Arsip untuk Mei, 2009

24
Mei
09

Riana dan Zuckerberg

riana-zuckerberg

KABAR mengejutkan sekaligus membanggakan itu datang dari Universitas Gajah Mada Yogyakarta. Seorang remaja putri berhasil lulus dari Fakultas Kedokteran di universitas itu pada usia 17 tahun 11 bulan. Dia diwisuda sehari menjelang peringatan Hari Kebangkitan Nasional, atau dua pekan setelah peringatan Hari Pendidikan Nasional.

Remaja putri itu Riana Helmi, kelahiran Banda Aceh 22 Maret 1991. Dia masuk sekolah dasar pada usia empat tahun. Kemudian SMP dan SMA Negeri 3 Sukabumi lewat program akselerasi, yakni program percepatan pelayanan pendidikan bagi anak berkemampuan dan berkecerdasan luar biasa.

Prestasi yang diraih anak baru gede (ABG) itu tentu saja patut dicatat secara istimewa, di tengah keriuhrendahan omong kosong dan obral janji politisi dari pemilu ke pemilu. Khususnya mengenai perbaikan sistem dan program pendidikan bagi segenap anak bangsa.

Kemunculan Riana Helmi dengan prestasinya menunjukkan bahwa jika ada kesempatan, peluang, dan perhatian, seorang anak bisa mengecap pendidikan yang lebih baik dan mencapai jenjang setinggi mungkin sejauh yang bisa dijangkaunya.

Pada setiap kurun selalu saja ada orang muda yang berkemampuan luar biasa dan mencapai prestasi istimewa. Di Tanah Air, baru- baru ini kalangan akademisi menyambut bangga hadirnya Dr Firmanzah yang pada usia 32 tahun terpilih sebagai dekan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (2009-2013). Sangat boleh jadi, dia merupakan dekan termuda di Tanah Air.

Sebelumnya lagi, dunia pendidikan nasional mencatat hadirnya Anis Baswedan yang pada usia 38 tahun menjadi rektor Universitas Paramadina Jakarta. Selain sebagai rektor paling muda di antara pemimpin perguruan tinggi di Tanah Air, Anis merupakan satu di antara 100 intelektual dunia setara dengan Samuel Huntington, Francis Fukuyama, Thomas Friedman, dan sederet ilmuwan penting lain (versi jurnal Foreign Policy, Amerika Serikat).

Dari negeri seberang, kita mengenal Mark Zuckerberg yang pada usia 20-an telah membuat jutaan orang terhubung, tergantung, dan kecanduan pada hasil karyanya. Anak muda itu putus sekolah formal dan memusatkan perhatian pada teknologi informatika. Dia memulai facebook dari kamarnya pada awal 2004, dan memantapkan situsnya di tengah bisnis situs jejaring sosial.

Awal 2009, lebih 170 juta orang di dunia saling berhubungan. Baru-baru ini, ada yang menyebutkan jumlah ‘warga’ facebook di dunia di atas 200 juta orang. Kini, pada usia 23 tahun Zuckerberg adalah orang termuda paling kaya di dunia yang menghasilkan kekayaan atas usahanya sendiri.

Tentu masih banyak anak muda di seluruh penjuru bumi yang memiliki keistimewaan sebagaimana Zuckerberg. Juga tak kurang anak bangsa di pelosok Tanah Air yang –sangat boleh jadi– punya potensi yang sama namun tidak memperoleh kesempatan sebagaimana Riana Sang Dokter, Firmanzah Sang Dekan, maupun Anis Sang Rektor.

Di pedalaman Kalimantan, Nusa Tenggara, bahkan di Papua misalnya, banyak potensi kecerdasan yang terpendam oleh  ketertinggalan. Pembangunan pendidikan –dan sektor lain– yang selama ini terpusat di bagian barat Indonesia, terutama di Pulau Jawa, telah membuat potensi di luar itu seakan terabaikan. Ia baru tampak manakala betul-betul luar biasa dan karena itu menjadi perbincangan luas, atau manakala betul-betul dicari.

