Arsip untuk Juni, 2010

13
Jun
10

Dua Rudy dan Spirit Demokrasi

PASANGAN Rudy Ariffin-Rudy Resnawan resmi menjadi gubernur dan wakil gubernur Kalimantan Selatan, 2010-2015. Berdasarkan rapat pleno Komisi Pemilihan Umum (KPU), Jumat (11/6), pasangan itu memperoleh dukungan 777.554 suara atau 46,81 persen dari 1.661.223 suara sah. Mereka unggul di 11 kabupaten/kota.

Pasangan Zairullah Azhar-Habib Aboe Bakar Al Habsyi (ZA) yang unggul di dua kabupaten yakni Tanahbumbu dan Kotabaru berada pada posisi kedua dengan perolehan 376.274 suara atau 22,65 persen. Surat suara tidak sah dalam Pemilukada Gubernur Kalsel itu sebanyak 88.849 lembar.

Hari ini, Senin 14 Juni 2010, KPU Kalsel menetapkan hasil pemilihan tersebut sekaligus mengukuhkan (kembali) Rudy Arifin sebagai gubernur didampingi Rudy Resnawan sebagai wakil gubernur. Keduanya mengemban amanah para pemilih untuk memimpin sekaligus melayani segenap warga Kalsel.

Merujuk pada daftar pemilih tetap (DPT), pemegang hak suara dalam pemilihan umum kepala daerah kali ini sebanyak 2.623.296 orang. Jika surat suara yang sah 1.661.223 lembar dan surat suara tidak sah 88.849 lembar, maka jumlah yang tak memilih mencapai 873.224 orang, atau 12 kali lebih besar dibanding suara tak sah pada pemilihan gubernur 2005.

Gejala tak memilih dan gejala suara tak sah itu pada satu sisi bisa dipandang sebagai pembelajaran dalam proses demokrasi, meski di sisi lain bisa juga dilihat sebagai bentuk perilaku politik pemilih. Ia bisa ditafsirkan beragam, mulai dari ketaktahuan, ketidakpedulian, hingga pemberontakan.

Mengingat jumlahnya cukup signifikan, yakni mendekati 30 persen dari jumlah penduduk Kalsel, maka tentu saja gejala itu tidak bisa diabaikan begitu saja oleh pasangan yang kini diamanati untuk melayani warga Banua.

Mereka adalah warga negara yang memiliki hak yang sama dengan mereka yang menggunakan hak suaranya pada saat pemilihan, baik yang memilih pasangan yang kini jadi pemenang maupun yang memilih empat pasangan lain. Kecenderungan itu harus jadi perhatian segenap pemimpin di Kalsel untuk menyempurnakan lagi komunikasi politiknya demi memperkuat kehidupan demokrasi ke arah yang lebih baik lagi.

Hal lain yang patut dicatat dari proses politik itu adalah makin berkembangnya kesadaran masyarakat terhadap penyelenggaraan pemilihan umum secara damai. Hal itu bisa dimaknai sebagai modal politik paling berarti bagi Kalimantan Selatan, karena tanpa kedamaian mustahil kita bisa melakukan demokrasi secara sehat.

Spirit damai itu sangat boleh jadi merupakan karakter dasar urang Banua, sebab sudah ditunjukkan tidak saja pada pemilu kepala daerah kali ini dan lima tahun sebelumnya, melainkan sejak masa- masa awal reformasi yang disusul pemilihan umum. Mengutip pernyataan Bupati Banjar –saat itu Rudy Arifin– seorang tokoh Carter Center Indonesia (CCI — lembaga swasta pemantau pemilu yang didirikan mantan presiden AS Jimmy Carter) menyatakan, warga di sini hidupnya sungguh demokratis, tidak membedakan satu dengan yang lain.

Masyarakat tentu berharap, spirit demokrasi damai itu tetap terpelihara dan makin dikedepankan dalam pelbagai kesempatan, karena dengan cara itulah bangsa kita kian tambah dewasa dalam berpolitik. Semua pihak tentu berharap situasi yang aman dan damai itu terus terjaga, baik dalam pesta politik maupun dalam kegiatan kehidupan sosial hari-hari ini dan seterusnya.

Demokrasi yang sehat adalah ketika pihak yang kalah menerima kekalahan dan langsung bahu membahu dengan pihak pemenang untuk melaksanakan proses sesuai dengan prosedur yang sudah disepakati demi mencapai tujuan bersama.

Pemenang menjalankan amanat rakyat dengan penuh tanggung jawab, pecundang menerima kekalahannya dengan lapang dada. Pemenang dan pecundang bergandeng tangan berjuang memajukan bangsa tanpa melihat lagi siapa kalah siapa menang.

Kekurangan di satu pihak diisi oleh kelebihan dari pihak lain. Kelebihan satu pihak berguna untuk mengisi kekurangan pihak lain. Semua kembali berjalan seiring bersama, sampai pada batas waktu yang disepakati kemudian memulai lagi proses dari awal menuju kehidupan demokrasi yang lebih baik lagi. **

13
Jun
10

Menanti Masjid

SETIDAKNYA ada 120 ribu warga Indonesia di Hong Kong, dan mayoritas beragama Islam. Hari-hari ini mereka sedang bermimpi memiliki masjid sendiri yang tidak saja bisa digunakan untuk beribadah, melainkan juga aktivitas dakwah secara luas, dan pendampingan bagi kaum pekerja di rantau ini.

Selama ini, kebanyakan dari mereka lebih sering menggunakan musala di Konsulat Jenderal (Konjen) RI Hong Kong kalau hendak menunaikan salat Jumat. Sedangkan kegiatan yang lebih besar terpaksa dilakukan di lapangan terbuka.

Timbul persoalan ketika mereka mau melaksanakan salat wajib pada saatnya. “Untuk berwudu saja terpaksa kucing-kucingan dengan penjaga toilet gedung karena dianggap bikin kumuh dengan mencecerkan air terlalu banyak di lantai,” kata Ria Susanti, seorang jurnalis Indonesia yang sudah tiga setengah tahun mukim di sana.

Saat ini di Hong Kong, ada empat masjid besar yang cukup populer, baik karena bangunannya yang luas maupun karena catatan historisnya. Keempatnya adalah Masjid Jamiah di Shelley Street Mid-Levels, Masjid Ammar di Wan Chai, Masjid Kowloon di Tsim Sha Tsui, dan Masjid Cape Collinson di Chai Wan.

Masjid Jamiah adalah yang tertua. Ia dibangun pada 1890 dan direnovasi 1905, dan tercatat sebagai masjid tertua. Pemerintah Hong Kong sudah menetapkannya sebagai cagar budaya.

Masjid yang juga dinilai cukup bersejarah adalah Masjid Kowloon yang sekaligus dijadikan Pusat Keislaman. Masjid ini didirikan pada 1896 dan dibuka kembali pada 1984 setelah dilakukan renovasi besar-besaran.

Masjid Kowloon dibangun dengan mengadaptasi gaya arsitektur tradisional, empat menara dan satu kubah. Masjid ini terdiri atas empat lantai dan gagah berdiri di sebelah Kowloon Park.

