5a2.jpeg 

AKHIR-AWAL – Foto bersama, sesaat setelah pemutusan hubungan kerja (PHK) kami di Mandala. Proyek persda di Bandung ini hanya bertahan kurang dari satu tahun. Ketidaksesuaian antara pihak yang bekerja sama (PT Mandala di satu pihak dan Persda Kompas di pihak lain) menyebabkan karyawan kehilangan pekerjaan dan mengakhiri harapan sebagai jurnalis Mandala. Dari sini, titik awal saya bergabung dengan proyek-proyek persda berikutnya. Sebagian besar di antara teman yang terekam pada foto itu, masih berkarya di bidang pers, baik di lingkungan Kompas-Gramedia, maupun di luar.

Duduk di deretan depan, kiri ke kanan. Sjuaibun Iljas (kini kembali ke ranahnya sebagai fotografer profesional dan dosen fotografi), Indah Soepraba (kini jadi petinggi sebuah perusahaan public relation – Fortune), Nanik Saiman (kabar terakhir, bermukim di Bali), saya sendiri, dan paling kanan adalah Rachmad Haryanto (kini bekerja di harian Surya, Surabaya). Deret kedua duduk kiri ke kanan, Hidayat Gunadi (kini di Gatra), Fitriandini (kabar terakhir dia bekerja di majalah Dewi) Reni Rohmawati (Redaktur di majalah Angkasa), Rully Kesuma (Redaktor Foto, TEMPO), Giyarno Emha (Redaktur di kelompok majalah Gramedia).

Deret ketiga kiri ke kanan, berbaju kotak-kotak, saya lupa lagi namanya, designer grafis bersama Iwan Sulwan (bertopi di belakang dia). Kemudian yang bercambang bauk, Doddy Barnas (kini di Warta Kota) , Johnson Simanjuntak (wartawan Persda Network), Andry M Dhani (kini wartawan Tribun Jabar di Ciamis), Endang (kalau tak salah Triwahyuni— kini dosen di Surabaya), Tatang Suherman (berkaos kuning dengan jaket warna hijau army — kini di Wartakota). Dua paling belakang, kiri ke kanan, Archadius Tavip Pancoro (kabar terakhir dia bekerja di Global TV), dan Mustafa Fatah (kini Pemimpin Umum/Pemred Garoet Pos di Garut Jawa Barat).

Ada beberapa teman yang tidak ikut “sesi foto bersama” ini. Di antaranya, Agus Setiawan (kini di radio Deutsche Welle), Agus Hadisujiwo Tedjo (kini jadi dalang, setelah sempat jadi wartawan KOMPAS), Rakarjan Sukarjaputra (KOMPAS), Taufik Abriansyah (Gatra), Djahar Muzakir Saad (Warta Kota), Ioes Priady (Bisnis Indonesia)

SAYA mulai bersentuhan ke dalam Keluarga Besar Kompas-Gramedia pada 1989 ketika Persda menggandeng Mandala, sebuah surat kabar daerah di Bandung. Sebelumnya, saya sudah 10 tahun bekerja sebagai wartawan di, Bandung Pos. Suatu hari, Bang Her Suganda menelpon, “Yus, kamu masih betah kerja di situ?” Dan, hidup saya pun beruabah.

Saya –mungkin juga kawan-kawan, saat itu– sangat merasa ikut berbangga, gembira, haru, dan penuh harap ketika pada dini hari menyalami Bang Hers, yang matanya berkaca-kaca ketika edisi perdana Mandala mulai dicetak.  Kami merasa sedang memasuki era baru penerbitan di Jawa Barat.

Tapi, saya dan teman-teman akhirnya hanya bisa pasrah ketika dihadapkan pada realitas bahwa ‘kerja sama’ dengan institusi pers daerah seperti itu ternyata tidaklah mudah. Bahkan berakhir dramatis sembilan bulan kemudian: Kami kehilangan pekerjaan justru ketika kami mulai larut dan jatuh cinta dalam dinamikanya.

Sakit. Tentu saja. Saya tak berani menatap Bang Hers, saat ia –kali ini dengan berlinangan air mata– menyalami kami, melepas kami, setelah seremoni singkat ‘PHK massal’ di Kantor Kompas Bandung. Upacara PHK massal itu dipandu Raymond Toruan, pimpinan Persda, didampingi tim pengacara yang dipimpin Rudi Lontoh. Seluruh adegan itu, sampai saat ini masih kerap terbayang, ibarat kita menyaksikan kembali film lama yang diputar ulang.