Dua tahun lalu, Tim Olimpiade Fisika Indonesia (TOFI) menemukan fakta bahwa anak-anak di Papua ternyata memiliki kemampuan intelektual yang tidak kalah dari saudaranya di Jawa dan Sumatera. Kelemahan anak dari daerah, justru pada latar belakang pengajaran dan pengajarnya. Setelah dilatih selama enam bulan, anak Papua itu mampu berprestasi dalam olimpiade fisika berkelas internasional.

Keberhasilan tokoh muda itu sengaja disampaikan, semata untuk menggugah dan mengingatkan kembali semua pihak mengenai  perlunya perhatian khusus kepada siswa yang memiliki kemampuan, kecerdasan dan bakat yang luar biasa.

Perlu ada strategi sistematika yang tidak sekadar kelas akselerasi, sebagaimana dijalankan sejumlah sekolah selama ini. Melainkan program yang secara efektif mampu menumbuhkan potensi anak berbakat, bukan hanya mengejar agar anak cepat lulus. Dengan demikian, di kemudian hari kita akan makin sering mendengar dan menyaksikan anak-anak kita mencapai sukses di segala bidang dalam usia muda.

Semua perhatian, dukungan sarana dan fasilitas, haruslah dikerahkan untuk menggali dan mengembangkan potensi itu agar ia menjadi kekuatan. Karena, di tangan anak muda seperti itulah masa depan bangsa ini terletak. ***

21
Mei
09

Duka Cita Sang Hercules

herkules

MUSIBAH itu datang lagi. Pesawat Hercules milik Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara (TNI AU) jatuh di Magetan Jawa Timur. Pesawat yang mengangkut 98 penumpang dan 13 awak itu  sempat menabrak rumah penduduk sebelum akhirnya jatuh dan terbakar. Seminggu sebelumnya, pesawat sejenis yang dioperasikan TNI, terperosok di Wamena.

Dua insiden itu menambah panjang daftar kecelakaan pesawat milik TNI. April lalu, sebuah pesawat Fokker 27 TNI AU meledak setelah jatuh menimpa hangar PT Dirgantara Indonesia (PT DI) di sisi Bandara Husein Sastranegara Bandung.

Sebelumnya, kepingan logam penutup mesin Hercules jatuh di Jagaraksa, Tangerang (2007). Hal yang sama terjadi dua tahun sebelumnya di Kecamatan Medayan, Madiun.

Musibah di Magetan kemarin merupakan yang terbesar menimpa keluarga besar TNI dalam dasawarsa terakhir. Awal 1990-an sebuah Hercules yang mengangkut Pasukan Khas (Paskhas) TNI AU jatuh di Jakarta dan menewaskan seluruh penumpangnya.

Hercules adalah jenis pesawat terbang yang dikenal andal dan banyak digunakan militer berbagai negara di dunia. Mampu lepas landas dan mendarat dari landas pacu yang pendek, bahkan landas pacu darurat.  Karena keampuhannya itu, banyak digunakan untuk angkutan barang, pengamatan cuaca, rumah sakit terbang, bahkan tanker bahan bakar udara.

Sejak pertama kali dibuat tahun 1954 oleh Lockheed, pabrik pesawat di Burbank, California, Amerika Serikat, tak kurang 40 model Hercules dibuat dan dipasarkan. Hercules tipe C-130 sebagaimana yang dimiliki TNI AU adalah pesawat favorit untuk kepentingan militer. Tak kurang dari 2000 C-130 telah dibuat dan dioperasikan, termasuk di Indonesia.

Timbul pertanyaan, jika melihat ‘reputasi’ pesawat jenis itu di medan tempur dan di medan yang sulit, mengapa di Tanah Air kita justru termasuk yang paling sering mengalami masalah? Benarkah pesawat tangguh yang disiapkan untuk menjaga negara ini banyak yang rapuh karena tidak dirawat secara memadai?