Masjid-masjid tersebut dipenuhi komunitas Muslim Pakistan, Nepal atau China jika salat Jumat digelar. Sedangkan orang Indonesia rata-rata memilih menunaikan salat Jumat di musala kantor Konjen RI.

Saat lebaran lalu, Konsulat Jenderal RI untuk Hong Kong Ferry Adamhar menyatakan dalam waktu dekat pihaknya membangun masjid yang cukup memadai. Kini, pihaknya sedang melakukan pendekatan kepada otoritas Hong Kong.

Jika pendekatan berhasil, maka masjid yang akan berlokasi di daerah Chai Wan tersebut terealisasi pada 2013. “Mungkin akan dibangun empat atau lima lantai,” ujar Ria, mengutip keterangan pengurus Musala Al-Falah, Abdul Ghofur yang juga pengurus Dompet Dhuafa Hong Kong.

Ghofur menyatakan, selepas Ramadhan lalu memang ada pembicaraan soal pembangunan masjid ini dan pihak KJRI mendukung gagasan tersebut.

Menurut Ria, beberapa waktu lalu malah sempat muncul pula gagasan di kalangan kaum perempuan Indonesia yang bekerja di sana, untuk memiliki masjid yang dikelola sendiri

Maklum, dari seluruh tenaga kerja Indonesia yang mencari nafkah di Hong Kong, boleh dikata 90 persen adalah perempuan. Ini tampak kalau pas Idul Fitri atau Idul Adha. “Banyak yang akhirnya batal ikut salat karena keterbatasan tempat. Padahal hampir seluruh jemaah laki-laki kebagian tempat,” ujarnya.

Ide untuk mendirikan masjid yang dikelola sepenuhnya oleh kaum perempuan ini bersambut gayung dengan organisasi perempuan muslim terbesar di Tanah Air, Fatayat-Nahdlatul Ulama. “November tahun lalu Ketua Umum Fatayat, Maria Ulfa Anshor, bahkan menyempatkan diri datang ke Hong Kong untuk membicarakan ide ini,” tutur Ria.

Namun imam Masjid Tsim Sha Tsui sudah menyatakan penolakannya terhadap ide tersebut. Dia menilai, keberadaan masjid perempuan itu terlalu eksklusif. Padahal, yang dimaksud adalah masjid yang dikelola perempuan bukan hanya untuk perempuan.

Hari-hari ini masjid khusus yang dibangun oleh dan untuk warga Inonesia di Hong Kong itu belum terwujud. Karenanya, kegiatan peribadatan yang melibatkan massa terpaksa masih “nebeng” di areal terbuka, misalnya di lapangan Indiana Club. (*)

Tersudut di Sarang Judi

BAGI sebagian orang, Macau sama artinya dengan sarang kemaksiatan. Perjudian legal telah menumbuhkan kawasan peninggalan Portugis ini jadi kota yang sangat maju secara ekonomis, dan gemerlap dalam segala hal.

Di sela-sela kegemerlapan kota dengan berbagai riuh- rendahnya, tentu agak sulit mencari tempat ibadah yang representatif. Karenanya, keberadaan masjid di sini jadi istimewa.

Masjid Macau atau Mosquita de Macau, terletak jauh dari pusat keramaian. Di ujung kota. Suasana sehari-harinya sepi, dan gerbangnya selalu digembok dari dalam. Di balik gerbang inilah  masjid ini terletak. Ukuran kira-kira 6,5 m x 12 m. Rasanya, lebih cocok disebut musala.

Menariknya, masjid ini biasanya ramai pada Minggu, bukan Jumat seperti di Tanah Air. Maklum, sebagian besar di antara jemaah itu adalah pekerja asing di Macau yang terikat jadwal waktu kerja yang amat ketat.

Seperti di Hong Kong, Minggu adalah hari “kemerdekaan” mereka, sehingga bisa leluasa pergi ke mana saja sampai Senin dini hari. Nah, tiap Minggu, di masjid ini diadakan pengajian untuk para pekerja Indonesia di Macau. (*)

13
Jun
10

Pssst… Ada Pak Dhe!

MINGGU pagi di Victoria Park. Ini bukan judul film yang dibuat dan dibintangi Lola Amaria tentang tenaga kerja Indonesia di Hong Kong, tapi betul-betul suasana pagi hari Minggu 16 Mei 2010. Rasanya seperti di tanah air. Tepatnya, seperti di Jawa.

Orang Hong Kong bilang, Minggu adalah hari Indonesia karena saat itulah orang-orang asal Indonesia yang bermukim di Hong Kong datang ke taman yang luasnya kira-kira dua kali luas Alun-alun  Bandung ini.

“Sialan! kowe rak bilang-bilang wis bebe-an. Ayo mana PIN- nya, gabung ke grup awak dhewek ya.. wis rolas ki! (sialan, kamu tidak bilang sudah punya BlackBery. Ayo mana PIN-nya, gabung ke grup kita. Sudah dua belas orang,” celoteh seorang perempuan yang baru turun dari bus. Ia berjalan memasuki taman. Tangan kirinya menekankan telepon ke kuping. Tas tercangklong di lekukan siku kanan, sementara tangan kanannya menggenggam BlackBerry.

Ia bergegas menuju kursi taman di bawah kerindangan pohon, berteduh dari gerimis tipis. Tak jauh dari tempatnya, 20-an orang usia lanjut, laki-perempuan, sedang merapal jurus-jurus pelan taichi diiringi musik lembut yang mengalun lambat.

Perempuan tadi mengaku bernama Marni. Katanya berasal dari Ngawi, Jatim. Katanya sudah empat tahun bekerja di Hong Kong. “Ya kalau dirupiahkan, rata-rata sekitar tujuh juta (rupiah) sebulan,” katanya mengenai upahnya  sebagai pembantu rumah tangga. Dia menyebut sebuah tempat di Kowloon, tempatnya bekerja.

Sebagian pendapatan dikirim ke kampung halaman. “Untuk biaya sekolah. Tahun ini anak pertama saya masuk SMP,” katanya. Sebagian lagi ditabung dan untuk keperluan pribadi seperti untuk ongkos dan beli makanan di taman Victoria itu.

Pagi itu sekitar pukul tujuh. Banyak warga Hong Kong yang berolah raga. Ada yang taichi, tenis, lari, atau sekadar joging. Bersamaan itu warga asal Indonesia mulai berdatangan.

Beberapa di antara mereka dalam kelompok kecil yang kemudian bergabung dengan kelompok yang lebih besar sebelum berkumpul di pojok-pojok strategis bahkan sampai ke trotoar luar taman, persis di tepi jalan raya atau di bawah keteduhan jembatan penyeberangan.

Seorang perempuan berusia pertengahan dua puluhan, tampak tak hirau kiri-kanan. Ia bersolek sambil bersandar ke pagar besi pembatas antara trotoar dengan jalan raya. Tangan kirinya mementang cermin kecil di balik tutup kotak bedak, tangan kanannya sibuk menata alis. Di sebelahnya, tiga perempuan sibuk menata barang- barang yang baru dibongkarnya dari tas.