Memang, kami tak ‘dipecat’ begitu saja, sebab masih diberi kesempatan untuk disalurkan ke berbagai perusahaan di bawah Kelompok KG. Karena itulah ‘pensiunan dini’ Mandala kini tersebar di berbagai tempat. Ada yang di Kompas, ada yang di Surya, di Angkasa, Citra, Sriwijaya Post, dan lain-lain. Saya sendiri saat itu memilih gabung ke Bernas –koran Yogya yang ‘digandeng’ Kelompok KG tahun 1990.

Belajar dari drama Mandala, saya sudah menyiapkan hati dan perasaan untuk tidak kecewa jika kemudian terjadi apa-apa. Dan kenyataannya memang begitu. Dua tahun kemudian, Mas Pramono BS, Mas AM Dewabrata, dan Mas Trias Kuncahyono ditarik pulang ke Markas Besar Kompas di Palmerah. Karyawan dan wartawan ‘pendatang’ seperti saya juga disebar lagi ke berbagai tempat.

Toh ada yang sangat berbekas dari pelajaran yang saya peroleh di Bernas pada periode itu. Yakni, pengalaman dengan mas Trias dan Mas Agoes Widhartono mengelola dan mengembangkan GEMA (sebuah rubrik tetap yang melibatkan anak-anak SMA dalam dinamika jurnalistik dan berbagai aspeknya).

Sangat berkesan karena anak-anak SMA yang aktif di GEMA sebagian di antaranya kemudian berhasil membangun kehidupannya sendiri. Ada yang jadi penulis dan editor buku (AA Kunto dan Femi Adi), ada wartawan (Luki Aulia, Emmy Kuswandari), ada fotografer profesional (Kristupa W Saragih), ada ahli IT (Valens Ryadi), ada aktivis LSM (Julia Vignesvara/Aceh, Florence I Pattipeilohi/Dili – Timorleste), ada pebisnis (Henky Dewanto, Firman Marpaung, David R Adhi) , ada akademisi (Punto), ada pula yang jadi dokter (Yuditya Purwosunu/Tokyo), dan calon diplomat (Esti Rahayu/Washington DC) dan lain-lain.

Bulan Februari 1993, Mas Mamak Sutamat, Direktur Kelompok Persda pengganti Raymond, mengirim saya ke Sriwijaya Post, Palembang. Di sana, saya berguru kepada Bob Hutabarat. Saya tinggalkan keluarga saya di Yogya, dan bertolak ke Palembang. Akibatnya, kalau mudik –pas lebaran, misalnya– kami bertemu di tengah-tengah (di Bandung). Selesai lebaran, bubar lagi. Saya ke Palembang, istri ke Yogya. Karena begitu merepotkan, akhirnya saya titipkan anak-istri kepada mertua di Bandung. Saya berjanji dalam hati tidak akan memboyong dahulu keluarga, sebelum betul-betul yakin tempat bekerja itu ‘aman’.

Ternyata pengalaman buruk Mandala terulang di Sriwijaya Post dalam bobot yang berbeda. Koran ini ‘ambruk’ di tengah kejayaannya pada tahun 1995 ketika jaring-jaring kepentingan politik dan individu berhasil memaksakan diri masuk dan menyebabkan terjadinya pembusukan dari dalam. Saya baru pertama kali merasakan bagaimana bekerja menyiapkan sajian untuk publik, di bawah tekanan, intimidasi, dan kebrutalan teman-teman sendiri yang demikian kalap. Inilah ‘mimpi’ paling buruk yang pernah saya alami.

Mas Pramono BS (yang menggantikan Bob Hutabarat) dan Mas Moch S Hedrowiyono (yang untuk kali kedua memimpin Sriwijaya Post setelah Mas Pramono), serta Mas Sugeng Hari Santoso mungkin malah merasakan hal yang lebih buruk.