Sesaat setelah insiden Madiun, Presiden sebagai Panglima Tertinggi TNI menyatakan, negara tidak pernah mengurangi anggaran perawatan infrastruktur militer. Yang terjadi adalah menunda pembelian alat baru.

Di lapangan, fakta menunjukkan sejumlah pesawat tempur kita sudah uzur. Misalnya, Bronco OV-10, bikinan 1976 yang dioperasikan TNI sejak 1979, kini hanya empat –dari sembilan unit– yang bisa disebut layak terbang.

Kondisi kesiapan pesawat tempur di bawah standar juga terjadi atas Hawk MK-53 buatan 1977. Dari delapan unit yang ada, hanya dua yang laik terbang. Selain itu, sejumlah pesawat angkut Fokker 27 buatan 1975, dari tujuh yang ada hanya empat yang siap terbang.

Tanah Air kita merupakan negara yang sangat luas, kepulauan, dan memiliki garis pantai terpanjang. Kondisi itu menuntut perlindungan yang maksimum. Dengan anggaran yang minim, alat utama sistem pertahanan akan lemah, dampaknya pertahanan tidak lagi memadai, yang berarti ancaman jadi jauh lebih besar.

Insiden telah terjadi, dan tentu saja tak satu pun di antara kita yang ingin hal itu terjadi lagi. Yang diharapkan justru sebaliknya, yakni pemerintah betul-betul memperhatikan secara serius persoalan tersebut, karena masalahnya tidak semata pada ketiadaan anggaran, melainkan pada niat dan kemauan untuk membangun kekuatan pertahanan yang memadai.

Dan yang terpenting lagi, peristiwa di atas hendaknya benar-benar jadi pemicu yang menyadarkan petinggi negara dari keterlenaannya selama ini. Pertahanan dan segala unsurnya selalu dijadikan komoditas politik dan perang retorik. Tak selayaknya prajurit gugur akibat kelalaian negara dalam mengelola dan menjalankan sistem pertahanannya.  ***

17
Mei
09

Tiga Kandidat

genderang_perang_kalla-mega-sby

GENDERANG sudah ditabuh. Pertarungan dimulai. Tiga kandidat akan maju ke arena pemilihan presiden pada Juli 2009. Pekan lalu agenda politik nasional yang dipadati aneka spekulasi dan kontroversi, ditutup oleh atraksi formal pendaftaran para calon presiden dan wakilnya ke Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Di antara pasangan kandidat itu adalah presiden dan wakil presiden yang kini menghabiskan sisa masa baktinya, namun maju ke arena pemilihan presiden dengan bendera berbeda. Ada mantan presiden, ada bekas perwira tinggi militer, dan ada ilmuwan.

Dari tiga pasang calon presiden dan wakil presiden itu tidak tampak tokoh dari partai, golongan, maupun kelompok yang dianggap sebagai representasi dari kekuatan religius. Di masa sebelumnya, komposisi nasionalis-religius selalu menjadi acuan kepemimpinan nasional. Di samping, paduan unsur Jawa dan luar Jawa yang kini pun tidak menjadi persoalan.

Paduan nasionalis-religius (terutama Islam), memang tak lepas dari fakta historis. Pemilu 1955 menunjukkan terjadi pertarungan ideologi antara kubu Islam yang diwakili Masyumi dan NU, dengan kubu nasionalis diwakili PNI, serta kubu komunis diwakili PKI.

Namun tampaknya perdebatan ideologi politik antara kaum religius dengan nasionalis itu sudah kehilangan roh. Hal itu tampak pada pemilihan presiden 2004-2009, yang akhirnya dimenangkan pasangan Yudhoyono-Kalla yang ‘hanya’ mencerminkan ideologi nasionalis.

Demikian halnya dengan wacana paduan unsur Jawa versus luar Jawa. Pada pemilihan presiden kali ini tampaknya sudah tidak terlalu menjadi persoalan betul, karena dari tiga kandidat pasangan calon presiden dan wakil presiden itu, hanya satu yang betul-betul mencerminkan ‘luar Jawa’.