“He..psst…pssst, ada pak dhe. Ada pak dhe..!” seru seorang perempuan di belakang kami, saat kami melintas. Perempuan yang mengemasi barang itu dengan takut-takut menatap ke arah kami. Saya menoleh ke arah penyeru tadi, “Apa mbak…?”

“Oalahhh….jebule sedulur (ternyata saudara). Dari Indonesia ya Pak? Kami kira polisi, lha wong bapak itu (dia melirik ke arah rekan seperjalanan saya) mirip pak dhe, je..!”

Rupanya, pak dhe adalah sebutan warga Indonesia bagi polisi Hong Kong. Rekan jalan saya, memang bermata sipit berklulit kuning, asli kelahiran Bangka. Mereka mengira kami polisi berpakaian sipil.

Sejatinya, taman Victoria dan sekitarnya terlarang bagi aktivitas perdagangan. Apalagi jual beli makanan yang berpotensi mencecerkan sampah. Namun sulit mengawasi secara ketat saat lebih dari dua ribu orang tumplek di satu tempat.

Hari-hari ini ada sekitar 120 ribu warga Indonesia di Hong Kong. Sebagian besar di antara mereka adalah perempuan sebagai pembantu rumah tangga. Minggu adalah ‘hari merdeka’ buat mereka, dan ke Victoria Park, mereka berlibur. Bertemu dengan saudara setanah air.

Berbagai kegiatan dilakukan di taman ini. Mulai dari sekadar kongkow dan ngobrol-ngobrol, bertemu pacar, arisan, hingga pengajian dan persekutuan doa. Dari taman ini, biasanya mereka lalu menyebar dan bergabung ke hiruk-pikuk megapolitan Hong Kong.

“Nah, orang-orang ini kan perlu makan dan minum. Maka kami jualan makanan. Lumayanlah untuk menambah tabungan,” kata perempuan mengaku bernama Sulis. Katanya sih dari Klaten, Jateng. Pagi itu ia berjualan kue-kue basah khas Indonsia. Sekotak plastik kelelepon, getthik jiwel dan sejenisnnya, dia jual lima dolar Hong Kong.

Rekannya, Ida, sedang sibuk menyiapkan dagangan. Bakso dan sop serta soto. Ia menggodok kuah-kuah itu pada sebuah panci di atas  kompor gas kecil yang disamarkan di dalam kardus yang disamarkan lagi dalam tas bepergian.

‘Dapur berjalan’ ini sangat membantu kalau pas ada razia. Tinggal buang kuahnya, matikan api, tarik risleting tas, lalu cabut!

Suasana Indonesia di Taman Victoria ini berlangsung dari pagi buta hingga tengah malam menjelang pergantian hari. Di sinilah warga Indonesia yang sehari-harinya terikat tugas rutin dan jam kerja yang ketat, bisa melepaskan diri dan tampil sebagai diri sendiri untuk bertemu dan bergabung ke dalam komunitas asal-mula.

“Ya, untuk yang baru-baru, taman itu memang menyenangkan. Setidaknya, bisa bertemu dengan saudara-saudara setanah air. Tapi kalau sudah dua tiga bulan, kita baru tahu ada yang cocok, ada juga yang hmmm… nggaklah,” kata Dwie yang ditemui di bandara Hong Kong sehari berselang. Ia tak bersedia menjelaskan lebih jauh, apa yang dimaksudnya itu.

Ia mengaku sudah tujuh tahun bekerja di Hong Kong, sejak lulus SMA. Ia juga mengaku kini diberi keleluasaan majikannya untuk sekolah lagi. “Saya sedang sekolah komputer,” katanya. (*)

11
Jun
10

Terjerumus ke “Bordil Cyber”

SEPANJANG pekan ini publik disentak oleh gempa digital porno menyusul beredarnya rekaman amat pribadi pasangan artis terkenal. Dua perempuan pesohor, satu pria penyanyi dari grup band terkenal jadi bulan-bulanan pemberitaan. Salinan rekaman adegan intim mereka, dengan cepat menjalar berkat kemudahan akses informasi.

Heboh pun meledak-ledak karena diperkuat pula melalui forum pembahasan di televisi yang menghadirkan tokoh-tokoh publik, pengamat, ahli teknologi informatika, polisi, bahkan perempuan yang pernah jadi “korban” musibah digital ketika rekaman adegan intimnya dengan anggota parlemen muncul di ruang maya dan kontan jadi santapan publik.

Tiap kurun seolah menghadirkan gejala serupa dalam takaran yang berbeda. Awal 80-an heboh meledak menyusul beredarnya foto perempuan penyanyi Bandung dalam pose-pose tanpa busana. Saat itu, kamera video dan lensa digital belum populer. Internet, apalagi! Jadi, gelombang hebohnya tidak menjalar secepat dan sebesar sekarang.

Periode berikutnya, publik tentu masih ingat kasus yang melibatkan dua mahasiswa di Bandung beberapa tahun lalu. Kemudian rekaman panas Ayu Azhari, Yuni Shara, mendiang Sukma Ayu, rekaman bugil peserta casting iklan sabun, heboh rekaman panas anggota parlemen dengan penyanyi dangdut dan geger adegan intim anak seorang bupati dengan pasangannya.

Mudah ditebak, segera saja rekaman adegan suami istri dari artis terkenal yang bukan suami istri ini pun dengan cepat menjalar. Ada saja yang  mengunduh dan menyebarkannya, atau merekamnya, memasukkannya ke dalam telepon selular, dan seterusnya bahkan ada yang menjadikannya sebagai komoditas laris di pasar cakram digital video. Dan, publik melahapnya dengan rakus. Tanpa ampun!

Di satu sisi, peristiwa ini kian membuka mata tentang betapa kian terbuka dan makin bebas perilaku sebagian di antara para selebritas atau pesohor itu. Gonta-ganti pasangan –apalagi jika betul masih ada rekaman sejenis dari pria sang artis itu dengan 30-an perempuan berbeda– seolah bukan lagi aib, melainkan justru jadi semacam kebanggan.

Pada sisi lain, ia juga makin menyadarkan publik mengenai bagaimana seharusnya kita berada di tengah kemajauan teknologi dan keserbagampangan mengakeses informasi. Ini mengandung arti bahwa sesungguhnya, cepat atau lambat, jutaan pasang mata siap melahap mentah-mentah segala apa pun yang kita lakukan.

Betul bahwa polisi bisa saja melacak orang yang pertama mengirim rekaman-rekaman macam itu ke internet, untuk menjeratnya sebagai pihak yang turut serta melakukan perbuatan pidana me nyebarluaskan pornografi. Namun perlu waktu amat lama untuk menemukan para pengelola “bordil cyber” seperti itu.

Lagi pula, rasa-rasanya perangkat hukum kita yang terbaru pun belum secara maksimal bisa menjangkau ruang maya publik (public-cyberspace) yang tidak saja sudah menggantikan sebagian fungsi toko buku, pasar, koran, bahkan prostitusi dan segala tetek-bengeknya, melainkan sudah seperti rimba raya digital yang demikian ruwet.

