Arsip untuk Desember, 2008

10
Des
08

Dongeng tentang Monas

monas_kaki

PERISTIWA itu nyaris luput dari perhatian. Seorang lelaki yang ditangkap bersama komplotannya atas kepemilikan sejuta butir pil ekstasi, ternyata sudah bebas. Pengadilian Negeri Jakarta Barat yang mengadili kasus ini menghukumnya dengan pidana penjara, satu tahun.

Pria itu, Liem Piek Kiong alias Monas, ditangkap November 2007 melalui drama penggrebekan di Mal Taman Anggrek Jakarta, dilanjutkan dengan pencidukan istri Liem di kediaman Achmad Albar, penyanyi rock ternama di era 80-an.

Sebelumnya, pengadilan yang sama telah menjatuhkan vonis mati kepada istri Monas, Jet Lie Chandra alias Cece, dan rekan bisninysa, Liem Jit Wee dan Chua Lik Chang alias Asok. Sementara istrinya mendekam di penjara menunggu pelaksanaan hukuman sambil melakukan upaya-upaya perlawanan, sang suami sudah melenggang. Bebas!

Aneh? Tentu saja. Itu jika hukum berlaku sebagaimana seharusnya. Tapi di negeri macam ini hukum pun mengalir seperti layaknya dongeng, bisa direka sesuai selera si pendongeng. Bisa tak masuk akal, bisa ganjil, bisa pula seakan dapat dinalar.

Kasus Monas pun ada nalarnya. Begini, kata Jaksa Agung Muda Pidana Umum A H Ritonga, Monas berbeda dengan istrinya dan dua anggota komplotannya itu. Jika ketiga orang itu diadili atas kepemilikan narkotika, maka Monas cuma sebagai saksi.

Ya, saksi –yang kemudian terbukti memiliki dan menggunakan sabu– lantas diproses sebagai tersangka pengguna (bukan pengedar). Karena barang buktinya hanya 1,5 gram, maka hukumannya pun enteng saja. Setahun, potong masa dalam tahanan, potong lain-lain, kini ia sudah menghirup udara segar.

Mau bukti lain tentang keganjilan hukum kita dalam kasus narkoba? Coba saja periksa berita-berita surat kabar, atau bukai arsip persidangan di berbagai pengadilan negeri terutama menyangkut kasus-kasus ini.

Seorang warga di sebuah daerah, misalnya, di dihukum penjara empat tahun dan bayar denda Rp 150 juta. Ia dianggap bersalah karena menguasai seperempat butir pil ekstasi. Selang beberapa waktu, pengadilan yang sama mengganjar seorang pemilik 1.400 butir ekstasi dengan pidana penjara sembilan bulan dan denda Rp 200 juta.

Nalar sederhana saja bisa dengan cepat menangkap keganjilan pada dua kasus ini. Jika orang yang membawa seperempat butir pil ekstasi dihukum empat tahun penjara, seharusnya orang yang menguasai 1.400 butir pil yang sama dihukum 5.600 tahun penjara. Apalagi sejuta butir!

Bisa jadi, realitas hukum seperti inilah yang menyebabkan upaya pemberantasan penyalahgunaan narkoba, seperti tak membuahkan hasil. Bagaimana hukum bisa tegak jika aparat penegaknya ada yang terlibat sejak dalam penindakan, proses penyidikan, proses penuntutan, pembelaan, sampai jatuhnya vonis, bahkan sampai ke dalam penjara.

Ini bisa terjadi karena bisnis narkotik itu melibatkan duit yang betumpuk. Seorang pejabat pernah mengemukakan perkiraan setidak-tidaknya Rp 6 triliun uang dibelanjakan oleh para pecandu narkoba saban bulan di seantero negeri ini.

Duit berkarung-karung ini tentu dengan mudah bisa membutakan mata siapa pun yang tipis iman. Apalagi kalau orang biasa, buta hukum pula, pasti dengan sangat mudah tergiur mendapatkan uang besar secara cepat.

Itu sebabnya, pengedar dan pemakai barang-barang itu kini bukan saja dari kalangan masyarakat yang tingkat kesejahteraan memadai tetapi sudah melibatkan kelompok miskin. Boleh jadi, orang kaya menghamburkan duitnya untuk memperoleh kesenangan melalui narkotika. Kelompok miskin terlibat di dalam bisnis ini untuk memperoleh sedikit kekayaan dengan cara singkat. Lalu ada aparat yang memanfaatkan situasi ini untuk kepentingan dan kesenangan mereka.

Jadi kalau orang seperti Monas bisa melenggang bebas, ya bukan hal yang aneh. Namanya juga negeri dongeng! ***

01
Des
08

Bukan “Intel Melayu”

adam_malik_tim_weiner1

HEBOH meledak menyusul terbitnya Legacy of Ashes: The History of CIA yang di Indonesia diterbitkan di bawah judul Membongkar Kegagalan CIA. Ditulis oleh Tim Weiner wartawan kawakan The New York Times, buku ini mengungkap peran CIA dalam peta politik Indonesia terutama seputar periode Gerakan 30 September 1965.