Apakah kecenderungan itu menunjukkan bahwa arena politik kita sudah lepas dari primordialisme agama dan kesukuan, sehingga hari-hari berikutnya bangsa kita berpolitik secara jernih? Tentu saja, belum tentu!

Namanya juga politik. Segala hal bisa terbolak-balik, bahkan dalam hitungan detik. Yang semula kawan, bisa mendadak menjadi lawan. Begitu pula sebaliknya, sebagaimana tampak pada perilaku politik para elite menjelang pencalonan presiden kemarin.

Akal sehat publik dipaksa menerima realitas ‘perkawinan’ antara partai yang pernah ditindas, dengan partai yang dipimpin tokoh yang menjadi bagian dari penindasnya. Atau dua partai tiba-tiba bergabung, padahal yang satunya adalah sempalan dari partai asal. Bagaimana pula partai yang tokohnya murka dan mengumbar amarah karena usulnya tak diakomodasi, tiba-tiba melunak dan langsung menghablur ke dalam persekutuan.

Namun bangsa Indonesia tentu cukup cerdas untuk menilai tingkah laku para elite politiknya, sehingga tidak akan mudah dikibuli omong kosong para politisi dengan jargon dan retorikanya.

Mereka sudah melihat bukti nyata hasil kerja para politisi kita di masa sebelumnya. Korupsi jalan terus, komunikasi politik sarat dengan bagi-bagi kursi. Kekerasan dan intoleransi tumbuh di mana- mana. Politik jadi penuh nafsu, bukan lagi sarana untuk menjalankan amanah. Itulah yang tampak dari hari ke hari, bahkan sampai menjelang pencalonan presiden dan wakil presiden.

Kini, fase paling menentukan sudah dilalui. Rakyat sudah diberi tiga pilihan. Terlepas dari kelebihan dan kekurangan masing- masing, tiga kandidat pasangan pemimpin nasional itu adalah putra-putri terbaik yang bersedia mengorbankan kepentingan pribadinya demi bangsa dan negara.

Siapa pun yang nanti terpilih, itulah pilihan terbaik. **

13
Mei
09

Politik Pamer Amarah

pameramarah

KEMARAHAN. Itulah yang tampak pada pernyataan dan ungkapan tokoh politik –terutama dari Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS)– saat diwawancara reporter televisi, terkait dengan keputusan Yudhoyono menggandeng Budiono.

Berbagai dalih dilontarkan untuk memperkuat penolakan dan ketidakpuasan mereka atas pilihan Yudhoyono dan Partai Demokrat terhadap pendampingnya.

Duet capres dan cawapres dari Partai Demokrat belum resmi diumumkan. Informasi yang sengaja dibocorkan itu kontan meledakkan kontroversi di kalangan peserta koalisi. Para politisi menampilkan wajah aslinya, dan pers mendapat santapan hangat. Dalam tempo singkat kontroversi itu jadi wacana publik.

Disadari atau tidak, informasi yang sedang ditunggu banyak pihak –terutama penggiat politik– itu dialirkan pada awal pekan ini bersamaan dengan peringatan ‘Insiden Mei’ yang jadi puncak reformasi di tanah air.

Dinamika politik hari-hari ini tidak bisa dilepaskan dari apa yang terjadi pada 11 tahun silam saat gerakan reformasi mengantarkan bangsa Indonesia ke gerbang demokratisasi. Suatu kewajaran andai elemen bangsa ini tetap memperingatinya, sekaligus menoleh sejenak ke masa silam untuk memperoleh perspektif yang lebih baik bagi langkah ke depan.

Ingar bingar percaturan politik kekuasaan diselingi pamer kemarahan tokohnya, memalingkan perhatian publik dari momentum reformasi. Padahal momen itulah yang membukakan jalan bagi aktor politik, sehingga mereka bisa mencapai panggung masing-masing saat ini.