Begitu Anda sendiri, atau seseorang “memasukkan” Anda ke rimba itu, habislan. Ditelan atau dicabik-cabik tanpa ampun sebagaimana yang dialami artis-artis itu. Kita yakin, mereka tak sebodoh itu untuk secara sengaja mengirim rekaman adegan intimnya ke rimba maya. Pasti ada orang ketiga yang melakukannya, dan jutaan pasang mata melahapnya.

Jika apa yang menimpa para artis ini boleh disebut musibah, maka sangat bisa jadi masih akan terus berulang di kemudian hari dengan korban lain. Yang jelas, teknologi makin mempermudah semua orang. Jaringan internet memberi ruang terbuka publik yang nyaris tanpa batas bisa menampung dan menyediakan informasi apa saja, termasuk gambar-gambar yang paling pribadi sekali pun.

Peristiwa yang menimpa –sementara ini– tiga pesohor itu juga patut jadi peringatan bagi siapa saja, entah itu pejabat atau tokoh publik, entah itu seseorang anonim, bahwa tekonologi masa kini yang makin canggih, kian murah serta makin mudah penggunaannya mengandung risiko semakin mudah pula menyalahgunakannya.

Tanpa kearifan dan kedewasaan, maka keserbamudahan yang dihasilkan teknologi itu juga memberi celah yang amat besar untuk menghadirkan kesulitan alias ketidakmudahan. Artinya, pesatnya perkembangan teknologi, mutlak disertai pesatnya perkembangan pikiran, perilaku, dan akal budi.
Jika tidak, ya pasti jadi korban. ***

10
Jun
10

“Wolek? Wolomi…Wolomi…!”

SORE itu, pertengahan Mei lalu, kami sudah berada di antara ribuan orang yang menyesaki Tung Choi Street, di kawasan Mongkok. Para turis mengenal jalan ini sebagai Ladies Market, meski tak ada hubungannya dengan perbedaan gender, sebab cuma seruas jalan yang disesaki pedagang kaki lima.

Ruas jalan selebar sekitar delapan meter ini membelah areal pertokoan.
Lapak dan tenda-tenda pedagang memadati sisi kiri dan kanannya menghalangi deretan toko, menyisakan sedikit ruang di tengah jalan untuk orang berlalu-lalang berdesak-desakan.

Sama seperti kawasan pedagang jalanan di kota-kota besar di tanah air, di sini pun faktor paling penting saat transaksi adalah kepandaian dan keberanian menawar. Barang yang dijaja sangat beragam. Boleh dikata, apa pun barang yang kita cari, ada di sini.

“Kalau mau belanja, tawar sampai 30 persen dari harga yang mereka ajukan,” saran seorang teman yang sudah sering ke Hong Kong. Kami tak berniat belanja, cuma ingin melihat-lihat saja memuaskan rasa ingin tahu.

Bisa dipastikan, semua barang yang dijual di sini produk China. Meski ada satu dua toko yang menyatakan hanya menjual barang asli, yang diimpor dari negara pembuat. Tapi, siapa bisa menjamin?

Apalagi China terkenal sebagai sorga para pembajak dan penjiplak. Amerika paling berang pada aktivitas penjiplakan negeri Panda ini. Produk palsunya tidak saja dijual di dalam negeri tapi disebar ke berbagai negara di dunia. Mulai dari barang elektronik, garmen, furnitur, susu formula, hingga piranti lunak, semua dipalsukan China.

Menurut Bea Cukai dan Patroli Perbatasan AS, selama  2004-2009, China (termasuk Hong Kong) menyumbang 84 persen pengumpulan nilai barang palsu yang disita di Amerika Serikat. Amrika dirugikan miliaran dolar (triliunan rupiah) karenanya. Kelompok antarpemerintah yang berbasis di Paris juga menganggap China sebagai pelanggar nomor wahid dalam memalsukan produk.

Logikanya, jika di barang palsu yang masuk ke Amerika saja, 84 persen dari China, apalagi di Hong Kong yang notabene adalah bagian dari China. Apalagi di kaki limanya! Jadi jangan heran kalau pelancong menemukan tas Gucci, Coach, atau Longchamp dengan harga amat miring.

Longchamp, misalnya. Tas tangan perempuan, aslinya buatan Perancis dan hari-hari ini sedang ‘ngetren’ di kalangan perempuan modis, harganya (yang asli) antara Rp 1,3 juta sampai Rp 2 jutaan. Di Ladies Market, dengan uang sebanyak itu Anda bisa mendapatkan sepuluh tas Longchamp! Tentu saja palsu. Tapi sekilas tak kentara bedanya.

Tas Dior model terbaru (tentu palsu juga) dibuka dengan harga 400 dolar Hong Kong (sekitar Rp 460.000). Setelah ditawar habis-habisan sampai 100 dolar. Pedagang itu mematok harga mati 150 dolar.

Begitu pula barang-barang lain bermerek terkenal. Iseng- iseng teman kami menanyakan jam tangan Rolex kepada seorang pedagang di sana, dengan cara menunjuk jam asli yang dikenakan rekan seperjalanan kami.

Perempuan muda penjaga lapak ini bicara cepat kepada temannya, lalu berpaling lagi ke arah kami sambil bicara, mungkin dalam bahasa Inggris dengan dialeknya sendiri. Bicaranya mrepet tak kalah cepatnya dengan tadi.
“Wolek..?” kata dia sambil matanya melihat lengan rekan seperjalanan kami yang menenakan Rolex asli.

Teman saya mengangguk-angguk. Seketika perempuan pedagang itu bangkit, “Wolomi..wolomi!” katanya sambil beringsut. Rupanya dia mengajak kami mengikutinya. Dalam dialek dan artikulasinya, kata follow me, jadi terdengar wolomi…!

Ia berjalan cepat sekali, zigzag melawan arus pengunjung yang berjejalan. Kami mengikutinya menyuruk-nyuruk di bawah tenda dan lapak-lapak, menyusuri lorong sempit di sela lalu lalang orang.

Di suatu tempat kami dipertemukan dengan seorang pria yang duduk di lapaknya, yang cuma terdiri atas sebuah meja, kipas angin, kalkulator, dan setumpuk buku katalog.

Penjual jam tiruan ini tak berani menggelar dagangannya secara terang-terangan. Mau cari Rado, Tissot, Tag Heuer, Tewie? Tinggal bilang saja. Saat kami menunjuk potret jam pada katalognya, ia manggut-manggut lalu mengajak kami memasuki lorong kecil di antara bangunan, serasa dalam adegan film Jackie Chen…!

Diambilnya sebuah kotak sebesar laptop, yang ternyata merupakan tempat memajang Rolex yang dimaksud. Ia menunjuk jam tangan bermerk Rolex jenis submariner lalu mengangsurkannya. Jam ini sangat mirip. Permukaannya sangat halus, hampir tak bisa dibedakan dari yang asli.

