Posts Tagged ‘zakat

26
Sep
08

Kembali ke Titik Udik

MUDIK. Hari-hari ini, itulah yang menandai kesibukan di berbagai kota. Apalagi pemerintah memberi dispensasi cuti bersama –termasuk dua libur resmi– yang pada prakteknya mungkin bisa sampai 10 atau 15 hari. Atau malah seperti diramalkan banyak pihak, situasi akan betul- betul “pulih” baru selepas pergantian tahun nanti.

Hari-hari ini Semua potensi, berbagai sarana dan fasilitas pendukung dipersiapkan sedemikian rupa oleh pemerintah agar mereka bisa melayani masyarakat yang akan mudik dan kembalinya lagi nanti. Meski memang jadi tampak agak lucu, di saat rakyat butu pelayanan prima, pada saat yang sama para pegawai negeri menikmati libur panjang.

Bahkan presiden turun langsung ke Nagreg –jalur paling rawan antara Bandung- Garut/Tasikmalaya– mengecek kesiapan lapangan. Belakangan, mantan presiden juga ikut- ikutan meninjau lapangan. Alasannya sih –konon– untuk melihat berbagai kemungkinan karena pihaknya akan memberangkatkan pemudik dengan ratusan bus dari Jakarta.

Demikianlah, sekali dalam setahun penduduk Indonesia yang sudah telanjur bertumbuh kembang di hilir, mengalir balik ke arah hulu, ke titik udik. Entah untuk sekadar kangen-kangenan, atau memang memerlukan semangat baru dari pelataran budaya asal, dari negeri asal-usul, sebelum kembali melanjutkan perjuangan di kota besar tempat selama ini mereka berjibaku.

Kampung halaman, tempat di mana kultur kaum urban berakar, mungkin memang menyimpan nilai-nlai luar biasa besar pengaruhnya sehingga bisa membuat orang rela berdesak-desakan antre untuk sekedar mendapatkan tiket kereta api, bus, atau lainnya. Atau nekat bertarung dengan garangnya situasi jalanan demi menembus kerinduan ke sutgu titik di udik sana.

Ritus kembali ke kampung halaman ini kadang-kadang memunculkan fenomena yang bertentangan dengan akal sehat. Saban tahun kita selalu melihat bagaimana orang justru sudah tidak lagi peduli pada yang lain. Saling sikut, saling injak, berebut kesempatan lebih dulu di jalanan, atau saat masuk bus, kereta api, kapal laut, dan pesawat.

Di sisi lain, kegairahan mereka yang merayakan hari kemenangan pertempuran rohani lewat puasa sebulan penuh, dimanfaatkan dengan begitu baik oleh kalangan pebisnis untuk merangsang pola konsumtif yang meledak-ledak.

Suasana lebaran tampaknya selalu jadi ajang di mana orang merasa harus meningkatkan arus belanjanya secara berlipat. Tak cuma toko makanan dan pakaian yang mendadak laris setiap bulan ramadan, bahkan para penjual mobil, sepeda motor, alat elektronik yang kadang kegunaannya dalam hidup keseharian tidak berada pada urutan kebutuhan primer, mendadak jadi barang yang laris.

Inilah fenomena yang selalu terpampang di depan mata setiap saat ramadan hingga menjelang lebaran di sejumlah kota besar di negeri kita, yang selama ini membanggakan diri sebagai negeri dengan mayoritas penduduk muslim.

Bayangkan, jika saja potensi dana pemerintah dan dana dari masyarakat mayoritas yang begitu berlimpah ini dikelola dengan baik lalu dialirkan untuk pengembangan dan pembangunan masyarakat, hasilnya tentu akan sangat fantastis.

Tapi tampaknya yang namanya manusia tetap saja selalu terkurung oleh naluri dasar manusiawi kemanusiaannya yang kadang sangat tak peduli pada manusia lain. Bahkan pada saat tertentu, kalau perlu, memakan dan menindas manusia lain demi kepuasan duniawi sendiri.

Karena itulah hari-hari ini kita masih menyaksikan, bagaimana orang-orang kecil yang sudah tertindas justru makin berkembang jumlahnya dan makin terimpit keadaan. Bahkan sekadar untuk menerima belas kasihan orang kaya yang ingin berzakat pun, ia harus berada di celah pagar antara hidup dan mati sebagaimana terjadi di Pasuruan.

Atau bagaimana ribuan orang tertipu oleh iming-iming arisan lebaran sebagaimana terjadi di Bogor, Cimahi, dan Bandung sementara di senayan wakil mereka pating pelengos malu-malu (sekaligus memalukan), megakui atau menepis atau pura-pura tidak tahu ada uang milyaran rupiah mengalir ke pundi-pundi mereka.

Di tempat lain, jika rakyat baku himpit berebut sedekah puluhan ribu perak, atau bantuan langsung tunai ratusan ribu perak, maka para pembawa acara dini hari di televisi –sambil cengangas-cengenges– membagi-bagi uang jutaan rupiah lewat pertanyaan-pertanyaan bodoh.