Tidak saja di ibu kota yang jadi pusat gempa politik, di sejumlah daerah pun kita melihat kecenderungan yang hampir sama. Saling dorong dan baku tarik pengaruh di antara elite politik, dan antara elite politik dengan pelaksana pemerintahan melalui isu yang tidak langsung menyentuh kepentingan rakyat.

Kita melihat, sebelas tahun pascareformasi ini telah digunakan dengan sangat baik oleh para pendosa untuk menghapus jejaknya. Bahkan kini ada di antara mereka yang tampil sebagai pengawal dan mengesankan diri sebagai tokoh paling reformis.

Rakyat dilarutkan dalam situasi sedemikian rupa sehingga perhatiannya teralih dari agenda reformasi. Keriuhrendahan yang mereka bikin, telah memaksa rakyat melupakan arsitek politik kerusuhan.

Insiden Mei sebelas tahun silam adalah puncak perubahan yang ditandai berbagai kerusuhan yang menewaskan dan ‘menghilangkan’ banyak orang. Hingga kini, tak ada satu pun dari kasus kerusuhan itu yang diselesaikan dengan tuntas.

Di Banjarmasin, misalnya, peristiwa kelam 23 Mei 1997 tak pernah jelas duduk perkara pertanggungjawabannya. Demikian pula insiden 27 Juli 1996 di Jakarta yang kemudian melahirkan PDI Perjuangan.

Peristiwa pelanggaran berat hak asasi manusia seperti yang terjadi di Sambas, Sangau Ledo (Kalbar), Sampit (Kalteng), tragedi Talangsari (Lampung), Wamena (Papua), Kupang (NTT), Ambon (Maluku), Poso (Sulawesi), Aceh, dan lain-lain, juga mengalami nasib sama, seolah sengaja dibiarkan terkubur waktu.

Omong kosong dan silat lidah politik yang dipamerkan elite membuat kita lupa tentang dosa kemanusiaan rezim sebelumnya. Berkat reformasi, rezim pun silih berganti melalui pemilu demi pemilu, namun belum ada perubahan signifikan yang bisa memberi harapan besar dan angin segar kepada rakyat.

Tak satu pun di kalangan petinggi partai yang ingat bahwa posisi mereka sekarang amat ditentukan gerakan demi gerakan yang berpuncak pada reformasi Mei.

Rezim sudah berulangkali berganti, namun banyak hal yang tak kunjung selesai dan seakan sengaja dihapus dari ingatan kolektif masyarakat. Ya, rakyat mungkin bisa dibuat lupa, tapi ingatan sejarah akan tetap mencatatnya.

10
Mei
09

Artis Senayan, Selamt Datang!

operasenayan2

SENAYAN akan lebih marak. Selain diramaikan oleh wajah baru, Gedung DPR/MPR akan pula dimeriahkan oleh para pesohor yang wajahnya tak asing lagi di panggung hiburan dan layar televisi. Aktor dan aktris, pelawak, pembawa acara, kini berganti peran dan pindah panggung.

Sejenak, perhatian publik yang sempat dibetot heboh Antasari Azhar, Rani Juliani, Nasruddin Zulkarnaen, ditarik lagi ke hiruk-pikuk perebutan kursi dan posisi di anatara para penggiat politik.  Kemunculan kasus ini –disengaja atau tidak– sedikit memalingkan perhatian publik dari kekacauan dan karut-marut penyelenggaraan pemilu.

Merujuk pada hasil akhir Pemilu 2009, dari 560 kursi yang disediakan bagi wakil rakyat di Senayan, 70 persen di antaranya akan diduduki wajah baru. Dari jumlah itu, sekitar 10 persen adalah wakil rakyat yang semula bergiat di dunia hiburan.

Ada Vena Melinda, Inggrid Kansil, Nurul Qomar dari Partai Demokrat, Rieke Dyah Pitaloka dan Dedi ‘Miing’ Gumelar dari PDIP dan Tantowi Yahya serta Nurul Arifin dari Partai Golkar. Sebut pula Primus Yustisio di bawah bendera PAN dan Rachel Maryam (Partai Gerindra), serta sejumlah nama lain yang selama ini dikenal lewat layar kaca maupun dunia film.