Lelaki ini mengambil kalkulator, lalu mengetikkan angka- angka dan menunjukkannya. Kalau dirupiahkan, ia memasang harga 3,8 juta rupiah. Harga Rolex asli tentu saja seratus kalinya. Yang paling murah saja, harganya di atas 300-an juta rupiah.

Dia menyorongkan kalkulator agar saya mengetikkan angka penawaran. Saya tak tertarik, karena memang tak gemar mengoleksi jam tiruan. Apalagi yang asli. Kalau sekadar untuk bergaya, cari “Rolex”  di Cengkareng saja, hehehehe…..! (*)

10
Jun
10

Jadi Ingat Pasar Terapung

SATU negara tiga mata uang. Mungkin Cuma satu-satunya di dunia, ya di China. Jika di daratan –demikian warga Hong Kong menyebut negara induknya– berlaku mata uang yen (RMB), di Macau, petacas (MOP) adalah mata uang yang sah, maka Hong Kong pun punya dolar (HK$).

Di Macau, dolar Hong Kong diterima dan berlaku sebagai alat transaksi. Sebaliknya, di Hong Kong hampir tak ada yang menerima uang Macau. Meski nilai nominalnya disebut sama, toh saat kita menukarnya, tetap saja uang Macau lebih rendah.

Saat jalan-jalan di sekitar Time Square, iseng-iseng saya tukar uang receh yang tersisa dari Macau (di Hong Kong, tempat penukaran uang tersebar di berbagi penjuru, nyaris seperti pedagang pulsa di kota kota kita). Empat puluh MOP ternyata dihargai 33 dolar Hong Kong.

Sangat boleh jadi, keangkuhan masing-masing dengan identitas ‘negara’-nya ini merupakan sisa kejayaan kolonial yang kemudian dipelihara melalui otonomi khusus. Portugis menguasai Macau lebih dari lima abad, hingga 20 Desember 1999. Hong Kong baru lepas dari Inggris 1 Juli 1997 setelah 156 tahun dijajah.

Sebagian peninggalan yang baik dari masa penjajahan di kedua wilayah ini masih dipertahankan dan disempurnakan serta disesuaikan dengan kebutuhan modern. Trem, contohnya. Angkutan yang menggunakan rel ini masih menjelajahi rute-rute penting kota dengan akurasi waktu yang terjaga.

Selain itu, trem yang semula digunakan untuk mengangkuti orang, material dan aneka keperluan pembangunan di puncak gunung Victoria, kini dioperasikan sebagai kereta wisata yang memberikan sensasi tersendiri bagi para penggunanya.

Puncak gunung Victoria, biasa cukup disebut The Peak adalah gunung di bagian barat Hong Kong. Ia adalah titik tertinggi (552 meter di atas muka laut), di Pulau Hong Kong. Dikunjungi sekitar 6 juta orang –dari total rata-rata 21 juta turis yang masuk– setiap tahun, kini ia merupakan objek wisata paling populer di Hong Kong.

The Peak bisa dicapai lewat jalan raya biasa dan trem. Kami memilih keduanya. Dari kota naik bus wisata sampai terminal trem
lalu membeli tiket sekali jalan sampai ke puncak. Nanti, bus menjemput kami di sana.

Jangan bayangkan seperti terminal bus atau stasiun kereta api di negeri kita, stasiun trem The Peak yang terletak di seberang Konsulat Jenderal Amerika Serikat ini tak jauh berbeda dengan mal.

Sensasi mendaki di dalam trem yang sudah dioperasikan sejak dua abad lalu inilah yang ditawarkan pengelola wisata Hong Kong. “Tak perlu khawatir, tiap saat kondisi kereta dan rel diperiksa dengan cermat. Kabel bajanya diganti setiap lima tahun…” kata pemandu wisata kami.

Dengan 22 dolar Hong Kong per orang sekali berangkat (33 dolar untuk bolak balik), kami pun bergabung dengan ratusan pelancong lain. Betul saja! Kereta ini melaju mulus mendaki gunung batu. Di sisi kiri, tebing bebatuan yang tampak pejal dihiasi tetumbuhan.

Di sisi kanan, nah ini dia! Entah berapa derajat kemiringan tebing yang didaki trem ini. Yang jelas, jendela trem jadi seperti pigura yang membingkai gambar bergerak puncak-puncak runcing gedung pencakar langit yang miring, nyaris diagonal memotong sudut-sudut bingkai.

Sampai di puncak kita bisa melihat kota Hong Kong dari ketinggian. Saya membayangkan, jika malam hari tentu pemandangannya lebih mengagumkan karena akan melihat taburan kerlip lampu dari gedung-gedung tinggi yang bersitonjolan menonjoki awan malam.

Peak Tower adalah sebuah menara di Victoria Peak, sekaligus sebagai terminal akhir trem. Perancangnya menginginkan desain yang secara jelas menarik perhatian namun tak mengganggu pemandangan sekitar. Arsiteknya, Terry Farrell merancang menara ini dengan bentuk wajan dan memiliki tujuh lantai dengan total luas 10,400 meter persegi.

Seperti di stasiun keberangkatan, di sini pun suasana persis seperti di mal paling modern di tengah kota. Bayangkan, di puncak gunung batu ada mal! Ramai dan lengkap pula. Mau makan, tinggal pilih restoran apa apa saja sesuai selera.

Mau belanja, ya konter-konter produk khas Hong Kong sampai gerai-gerai produk bermerek internasional, tersedia di sini. Mau bertemu dan foto bersama ortang-orang terkenal? Singgahi saja museum lilin Madame Tussaud’s.

Pulang ke Banjarmasin, saya jadi teringat di sini pun tak kurang lokasi wisata yang eksotis. Tapi kita tidak bisa merawat dan mengelolanya dengan baik. Jangankan menikmati sarana transportasi dan jalan yang memadai, mencari rambu-rambu untuk memandu orang ke Pasar Terapung saja sama sulitnya dengan mencari jarum dalam jerami! (*)

10
Jun
10

Disiplin ala Hong Kong

COTAI Jet, feri yang membawa kami secara gratis dari Macau merapat di Hong Kong menjelang sore, Sabtu 15 Mei 2010. Kami bertiga sama butanya tentang negara-kota bekas koloni Inggris ini.

Saya bersama Pemimpin Umum Banjarmasin Post Group H Gusti Rusdi Effendi dan Pemimpin Perusahaan Wahyu Indriyanta, sama-sama belum pernah melawat ke sini. Jadi ya mengikuti saja rekan dari jakarta yang membawa kami dalam lawatan mendadak ini.

Masuk Hong Kong dari Macau, kami harus lewat konter imigrasi lagi. Lucu juga sih, Macau dan Hong Kong di bawah satu pemerintahan, China. Tapi masing-masing  menerapkan aturan sendiri.