Karena situasinya sudah tidak rasional dan tidak bisa dikendalikan lagi, saya ditarik ke Jakarta untuk kemudian dikirim ke Banjarmasin, memperkuat jajaran redaksi Banjarmasin Post mitra baru Kelompok KG di Kalimantan Selatan. Namun entah bagaimana, belum sebulan di sana, Persda sudah menarik pulang saya.

Belakangan, saya baru tahu bahwa pemimpin redaksi, Purnama Kusumaningrat (eks Kompas) yang meminta hal itu. Saya dianggap tak cukup cakap untuk memperkokoh jajaran redaksi. Saya tak tahu, bagaimana beliau bisa menilai seperti itu, wong kami belum pernah terlibat kerja bareng. Dan, saat itu pun saya belum mengerjakaan apa-apa di Banjarmasin Post. Aneh, memang.

“Kamu ke Kupang saja, ya” kata Mas Mamak. Waktu itu akhir Oktober 1995. Dan, saya pun bertolak ke sana untuk belajar kepada wartawan senior Kompas Om Damyan Godho sekaligus membantu persiapan pembenahan ulang Pos Kupang. Koran ini baru saja ditinggal bedol desa oleh sejumlah awak redaksinya yang ramai-ramai hijrah ke Jakarta mengikuti Valens Doy mengelola Berita Yuda.

Saya menangis sendiri di mess di Kupang ketika membaca berita di Kompas mengenai perusakan kantor Sriwijaya Pos oleh rekan-rekan di Palembang. Satu tahun saya larut dalam totalitas pekerjaan di Kupang, sampai pada Agustus 1996 Persda memanggil saya untuk bertugas lagi di Bernas, membantu Mas Pramono.

Saya tiba (lagi) di Bernas pada 18 Agustus 1996, dua hari setelah pemakaman rekan saya, Fuad M Syafruddin (Udin) yang dianiaya hingga kemudian tewas dan sampai kini kasusnya tak juga terungkap meski indikasi-indikasinya sudah seterang-benderang nyala neon di tengah hari.

Sambil menata kembali luka batin kami atas tragedi itu, saya bersama teman-teman terus memupuk keyakinan bahwa pada suatu saat akan terjadi perubahan mendasar dalam kehidupan politik negeri yang kian compang-camping itu. Dan, ternyata betul.

Tanggal 21 Mei 1998, saya masih di mess ketika euforia itu meledak sedetik setelah Soeharto menyatakan mengundurkan diri. Saya tak mampu menahan air mata. Kami menangis di depan televisi yang mendadak tampak seperti fatamorgana, seperti mimpi. Mas Pramono bahkan langsung tersungkur dalam sujud syukur!

Bayangkan, tahun 1977-1988 saya bersama teman-teman di kampus di Bandung, sudah memekik-mekik agar Soeharto turun. Tuntutan itu selalu diteriakkan dalam rangkaian aksi demo yang kemudian diberangus dengan pendudukan kampus oleh militer. Mahasiswa lalu dikerangkeng lewat proyek NKK/BKK. Dua puluh tahun menunggu! Dua dasawarsa hidup dalam belenggu ketakbebasan, lalu tiba-tiba merdeka.

Detik-detik sejarah kejatuhan orde baru yang saya rasakan dalam aura Yogya itulah yang memubat saya membulatkan tekad untuk segera memboyong keluarga dan menata ‘hidup baru’ di kota itu, karena saya yakin perkembangan berikutnya akan kondusif bagi kami sekeluarga. Tapi, realitas bagi saya bergerak ke arah lain. Baru saja saya mendiskusikan masalah ‘boyongan’ ini dengan anak istri, pada Oktober 1998 datang tugas baru: Ke Banjarmasin (lagi)!

Toh saya tetap girang. Masalahnya, di samping dijanjikan bahwa kota ini akan jadi terminal terakhir, saya pun akan dapat kesempatan yang lebih leluasa untuk lebih sering mengunjungi ibu saya di kota itu.

Pertengahan tahun1999 saya memutuskan memboyong keluarga, terutama agar bisa lebih total bekerja. Bersama pemimpin redaksi Banjarmasin Post Basuki Subianto (yang menggantikan Purnama), saya dan teman-teman turut menata lagi surat kabar itu, mulai dari proses rekrutmen –karena banyak wartawan yang hengkang– sampai pembenahan konsep penyajian dan pengembangan koran-koran baru bersamaan dengan makin bebasnya kesempatan menerbitkan media.

