain yang dianggap bisa memperkuat posisinya.

Berbeda dengan Megawati, Prabowo, Wiranto, Yenny Wahid, maupun Puan Maharani. Politisi pemula seperti Sri Hayati dari dusun Langkaplancar, Ciamis, Jawa Barat itu tak punya keterampilan akting maupun jurus ampuh untuk melakukan akrobat politik manakala menyikapi kekalahannya.

Ia merasa tak berharga ketika warga tidak percaya kepadanya. Ia tak punya kemampuan retoris untuk menjelaskan kegagalan itu kepada suami, orangtua, saudara dan tetangga. Ia malu karena ternyata tidak terpilih.

Rasa malu. Inilah yang membedakan Sri dengan para politisi  tingkat tinggi. ***