Aneh atau tidak, itulah sepotong parodi di tanah air di antara segala tetek-bengek kesibukan menuju titik udik. (*)

23
Sep
08

Parodi Pasuruan

SENIN 15 September 2008 mestinya jadi hari hitam, hari berkabung, tidak saja bagi warga Pasuruan Jawa Timur, melainkan bagi siapa pun penduduk negeri ini yang punya hati nurani. Ya, di tengah terik siang hari bolong, sang maut menderu-deru mencabuti nyawa orang-orang miskin yang sedang berharap dapat percikan sedikit harta dari seorang dermawan.

Hari itu, juga menandai parodi paling dramatis di tanah air, ketika rakyat harus baku desak hingga jatuh bergelimpangan dan satu persatu meregang ajal demi uang Rp 30.000 rupiah, sementara di Jakarta, Gedung Parlememen tempat wakil-wakil raykat bercokol “basah kuyup” oleh semburan uang sogok, bernilai miyaran rupiah!!

Jika rakyat harus mati tergencet luapan massa hanya untuk tiga lembar puluhan ribu perak, maka wakil mereka paling pelengos malu-malu (sekaligus memalukan), megakui atau menepis ataui pura-pura tidak tahu ada uang mengalir ke pundi-pundi .. eh, rekening mereka.

Jika rakyat baku himput berebut sedekah puluhan ribu perak, atau bantuan langsung tunai empat ratusan ribu perak, maka para pembawa acara dini hari di televisi –sambil cengangas-cengenges- – membagi-bagi uang jutaan rupiah lewat pertanyaan-pertanyaan bodoh. Aneh atau tidak, itulah sepotong parodi di tanah air kita hari-hari ini.

Tersentuh dan mungkin “tersakiti” oleh insiden itu, seorang sahabat saya, Adityas Annas Azhari wartawan Tribun Jabar menulis begini:

Tragedi Kemiskinan

KITA baru saja melihat tragedi kemiskinan di bulan suci ini. Niat baik seorang pengusaha kaya raya untuk menyebarkan zakat kepada orang tak berpunya justru menjadi mimpi buruk bagi si miskin yang akan menerimanya. Sedikitnya 21 orang (miskin) tewas terinjak-injak atau kurang oksigen akibat berebut zakat dari pak haji di Pasuruan.

Pascareformasi ini sebenarnya badan-badan amil zakat telah membuat berbagai fasilitas untuk membayar zakat. Lembaga-lembaga seperti rumah zakat, dompet dhuafa, dan sebagainya telah membuat program jemput zakat dan transfer zakat.

Orang kaya cukup memindahkan sejumlah uang dari handphone-nya melalui phone banking ke rekening lembaga zakat. Atau mereka tinggal minta lembaga zakat itu mendatanginya untuk mengambil uang. Urusan pembagian zakat serahkan saja pada lembaga itu karena mereka pasti sudah tahu sasaran mana saja dan bagaimana mengelola zakat itu.

Masalahnya sekarang adalah ketidakpercayaan, kesombongan, ketidaktahuan (kebodohan) dari si kaya terhadap lembaga zakat itu, dan mungkin juga lembaga zakat dengan teknologi yang memudahkan belum menjangkau kota kecil semacam Pasuruan. Hal ini yang membuat tragedi orang miskin berdesak-desakan untuk mendapat uang/bantuan menjadi pemandangan setiap tahun menjelang lebaran di hampir setiap kota di negeri ini.

Persoalan lainnya adalah mental mengemis alias ingin selalu diberi. Mental ini kemudian cenderung dipupuk para elite sehingga membiarkan orang miskin menjadi pengemis di mana-mana, khususnya di kota-kota besar. Para orang miskin itu pula dengan mudah digiring untuk beramai-ramai menerima sumbangan yang ujung-ujungnya dipolitisasi demi kemenangan politik atau bisnis dari elite atau parpol.

Coba saja, mengapa tak ada ketegasan dari pemerintah pusat atau daerah yang mengeluarkan aturan, “Dilarang keras membagi-bagikan sembako, uang, atau zakat secara massal kepada orang-orang miskin.” Atau ada aturan, pembagian zakat, bantuan, dan sumbangan harus disalurkan melalui lembaga resmi yang terdaftar dan teraudit.

Akibat tidak ada aturan tegas ini mental saweran terus terjadi di mana-mana. Ini menjadikan masyarakat miskin sangat bergantung pada pola bantuan yang didistribusikan secara massal. Pola bantuan seperti itu justru tidak efektif mengentaskan kemiskinan.

Ironisnya lagi, para politisi dan saudagar kaya negeri ini tetap saja tak malu menghambur-hamburkan uang demi meraih kursi kekuasaan di parlemen atau sekadar memopulerkan namanya.

Mental feodal yang ingin disembah-sembah dan dianggap penting oleh para jelata masih menghinggapi para elite negeri ini. Banyak tokoh ingin dianggap dermawan di mata masyarakat atau bawahannya.

Akhirnya, Tragedi Pasuruan, Senin (15/9), membuat kita harus mengkritisi paparan pemerintah yang menyebut angka kemiskinan cenderung turun berdasarkan data Biro Pusat Statistik (BPS). Di saat minyak tanah dan gas elpiji langka, harga bensin naik, dan harga-harga sembako makin menggila menjelang lebaran, pantaskah kita yakin bahwa kemiskinan terus menurun? (*)