Persis setahun setelah Soeharto lengser, pada 19 Mei 1999 Banjarmasin Post melahirkan anaknya, BëBAS, sebuah tabloid kriminal, politik dan perilaku, yang –untuk ukuran lokal– ternyata laris. Kehadiran BëBAS, lantas disusul oleh harian pagi Metro Banjar yang diterbitkan pada tanggal 9 bulan 9 tahun 99. Lalu tabloid bernuansa Islam, Serambi Ummah.

Saya bersama keluarga sudah mulai larut dengan keramahan dan aura kota Banjarmasin, ketika akhir Desember 1999 Mas Herman Darmo, Direktur Kelompok Persda, membisikkan akan ada penugasan ke Bandung. Begitulah, sehari setelah Idul Fitri, saya bertolak lagi ke Bandung, sementara keluarga –yang baru enam bulan diboyong dari Bandung– ditinggalkan di Banjarmasin, karena anak saya masih harus menunggu Ebtanas.

Bersama Bang Syamsul Kahar sebagai pemimpin redaksi dan Mas Agus Nugroho sebagai Pempin Perusahaan, di bawah arahan Mas Herman Darmo dan Bang Her Suganda, kami menyiapkan dan mengelola surat kabar Metro Bandung di tengah kejenuhan pasar media cetak yang luar biasa tinggi di Jawa Barat.

Kondisinya sangat jauh berbeda dengan di luar Jawa. Membuat koran ini dilirik saja oleh audiens, sulitnya setengah mati. Di Jawa Barat (dan Banten), lebih dari 40 koran baru, muncul dalam dua tahun terakhir pascareformasi. Sebagian besar di antaranya terbit sekali-dua untuk kemudian entah ke mana. Lebih sebelas koran terbitan Jakarta yang saban pagi membanjiri Bandung, juga rembesan koran dari Surabaya telah membuat pagar yang demikian rapat dan tinggi untuk dilompati.

Karena itu meluncurkan Metro Bandung tentu saja perlu perjuangan yang ekstra keras yang seharusnya sih didukung SDM, sarana dan fasilitas serta infrastruktur dan dana yang serba besar dan lengkap. Namun, adalah tantangan yang menggairahkan pula untuk bisa menerobos rimba raya –dan kuburan– koran ini dengan tim yang ramping, kecil, irit serta sederhana. Pokoknya, low cost media!!

Sebagai contoh, hampir separo perlengkapan inventaris kantor –bahkan sampai karpet dan telepon– adalah barang bekas yang masih layak pakai. Ternyata kerja operasional tetap berjalan jika timnya memang solid dan rata-rata memiliki integritas serta loyalitas yang tinggi.

Tahun demi tahun, kami banting tulang menembus rimba raya pasar surat kabar di kota Bandung –dan sekitarnya– ini. Perlahan-lahan, Metro Bandung mulai tampak ikut mewarnai pasar. Namun, kinerja parusahaan tampaknya belum mantap betul dan perlu gebrakan-gebrakan inovatif.
Saya pun berharap, Metro jadi terminal terakhir, sebab sudah 10 tahun berpindah-pindah. Selama tujuh tahun di antaranya, meninggalkan keluarga di “Mertua Indah Estate.” Selama itu, saya sendiri jadi penghuni mess atau nebeng di rumah dinas orang Kompas seperti ketika di Palembang, Kupang, dan Yogya.

Tanggal 18 Februari 2005, atau lima tahun sejak Metro terbit, manajemen memutuskan mengganti namanya menjadi Tribun Jabar. Format penyajian pun disempurnakan. Untuk itu, saya sempat sekolah di Tribun Batam, berguru dan menyerap pengetahuan serta pengalaman dari koran yang dimotori Febby Mahendra Putra. Mereka bisa sukses hanya dalam tempo singkat.

Ternyata perubahan nama dan penyempurnaan format penyajian serta penyempurnaan distribusi menunjukkan hasil yang signifikan. Bagaimana tidak, Metro berkutat pada angka 20.000-an eksemplar setiap hari. Dengan Tribun, kami bisa menembus sampai 68 ribuan, hampir menyentuh angka 70 ribu eksemplar.