Ya, sebagaimana halnya Macau, sebagai daerah administratif khusus, Hong Kong memiliki otonomi sendiri, baik dalam sistem hukum, mata uang, bea cukai, imigrasi, maupun peraturan lalu lintas. Pemerintah pusat di Beijing hanya mengelola masalah pertahanan nasional dan hubungan diplomatik. Otonomi ini berlaku di Hong Kong minimal 50 tahun sejak penyerahan dari Inggirs.

Selesai urusan imigrasi, kami melanjutkan perjalanan naik taksi. Berbeda dengan Jakarta, di Hong Kong kita tak bisa mencegatnya di sembarang tempat, melainkan di selter-selter khusus yang telah tersedia. Itu pun sesuai antrean.

Hotel yang kami tuju berada di kawasan Causeway Bay, kira- kira 15 menit dengan taksi dari pelabuhan. Letaknya hanya selemparan batu dari Victoria Park, taman yang sangat populer di Hong Kong dan tempat ribuan orang Indonesia berkumpul tiap Minggu.

Jika di Macau terasa lapang, hotel-hotelnya berkamar lebar dengan areal prakir luas, Hong Kong sebaliknya. Di sini terasa amat sesak oleh bangunan menusuk langit. Saling-silang jalan layang –dan bawah tanah– dialiri kendaraan yang melaju cepat.

Hebatnya, selama tiga hari kami di kota ini tak sekali pun disiksa kemacetan arus lalu lintas. Semua berjalan sesuai aturan. Bus melaju di jalurnya, demikian pula kendaraan yang lebih kecil. Selama di sana, saya tak sekali pun melihat polisi di jalan raya, juga di tempat lain.

Di sini ruang betul-betul sudah sangat ‘langka’. Bangunan saling berimpit. Hotel berlantai 33 tempat kami menginap pun, tak berpekarangan. Areal parkir sempit terletak di sisi kiri agak menjorok di sela deretan toko, lebih tepat jika disebut sekadar tempat menurunkan penumpang.

Namun di antara belantara beton itu, publik bisa mendapatkan ruang yang cukup memadai baik itu untuk sekadar duduk, menikmati udara terbuka, olah raga santai, juga fasilitas olah raga prestasi.

Hong Kong yang luasnya sedikit lebih kecil dari luas  Jakarta, dihuni sekitar 6,8 juta orang, termasuk di dalamnya sekitar 140 ribu orang Indonesia. Namun penataan infrastrukturnya jauh lebih teratur dan efisien dibanding Jakarta.

Jika dirunut dari era kolonial, sangat boleh jadi sejarah dan usia dua kota ini tak jauh berbeda, pertumbuhkembangannya sebagai habitat metropol mungkin juga nyaris bersamaan, namun suasana keduanya terasa jauh sekali bedanya.

Soal sistem dan sarana transportasi, misalnya. Terasa betul bahwa otoritas setempat memberikan perhatian dan komitmen yang luar biasa serius. Masyarakat diberi kemudahan untuk menggunakan sarana yang nyaman dan modern. Silakan pilih, mau naik kereta api, bus, trem, feri, atau taksi.

Jaringan kereta bawah tanah dikelola MTR Corporation Limited yang mengelola MTR dan Kowloon Canton Railway Corporation yang mengelola KCR. Angkutan umum yang jadi tulang punggung mobilitas warga kota ini, dioperasikan dengan standar tinggi dan ketepatan waktu yang akurat.

“Saya sudah dalam bus, Mas. Tujuh menit lagi sampailah…!” tulis Ria Susanti dalam pesan singkatnya. Jurnalis Indonesian yang sudah lebih tiga tahun bertugas di Hong Kong ini berjanji mengantar kami santap malam.

Tempat tinggalnya sekitar 15 kilo meter dari hotel tempat kami menginap. Dan, betul saja. Tujuh menit setelah pesan singkat itu, dia sudah muncul di lobi hotel. Bukan cuma bus, taksi yang kita tumpangi pun sopirnya bisa dengan tepat memperkirakan berapa lama perjalanan yang akan ditempuh ke suatu lokasi.

Tentu saja, di sini tak ada cerita sopir taksi yang membawa penumpangnya berkeliling agar putaran angka pada argonya kian banyak. Sopir macam begini di Hong Kong bisa langsung masuk penjara. Jangankan menipu seperti itu, merokok di tempat yang tak semestinya pun, langsung dihukum denda 1.500 dolar!

Malam itu, diantar Santi, kami jalan kaki menuju Times Square, satu di antara ikon metropol Hong Kong. Boleh di kata, sepanjang perjalanan, beberapa kali kami ‘terperangkap’ dalam kemacetan arus lalu lintas manusia.

Satu lagi yang membedakan Hong Kong dengan kota besar di tanah air. Di sini, manusia betul-betul dihormati dan hak-haknya dimuliakan di jalan raya. Sebaliknya, orang-orang di sini pun patuh dan disiplin pada aturan yang ditetapkan untuk kepentingan bersama. (*)

03
Jun
10

Sisa Dinding Masa Silam

PENGALAMAN ‘tersesat’ di dalam gedung, membuat kami tak ingin terkungkung. Belum tentu ada kesempatan lagi ke Macau, jadi sayang sekali kalau waktu cuma kami habiskan di dalam gedung yang dirancang agar orang lupa dimensi waktu.

“Kita jalan,” kata rekan seperjalanan dari Jakarta. Maka, pagi sekali kami turun ke restoran untuk sarapan. Masih pagi, pasti belum terlalu ramai. Tapi begitu tiba di tempat itu, astaga! Sebagian besar tempat duduk telah terisi.

Saya baru sadar belakangan, resor ini disiapkan untuk menerima pengunjung dalam jumlah yang besar. Fasilitas kateringnya saja mampu melayani 15.000 tamu dengan lima menu utama, dari Barat hingga Asia. Perlu waktu untuk menemukan meja yang pas bagi kami berenam.

Hotel ini menyediakan layanan wisata kota, tarifnya bermacam- macam tergantung lama dan jumlah lokasi yang dituju. Kami memilih jalan sendiri, karena setelah dikalkulasi, biayanya lebih murah. Dua taksi, satu di antaranya disopiri perempuan, membawa kami ke titik yang paling ramai dikunjungi.

Kami diturunkan persis di bawah papan penunjuk jalan bertuliskan, Igreja De Santo Antonio, dan Largo De Camoes dalam bahasa China, Portugis, dan Inggris. Sekelompok anak muda berseragam kaus kuning menyambut dengan lagu-lagu rohani, sambil menawarkan cenderamata yang dananya akan digunakan untuk amal.

Dari sini, kami beranjak menyusuri jalan kecil, yang cuma cukup untuk dua mobil berpapasan. Jalan terbuat dari bebatuan, diapit bangunan-bangunan tua yang masih deipertahankan keasilan arsitekturnya.

Ya, Macau adalah perpaduan Portugis dan China. Banyak sekali bangunan yang masih bernuansa Eropa. Penjajahan selama setengah abad telah cukup menancapkan pengaruh besar. Tidak hanya pada gaya arsitektur, melainkan juga adat istiadat, bahasa, dan cara hidup. Hingga kini, bahasa resmi yang digunakan dalam adminitrasi pemeringtahan adalah Bahasa Portugal dan China.