Di luar para selebritas, opera politik di Senayan pada kurun 2009-2014 dilengkapi pula oleh pendatang baru yang terkait hubungan dengan politisi gaek maupun tokoh pemerintahan. Entah itu anak, istri, menantu, adik, keponakan, maupun kerabatnya.

Sosok Edhie Baskoro putra Susilo Bambang Yudhoyono, dan Puan Maharani putri Megawati Soekarnoputri, serta putra Amien Rais, hanya segelintir di antara mereka yang masuk panggung politik melalui jalur dinasti itu.

Tentu saja itu bukan yang pertama kali terjadi. Pemilu sebelumnya pun telah mengantarkan sejumlah artis ke Senayan. Bahkan beberapa di antara mereka kemudian terpilih sebagai kepala daerah, menjadi eksekutif, memimpin pemerintahan. Bedanya, kali ini jumlah mereka jauh lebih banyak dibanding sebelumnya.

Sejauh ini, episode opera politik menuju Senayan masih landai- landai saja karena memang baru pada tahap pembukaan, prolog. Belum memasuki alur cerita nyata yang sebenarnya.

Pada babak berikutnya, suasana pasti akan sangat berbeda. Aktor panggung hiburan dan politisi dinasti itu, akan beradu peran nyata dengan aktor politik tulen. Rakyat, kembali akan disuguhi tontonan demokrasi khas anak negeri.

Aktor politik asli akan menunjukkan kapasitas dan kepiawaian mereka berakting. Memperlihatkan keahlian mereka merapal jurus silat lidah yang canggih. Tak peduli apakah jurus lidahnya itu menjilat ludah sendiri, atau menjilat pihak lain yang dianggap bisa memperkuat posisinya.

Keriuhrendahan di Senayan, pasti akan sangat diwarnai oleh serunya tarik menarik kepentingan politik di luar gedung. Isyarat ke arah itu tampak jelas sejak penghitungan suara hasil pemilu legislatif dimulai, sampai penetapannya, Sabtu (9/5/09) malam.

Di luar panggung Senayan, para aktor utama partai politik terus melakukan akrobat yang kadang seperti melecehkan akal sehat rakyat. Mereka menata ulang gerak-gerik sendiri untuk menghimpun kekuatan menuju pemilihan presiden Juli nanti.

Gemuruh persekongkolan antarpartai dengan mendeklarasikan apa yang mereka sebut sebagai Koalisi Besar, tiba-tiba seperti tidak relevan lagi. Partai Golkar dan Hanura lebih dahulu saling mengikatkan diri dalam sebuah koalisi, yang ternyata bermakna menggandengkan Jusuf Kalla dengan Wiranto sebagai calon presiden dan calon wakil presiden.

Di lain pihak, PDIP yang sejak awal memosisikan diri sebagai oposan –bahkan dengan Golkar pun tak mau bergandeng– belakangan malah melirik Partai Demokrat. Rupanya dengan umur jagung pun, persekongkolan –yang digagas para elite dengan mengatasnamakan kepentingan bangsa– itu, usianya lebih pendek.

Maka koalisi yang dideklarasikan tak kurang dari sebulan lalu itu, mendadak kehilangan makna ketika para pendekar dari partai- partai besar tersebut melakukan ginkang politik. Persis pada saat-saat yang menentukan menjelang pemilihan presiden.

Di luar itu semua, rakyat tetap menjadi penonton setia yang dipaksa menyaksikan dan menerima apa saja lakon yang dimainkan para politisi itu. Entah politisi tulen, entah itu politisi pelawak dan artis, entah itu politisi dinasti.

Mudah-mudahan, bukan hal yang terpapar di atas yang membuat rakyat makin lama kian muak untuk ikut serta dalam proses politik. Jika tidak, harus ada alasan lain yang menjelaskan mengapa dalam pemilu lalu hampir 50 juta pemilih tak menggunakan haknya. ***