Di luar itu semua, proyek Persda di Bandung memberi berkah lain bagi saya. Setidaknya selama enam tahun terakhir, saya bisa berkumpul dengan keluarga dan hidup sebagaimana keluarga “normal” lain. Boleh dibilang, ini rekor terlama saya hidup dan bekerja di tengah keluarga lengkap.

Sejak Maret 2007 Mas Herman meminta saya kembali ke Banjarmasin untuk berguru lagi kepada Mas Pramono dan teman-teman di sana. Maka sejak itu pula, saya kembali jadi penghuni penginapan atau hotel, wira-wiri Bandung-Banjarmasin-Bandung. Dan kini jadi anak kos, sebagaimana teman-teman anak saya yang kos di dekat kampusnya.

Memang ada enak dan dan tidaknya, kerja nun jauh dari “pusat”. Enaknya, memperoleh banyak pengalaman dan pengertian-pengertian baru mengenai berbagai hal. Tak enaknya, karena jauh rasanya jarang sekali terperhatikan.

Bahkan, teman-teman di ‘Pusat’ mungkin saja ada yang tak ingat bahwa sejawatnya sedang ‘bertempur’ atau kesepian sendiri dan berhadapan berbagai problem aktual di Kupang, di Makassar, di Pekanbaru, Batam, Balikpapan, Banjarmasin, di Palembang, di Aceh, Bangka, dan sebagainya.


41 Tanggapan to “Saya & PERSDA”


  1. Januari 20, 2008 pukul 1:21 pm

    Wow… mantap dan seru nih ceritanya. Usul aja, kalau bisa dijadikan buku nih buat anak cucu. Sukses selalu kang.

    Mas Bechi

  2. Februari 20, 2008 pukul 11:00 pm

    memang sebuah perjalanan panjang yang melelahkan. Hampir mirip dengan saya.
    Dari Ambon-Purwokerto-Banjarmasin Bandung dan pulang kandang ke Tasik. Sudah 5 media diancruban. 4 grup jawa pos dan i grup PR. Yang belum gabung ke grup kompas. kapan ya….

  3. 3 yusranpare
    Februari 21, 2008 pukul 12:30 am

    Waduh…. ya kapan atuh Kang Dadang?

  4. April 29, 2008 pukul 12:46 am

    gila banget..!kayaknya kang Yusran ditakdirkan jadi avonturir sejati deh.

  5. 5 Sanie B. Kuncoro
    April 29, 2008 pukul 4:57 pm

    Mas Yusran,

    Saya teman lama Nanik Saiman, kami pernah menulis cerpen bersama di jaman Anita dulu. Sekarang ini saya kehilangan jejaknya. Bisakah mas Yusran membantu saya menemukan dia kembali?

    Terimakasih.

    Salam

  6. 6 yusranpare
    April 29, 2008 pukul 8:04 pm

    Untuk Pak Rinal: Halo… suhu Rinal! apa kabar? Kangen nih. Kapan ya saya bisa berguru lagi. makasih lho atas ilmu dan pengetahuan baru yang Anda berikan saat di Batam.

    Bagi Sanie : Ah, nama ini tidak asing. Sayang sekali kita belum pernah bertemu muka. Tak apalah. Blog kecil ini akhirnya mempertemukan kita juga. Tentang rekan sekaligus guru menulis saya, mBak Nanik, saya juga kehilangan kontak. Terakhir ya itu tadi, dua tahunan lalu tiba-tiba dia menelpon, katanya bermukim di Denpasar. Wakti itu sempat memberi nomor telpon, namun maaafkan saya, nomornya tertinggal pada HP yang rusak. Salam

  7. 7 Sanie B Kuncoro
    Mei 26, 2008 pukul 6:35 pm

    Nama yang tidak asing…..
    Wah nama saya pasaran banget ya. Tapi semoga tidak dianggap meniru pemain bulu tangkis yang ngetop itu, Sony Dwi Kuncoro.

    Waduh, kalau hpmu tidak rusak, pasti sekarang saya sudah reuini dengan Nanik.
    Tak apalah. Semoga suatu hari nanti Nanik kembali menghubungimu.

    Salam

  8. 8 yusranpare
    Mei 29, 2008 pukul 6:58 pm

    Maaf.. maksud saya bukan nama pasaran, tapi nama yang begitu terkenal dki dunia tulis menulis. Jika bersedia, tolong ajari saya. Salam.