Papan-papan nama jalan, nama insititusi, petunjuk pada formulir imigrasi, semua masih dalam Bahasa Porto yang disertai terjemahan dalam Bahasa China dan Inggris. Dalam konteks berbeda, saya merasa sedang di Dili, Timor Leste.

Largo de Senado, yang yang kami datangi hari itu, dulunya merupakan pusat pemerintahan. Bangunan-bangunan di kawasan ini masih terawat. Hanya saja, tekanan penduduk telah menyebabkan suasana terasa sesak.

Ia kini menjadi objek wisata utama di Macau. Setiap hari, tempat ini dibanjiri pelancong. Mereka tidak saja ingin melihat sisa peninggalan Portugis, tapi juga berbelanja dan makan di toko-toko dan restoran sekitarnya.

Bangunan peninggalan Portugis yang jadi objek wisata utama Macau adalah Ruins of St Paul, atau reruntuhan gereja Santo Paulus. Ya, ini adalah bagian gereja Santo Paulus yang mulai dibangun pada 1602, dan selesai pada 1637.

Namun gereja tersebut rubuh terbakar saat terjadi Badai Taifun pada 1835, yang tertinggal hanya bagian depannya saja. Kini, di balik belakang dinding depan ‘sisa gereja’ itu terdapat Museum of Sacred Art berisi lukisan dan patung-patung Kristiani serta semacam altar. Di sini para peziarah bisa melempar koin untuk harapan.

Di sisi kiri dan kanan, terdapat kota pada relung-relung batu ditutup kaca tembus pandang berisi tulang-belulang 23 martir dalam penyaliban massal di Nagasaki, Jepang pada 1597. Peninggalan sejarah ini sudah masuk dalam situs warisan dunia (UNESCO) yang harus dilindungi.

Situs tua itu dikhawatirkan ambruk dan rusak, sehingga pada 1990-1995 ada desakan untuk menggali fondasinya. Setelah digali, ternyata ditemukan sejumlah artefak religius peninggalan para martir Kristen asal Jepang dan pendiri kolese Jesuit di Makau, yaitu Pastor Alessandro Valignano.

Reruntuhan itu kini direstorasi oleh pemerintah Makau menjadi museum. Facade reruntuhan itu disangga oleh beton dan baja supaya tidak mudah ambruk. Bahkan, dibuat tangga baja untuk memudahkan turis naik ke dan melihat pemandangan dari ketinggian.

Setelah menjelajahi kota tua yang seakan membawa kami ke masa silam, kami pun kembali ke Venesia kota jiplakan. Selain diberi voucher judi saat masuk, para pengunjung kota tiruan ini juga diberi tiket gratis Cotai Jet –feri berkecepatan tinggi yang sangat nyaman– untuk keluar dari Macau.

Dengan tiket cuma-cuma itu pula, sore itu kami ‘pulang’ ke tujuan semula, yakni Hong Kong. (*)

02
Jun
10

Venetian dan Sang Penghibur

SEJATINYA The Venetian tak menyediakan perempuan penghibur. Petugas keamanan hotel akan mengusir perempuan yang menawarkan diri kepada pengunjung. Tapi, “Kami tidak bisa mngatur urusan pribadi tamu. Tamu adalah raja, you know?” kata seorang petugas keamanan The Venetian yang didadanya tersemat emblem nama David.

Mungkin itu sebabnya, ada penjudi yang sengaja membawa ‘bekal’ dari tanah airnya. Saat tersesat di lolong-lorong toko, kami berjumpa dengan dua perempuan muda yang mengaku berasal dari Indonesia. Keduanya mengatakan sudah tiga hari –dari seminggu yang direncanakan– tinggal di The Venetian untuk menemani bosnya yang sedang berjudi.

Menemani bagaimana? Ya, terjemahkan sendirilah.

Tempat untuk kesenangan kaum pria, terserak di sudut-sudut lain kota Macau. Biasanya disamarkan dengan tempat layanan pijat dan sauna. Sebuah laporan di The South China Morning Post menyebutkan, banyak tempat pijat, sauna, dan layanan spa di Macau yang sesungguhnya sarang prostitusi terselubung.

Otoritas setempat menganggap prostistusi terkait erat dengan kegiatan human trafficking yang melanggar aturan. Kampanye pemberantasan perdagangan manusia ini gencar dilakukan. Begitu pula upaya-upaya melindungi kaum perempuan dari aktivitas ini.

Asosiasi Perlindungan Perempuan Macau, misalnya, memasang papan pengumuman layanan publik di setiap taksi. Poster pengumuman itu ditempel di balik kursi di sebelah kiri pengemudi. Jika ada perempuan yang sedang bermasalah dan naik taksi, ia bisa langsung mengontak hotline gratis untuk mendapatkan pertolongan.

Di The Venetian, perempuan-perempuan penjaja layanan birahi ini  sadar betul bahwa hal itu melanggar aturan. Karenanya, penampilan mereka juga jauh dari kesan penghibur. Mereka tampil layaknya pengunjung dan pembelanja. Pakaiannya tidak terlalu menyolok, malah ada yang mirip peragawati yang sedang memamerkan busana mutakhir.

Tawar menawar tidak dilakukan terang-terangan. Modusnya, ya seperti tadi. Menjejeri langkah atau sengaja berpapasan lalu menebar senyum dan menegur ramah seolah sudah pernah kenal. Percakapan dilakukan sambil berjalan di tengah simpang-siur pengunjung.

Selama tiga jam berjalan dari satu gerai ke gerai lain — sampai sempat tersesat– setidaknya empat kali kami dijejeri oleh perempuan “Wes ewes ewes…” seperti yang sebelumnya diceritakan. Tiap dialog singkat intinya hampir sama, menawarkan jasa pijat, mengajukan harga, ditutup dengan selipan kertas kecil bertulis nomor telepon.

Tiga jam pertama menyusuri jalan-jalan kota kecil di dalam gedung raksasa ini cukup melelahkan. Itu pun belum seperempatnya kami jelajahi. Perlu waktu dua atu tiga hari jika ingin leluasa dan santai mengunjungi pusat terpadu ini jika ingin memuaskan hasrat bersenang-senang.

The Venetian tampaknya memang dirancang untuk menggabungkan judi dan wisata keluarga, memanjakan orang (berduit) untuk menggunakannya sekehendak hati. Mau berjudi, silakan. Belanja, oke. Hiburan ayo!

Sementara para bapak berjudi, kaum ibu bisa sepuas hati mengosongkan dompet atau menggesekkan kartu kredit. Anak-anak pun bisa menonton pentas hiburan. Sepanjang Mei lalu misalnya,  tampil sirkus modern Zaia.

Semua pemain sirkus ini adalah pemain profesional dari berbagai negara yang dipilih secara ketat sebelum bergabung dengan Zaia. Harga tiketnya 358 MOP atau sekitar Rp 500.000, untuk kelas premium. Sedangkan paket istimewa bisa dinikmati dengan harga sekitar Rp 3 juta!