Hal yang paling mengejutkan banyak pihak di tanah air adalah pengungkapan fakta bahwa Adam Malik –mantan wartawan yang jadi Menteri Luar Negeri kemudian jadi Wakil Presiden di era Soeharto– disebut-sebut sebagai kaki tangan dinas rahasia AS (CIA – Central Intelligence Agency).

Weiner mendasarkan tulisannya pada wawancara dengan pejabat tinggi CIA Clyde McAvoy pada 2005. McAvoy mengaku bertemu Adam Malik pada 1964. “Saya merekrut dan mengontrol Adam Malik,” ujar McAvoy sebagaimana dikutip Weiner.

Kontroversi meledak menyusul terbitnya buku ini. Wakil Presiden Jusuf Kalla meminta Weiner bertanggung jawab karena telah menuding Adam Malik –tokoh nasional Indonesia– sebagai agen Amerika. Pihak keluarga marah dan berniat menyusun buku tandingan.

“Saya sebagai wapres menyesalkan tulisan itu. Saya tidak percaya, dan tidak mungkin Pak Adam Malik menjadi seperti apa yang ditulis itu,” kata Kalla setelah di Jakarta, Senin (24/11/08 ).

Apakah pemerintah perlu menarik peredaran buku setebal 832 halaman karya pemenang Pulitzer itu? Kalla bilang, “Sekarang bukan saatnya tarik-menarik. Kalau perlu, kita pelajari, dan kita minta pertanggungjawaban penulis buku, apa alasannya itu.”

Putri Adam Malik yang jadi anggota DPR RI, Antarini Malik, marah. Antarini, Senin (24/11) kemudian meminta kepada negara untuk bisa turun tangan membersihkan nama baik bapaknya dari tudingan Tim Weiner.

“Weiner di sana dikenal sebagai wartawan yang senang mencari sensasi. Supaya bukunya laku, dia memang suka menulis soal CIA. Saya kemudian menjadi bertanya, jangan-jangan yang diwawancarai dia itu sudah tidak ada lagi,” kata Antarini.

Membongkar Kegagalan CIA ditulis berdasarkan 50.000 dokumen, khususnya arsip CIA, arsip Gedung Putih, dan arsip Departemen Luar Negeri Amerika, ditambah 2.000-an bahan dari para perwira intelijen Amerika, tentara, dan diplomat. Weiner juga melakukan 300 lebih wawancara dengan para perwira dan veteran CIA, termasuk dengan 10 direktur intelijen pusat.

Pada pengantarnya, Weiner menyatakan “Buku ini bersifat on the record — tidak ada sumber tanpa nama, tidak ada kutipan buta, tidak ada gosip.” Mungkin karena itu pula buku ini mendapat penghargaan antara lain National Book Award 2007 untuk nonfiksi terbaik di Amerika. Selain itu, tak kurang dari 12 majalah ternama di dunia memasukkannya sebagai buku terbaik 2007.

Di tanah air, majalah Tempo edisi 1-7 Desember 2008 mengangkatnya sebagai laporan utama, dilengkapi wawancara tertulis dengan Weiner, dan wawancara dengan tokoh- tokoh nasional termasuk Rosihan Anwar dan Joesoef Isak, kawan dekat Adam Malik.

Benarkah Adam Malik jadi tangan-tangan CIA, entahlah. Yang jelas, dunia intelijen — sebagaimana sifatnya– senantiasa tertutup, serba rahasia. Ia bisa “merekrut” seorang tokoh diplomat, ekonom, wartawan, ilmuwan, atau bahkan bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa.

Sosok yang “bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa” pun bisa dibangun melalui berbagai pendekatan dan pasokan informasi serta peran jaringannya yang kemudian mampu membangkitkan kepribadian sang agen, sementara yang bersangkutan sama sekali tak menyadarinya.

Jika pun ada yang secara sadar resmi direkrut sebagai agen dan digaji, tentu saja dia tak akan membuka mulut atau bahkan pamer diri bahwa dirinya agen rahasia. Beda dengan “intel melayu” yang meskipun dalam penyamaran atau operasi tertutup, gerak- geriknya gampang sekali dikenali dan dibaca. Wong, mereka sendiri sering kali setengah pamer seperti ingin dikenali.

Baik operasi intelijen maupun kontra intelijen, seringkali menampilkan pola dan wajah yang sama: Sama canggihnya, sama kejamnya, sama liciknya, sama biadabnya, sama- sama tak pandang bulu, kadang sama-sama tak berperikemanusiaan, sama-sama tak bermoral, dan…. entah apa lagi. ***

Liihat: curah