  9. 9 Sanie B Kuncoro
    Juni 17, 2008 pukul 5:41 pm

    Wah tersanjung aku dianggap terkenal. Terimakasih banyak.
    Tapi mas, tentang mengajarimu menulis….yang benar sajalah, bagaimana mungkin kuajari seorang wartawan? Sungguh tidak berani aku, tidak punya nyali.
    Yang kulakukan cuma menyalurkan imajinasi, bayangan-bayangan. Itu jauh lebih gampang dibanding menyajikan sebuah fakta dengan dukungan data-data.
    Saya tinggal di Solo. Silahkan mampir kalau kebetulan ada tugas di kota kecil kami itu. Always welcome.

  10. 10 yusranpare
    Juni 17, 2008 pukul 8:03 pm

    Waduhhhhh….. menulis berita mungkin iya, aku bisa –sambil terus belajar. Tapi menulis buku, cerita, novel, sungguh aku belum juga punya keberanian. Solo? Kota yang menarik. Eksotik. Aku puny beberapa teman yang mukim di sana. Ada juga maestro pembuat gitar yang karyanya luar biasa. Aku pernah pesan dua gutar akustik dari dia. Terus, yang kukenang dari solo ya gulai tulangnya itu…. tengkleng!! Mudah-mudahan sesekali kita bisa bertemu. Salam.

  11. 11 Sjuaibun Iljas
    Juni 23, 2008 pukul 8:56 pm

    Maca tulisan ente, rasana tergores kembali luka lama….
    he he he ……………

  12. 12 yusranpare
    Juni 24, 2008 pukul 12:47 pm

    Aduh… punten atuh Cak Mbun. Da maksad teh sanes ngorek-ngorek luka, justru sabalikna. Mencoba memahami dan memaknai rasa sakit, menikmatinya sebagai keindahan. Hehehehe

  13. Juli 5, 2008 pukul 8:19 pm

    Ah….ketemu kawan lama juga nih. Dan fotonya mengingatkan waktu saat perpisahan itu…
    Kumaha..damang…!?

  14. Juli 5, 2008 pukul 9:46 pm

    Kemungkinan saya bakal mengikuti Kang Yusran. dari Tribun Pekanbaru ke Tribun Pontianak. Sekarang saya lagi di Ketapang, Mempersiapkan teman2 sebelum dilepas ngepos disana.

  15. 15 yusranpare
    Juli 7, 2008 pukul 11:40 am

    Rully….!!! Aduh, sono pisan. Kamana wae?? Meuni pleng les? Hayu atuh sakali-kali mah urang reuni. Kecil-kecilan we lah. Minimal nu bisa kakontak heula. Pan sering ka Bandung lin? Meuni tara nyimpang….

    Ozie!! Selamat. Ya, begitulah dunia kerja kita. Oke, met bertugas. Kapan ya kita bertemu lagi?

  16. Juli 7, 2008 pukul 8:37 pm

    Kapan ya Kang?
    Mungkin, suatu saat, cepat atau lambat, bisa di Bandung, Pontianak atau nanti ketika di Jakarta, Mabes. Entahlah, Wallahu alam. hehehehehehe

  17. Juli 29, 2008 pukul 9:04 pm

    Salam kang Yusran

    Membaca kisah yang akang tulis, hati ini seakan diiris-iris. Nasib akang hampir mirip dengan saya. Namun, nasib akang masih lebih baik wae. Sampai sekarang masih dibawah naungan media besar, meski dengan resiko jauh dari keluarga. Sedagkan saya mah harus kalangkabut memenuhi kebutuhan keluarga. Bagaimana tidak. Setela Surabaya Post versi Keluarga Azis tutup dan para alumni mendapat pesangon yang relatif kecil (tak cukup untuk kebutuhan hidup keluarga dalam setahun, red.), naka banyak alumni berkualitas yang harus berkelana bak “Samurai Ronin”.

    Kendati demikian, saya akan selalu bersyukur kang karena rezeki itu datangnya dari Allah SWT yang datangnya tak akan diketahui siapapun. Dan, saya mohon izin kang untuk mengutip tulisan-tulisan akang untuk sebuah tabliod yang insya Allah jadi diterbitkan pada Agustus 2008 ini.