Dengan cara seperti ini, orang bertahan lebih lama di sana. Dari pagi hingga pagi lagi dan pagi berikutnya, orang tak akan kehabisan waktu dan tempat untuk buang duit.

Sebelum ini, wisatawan ke Macau menghabiskan rata-rata hanya 1,2 hari per orang. Empat tahun lalu, ketika The Venetian belum diresmikan, Macau telah mencatat pendapatan 7,2 miliar dolar AS (sekitar Rp 65 triliun) dengan 25 juta wisatawan yang tercatat berkunjung.

Pada periode yang sama, pendapatan Las Vegas, kerajaan judi AS adalah 6,6 miliar dolar AS (sekitar Rp 59 triliun). Artinya, saat itu Macau –kota kecil seluas kurang lebih 27,5 kilometer persegi– telah mengungguli Las Vegas.
Sayang saya belum menemukan data terbaru mengenai pendapatan Macau, tiga tahun setelah Venesia tiruan ini dioperasikan. Jika ada, bisa jadi jumlahnya fantastis! (*)

01
Jun
10

Langit Palsu Macau, Ws..ws..ws!

STADION di dalam gedung? Ya, ini mungkin cuma di kota tiruan Venesia di Macau. Selain arena judi mahaluas dan pertokoan serbalengkap, di bagian lain dalam gedung ini ada pula stadion dengan kapasitas 15.000 tempat duduk. Stadion ini pernah jadi tempat pertandingan eksibisi NBA dan pertandingan tenis antara dua pemain terkemuka Roger Federer dan Pete Sampras.

Dibangun dengan dana 2,4 miliar dolar AS (sekitar Rp 22 triliun), Venetian Macau Resort Hotel menawarkan replika kota air Venesia, Italia, lengkap dengan gondola (sampan khas Venesia) dan pengemudi yang selalu melantunkan nyanyian riang.

Nuansa Venesia dengan kanal dan gondola ditampilkan Venetian Macau dalam areal yang mereka sebut Grand Canal Shoppes di lantai dua. Seperti namanya, ini areal pertokoan dan restoran di tepi kanal. Saat ini Grand Canal Shoppes berisi 350 gerai, 30 restoran fine dining, dan food court dengan 1.000 tempat duduk.

Usai beristirahat sejenak, kami segera bergabung dengan ribuan manusia dari berbagai negara menyusuri kota kecil dalam gedung besar ini. Begitu tiba di lantai dua yang disebut Canal Shoppes, saya tercengang lagi. Udara cerah, langit senja ditandai awan berarak. Padahal, rasanya tadi di luar sudah menjelang malam.

Tiga gondola mengangkut pasangan penumpang-pasangan penumpang mengarungi kanal ditingkahi kecipak airnya yang bening. Dengan 108 dolar Hong Kong setiap orang bisa menikmati ayunan sampan khas ini selama 15 menit menyusuri kanal. Sementara sang pengemudi mengayuh sambil bernyanyi bak seorang tenor dalam opera. Waktu seakan berhenti di sini.

Rupanya, kapan pun kita berada di areal itu, konsep waktu memang tak diperlukan. Entah pagi, siang, sore, atau tengah malam, yang terasa adalah suasana senja. Demikian pula, saat di luyar sana panas terik, hujan, atau bahkan badai sekali pun langit Canal Shoppes tetap saja langit sore yang cerah.

Grand Canal berada di lantai dua dari The Venetian yang berlantai 32, namun terasa seperti berada di kompleks pertokoan di pinggir kali di ruang terbuka dengan langit berawan bersepuh semburat jingga senja.

Ya! Langit itu memang buatan. Sejatinya ia adalah langit- langit lapisan bawah kubah gedung ini yang direkayasa melalui kecanggihan teknologi. Tampaknya, warna dasar langit-langit ini putih, kemudian disoroti cahaya yang merefleksikan senja berawan cerah.

Uang telah membuat segalanya jadi mungkin. Menjiplak kota, meniru sungai, juga memalsukan langit, untuk mendatangkan uang yang lebih banyak lagi.

***

SELAMA ini banyak orang berpikir, kalau mau belanja pergilah ke Hong Kong. Mau cari untung lewat judi, datang saja ke Macau. Kini, The Venetian tidak saja menggabungkan dua hal itu melainkan memadukan nyaris segala aspek kebutuhan hedonis.

Bagi mereka yang tak suka judi dan tak punya cukup uang untuk shopping ia juga jadi tempat nyaman untuk sekadar cuci mata, jalan-jalan. Kalau sekadar kehausan, tinggal turun ke arena judi, ambil segelas minuman dan camilan. Gratis.

Jika pun kelaparan, tak perlu susah. Tak kurang dari 30 restoran dengan mudah ditemui di sana. Jika ingin yang harganya miring, datang saja ke pusat jajan serbaada (food court) di tepi kanal. Segala macam masakan khas ada di sana. Mulai dari nasi goreng Indonesia, makanan Malaysia, Korea, Thailand, Jepang, India dan seterusnya.

Usai bersantap, kami melanjutkan jalan-jalan di ‘kota’ dalam gedung raksasa ini. Keluar-masuk gerai yang menawarkan barang- barang bermerek.

Kami sedang berjalan sambil bercengkerama ketika dua perempuan muda, usianya sekitar 20-25 tahun, menjejeri langkah kami, menoleh dan tersenyum. Lalu berbicara cepat dalam nada rendah setengah berbisik. Mendesis-desis, kedengarannya seperti sedang mengatakan, “Wes ewes ewes? wes ewes ewes…?”

Kami saling tatap, bingung menangkap lafal Inggrisnya yang tidak biasa bagi kami. Selain itu bahasa Inggris kami –terutama saya– ancur banget. Maka rekan seperjalanan dari Jakarta mencoba mengambil alih percakapan, karena dia yang paling fasih dan paling sering bepergian ke berbagai negara.

Ternyata was wis wes desisannya tadi adalah bagian dari rangkaian kata sapaan yang disambung penawaran. “Massage? Massage…? (yang terdengar seperti masas, masas, masas)” Rupanya perempuan muda dan temannya ini menawarkan jasa pijat.

Seorang teman yang sudah tiga kali ke Venesia tiruan ini mengatakan, pijat adalah tawaran awal yang lazim digunakan para perempuan penghibur di sana. Layanan lebih dari itu, tentu saja tergantung negosiasi.

Demikian pula dengan dua perempuan muda tadi. Ujung- ujungnya, ia menawarkan layanan khusus. Pijat yang paripurna dengan plus-plusnya, komplet sampai tuntas. “Beri saya seribu dolar dan kita selesaikan urusan sampai tuntas di kamar Anda..” kira-kira begitu katanya sambil tersenyum penuh arti.

Ia pun meremas telapak tangan rekan seperjalanan saya saat menyalaminya. Rupanya ia menyelipkan secarik kertas berisi nomor telepon. “Hubungi saja nomor ini begitu Anda siap. Saya langsung ke kamar Anda…” katanya sambil berlalu. Halah! (*)