    Salam juga yah… untuk teman akang yang wajahnya mirip aku (Rully Kesuma) dan Achmad Subechi yang pernah berkelana di jalanan Surabaya saat masih memperkuat Surya.

    Makasih yah kang….

  18. 18 yusranpare
    Juli 30, 2008 pukul 10:12 pm

    Amiiin…. dan salam kenal. Berbahagia sekali saya bisa berttemu tapamuka (hehehe) dengan orang-orang gigih seperti Anda. Izinkan saya menjadikan Anda sebagai guru saya juga. Alhamdulillah… Anda dan teman-teman memiliki spirit tinggi untuk menerbitkan sendiri media. Saya mah… ampun dah, sudah tak akan sanggup lagi. Oke, salam untuk mas Bechi akan saya teruskan. Untuk Rully…. aduh aya juga sudah lama sekali putus kontak dengan beliau….

  19. 19 suharyantoharyanto
    November 7, 2008 pukul 12:38 pm

    Salam kenal Mas (meski udah kenal), 🙂
    Dari Lantai 1 Gedung AS Musyafa.

    Salam,
    SH

  20. November 9, 2008 pukul 9:25 pm

    Kang, asik kuga baca tulisan akang. Saya jadi kenal lebih jauh…

  21. 21 yusranpare
    November 9, 2008 pukul 10:24 pm

    Aduh, saya jadi tersanjung, bung mhf? Apa kabar?

  22. 22 yusranpare
    November 9, 2008 pukul 11:06 pm

    Matur nuwun, Mas Suharyanto, sudi singgah ke pekarangan “rumah” terbuka saya… apa kabar banjarmasin?

  23. 23 andri
    November 16, 2008 pukul 9:33 pm

    bos, bagaimana kabar? kalau masih punya klise foto itu atau apanya lah aku minta tolong cetak ukuran 10 R untuk dipasang di rumah di Ciamis. hatur nuhun

  24. 24 yusranpare
    November 18, 2008 pukul 9:43 am

    Ha! Andri….. apa kabar. Sori, lama tak kontak. Itu foto kuambil dari dokumen lama. Tak ada nega tifnya. Yang ada, ya cuma itu. Ntar deh kukirim via email.

  25. 25 Sjuaibun Iljas
    November 27, 2008 pukul 9:11 am

    Janten, Wa Yusran sekarang di Manado…. ? Tos bosen tutug oncom ?
    Ulah asa-asa Wa ; jewer pun anak mun liwar……….!

    Haloow, Rully, Andri, Reni, Mas Gi…………., daramang ?
    kalo ga salah yg motret Rully,

    Kumah Tatang, Dodyy…….?

  26. 26 yusranpare
    November 27, 2008 pukul 12:15 pm

    Ha! Biasa we, Bos. Di Manado sebentar, mantuan babaturan bari sakalian diajar ka barudak ngora.

  27. Desember 13, 2008 pukul 8:37 pm

    sok atuh fotona kirimkeun ka sayah…..perlu foto jaman baheula..supados tong hilap ka sejarah….

  28. 28 yusranpare
    Desember 14, 2008 pukul 6:42 pm

    Eah, kumaha ari rully… mestinya kamu yang memasok foto-foto dokumentasi lama. Termasuk foto-foto model yang kamu ambil sambil gemetaran itu, masih ada kan? Hahahahahaha

  29. Januari 19, 2009 pukul 12:31 pm

    salam kenal mas.
    seru juga bacanya.. 😀

  30. 30 yusranpare
    Januari 19, 2009 pukul 6:10 pm

    Terima kasih bersedia singgah. Senang berkenalan dengan siapa pun. Salam.

  31. April 19, 2009 pukul 8:11 pm

    Wah saya benar-benar bangga pernah berguru kepada Akang, walaupun saya sempat dibilang “pengkhianat” (he he he, peace) gara-gara lari dari Bernas. Saya juga gak salah menetapkan diri Kang Yusran sebagai salah satu guru besar saya dengan pengalaman jurnalistiknya yang luarrrr biasa ini… sukses ya Kang.. pokoknya top markotop

  32. 32 Asmuri A
    April 20, 2009 pukul 11:49 am

    Salam pak Yusran,
    Saya salah satu ‘budak’ yg kerja di koran yang terbit tanggal 9 bulan 9 tahun 99 dan mem-PHK-kan diri tahun 2001. Kini saya tinggal di Bandung 🙂

  33. Juli 3, 2010 pukul 11:29 am

    Dua tahun setelah posting dan 1 tahun lebih berselang dari komentar terakhir, saya membaca dan berguru dari artikel Kang Yusran ini qe3

    Saya lahir dan besar di Jogja, mengenal Bernas sejak SD karena menjadi koran dinding di RW saya, bilangan Salakan dekat STIE Kerjasama (almarhum he3).

    Pergulatan media dan karir jurnalistik kang Yusran begitu komplit. Karena sedikit mengenal Bernas dan Sriwijaya post selaku pembaca, seperti ada nuansa lain setelah menyimak postingan ini.

    Ketika 98, saya masih kuliah di UGM kala kang Yusran masih di Bernas =)

    Saya juga berhutang budi pada Bernas. Tulisan saya di rubrik Fadhilah Jumat dan resensi dimuat di Bernas Desember 1999 dan Februari 2000. Ini karya tulis pertama saya yang muncul di media massa. Saya masih ingat, kala itu kantor redaksi masih di samping Gramedia, Jl Sudirman. Sebelumnya saya belajar jurnalistik di kampus: majalah Kopma dan Bulaksumur B21.

    Kerja keras. komitmen, strategi, konflik hingga pengaruh pihak luar (baca: intimidasi). Bahkan yang membuat saya miris, soal pembusukan dari dalam, “kebrutalan teman-teman sendiri yang demikian kalap”. Duh…

    Trims kang Yusran telah berbagi pengalaman. Saya kini jurnalis di majalah Energi di Jakarta. Salam dari Asofa, Jakbar, tabik dari Jogja =)

  34. 34 yusranpare
    Juli 10, 2010 pukul 8:02 pm

    Wah! Intrnet mempertemukan kita, rupanya. Terima kasih, Mas, sudi singgah dan mengisi pekarangan ini. Sayang sekali, kini Bernas telah tak bersama kita lagi. Namun mudah-mudahan segera ada penggantinya.

  35. 35 olo dihata harahap
    Oktober 19, 2010 pukul 8:33 am

    He he he he…curhat nih kayaknya mas yusran…yang sabar ya mas….memang kalau sudah niat jadi seorang jurnalis harus merelakan waktu indah berkumpul bersama keluarga terkesampingkan karena tugas mulia….hal ini juga pernah diceritakan oleh mas febby waktu saya masih aktif jadi wartawan di harian tribun batam….saya dulu sempat mau nangis mas..bayangkan saja…malam takbiran harus meliput di sebuah pulau hanya untuk menulis sebuah berita mengenai suasana malam takbiran bersama penjaga mercusuar….

  36. April 24, 2011 pukul 4:15 am

    salam kang. banyak inspirasi nih ceritanya. bikin tetap semangat bagi pewarta yg diberi tugas jauh dri keluarga..salut..

  37. 37 tavip pancoro
    Juni 13, 2011 pukul 5:36 am

    Hallo Mas Yusran,
    aku Tavip. Masih ingat dong??? Seperti yang tertera di tulisan Mas Yus, aku sekarang memang kerja di Global TV. Luar biasa nih update-nya. Bedanya, kalau di foto masih gondrong, aku sekarang botak plontos. Kontak kontak terus ya Mas Yus. Ini nomor HP-ku: 0857-1646-7861. Thanks berat ya Mas…!!!

  38. Februari 16, 2012 pukul 1:27 am

    yang berkaus kuning(TATANG SUHERMAN) kayanya saya kenal Bang,hehe…

  39. April 13, 2012 pukul 4:03 pm

    Wahh saya membaca nya terharu . Saya anak temen om yusran yang ada di Poto itu ( bpk Tatang Suherman ) . Salam kenal om yusran 🙂 Sukses selalu

  40. Mei 30, 2012 pukul 10:36 am

    Salam hormat untuk Pak Guru….. Banyak ilmu yang didapat sebagai bekal untuk bisa bertahan di semua situasi. Trims atas bimbingannya.


Tinggalkan komentar