Posts Tagged ‘afganistan

22
Okt
13

Tragedi Para Pencari “Genesis”

Gambar

POLISI Sukabumi, Jawa Barat, menangkap empat lelaki, yang diduga merupakan anggota jaringan penyelundupan manusia ke Pulau Australia. Orang-orang itu diduga kuat yang akan menyeleundupkan 88 imigran asal suku Rohingnya, Myanmar. Orang-orang Rohingnya ini keluar dari negerinya, untuk menghindarkan diri dari ancaman dan tekanan kaum mayoritas.

Dua pekan sebelumnya, sebah tragedi kemanusiaan terjadi di (lagi) di perairan Indonesia, di selatan Pulau Jawa. Sebuah kapal imigran berpenumpang 79 orang tenggelam di sekitar Pantai Cikole Desa Sinar Laut Kecamatan Agrabinta Kabupaten Cianjur Provinsi Jawa Barat, Jumat (27/9/13).

Kapal yang mengangkut pengungsi dari Timur Tengah itu kandas, remuk menabrak hamparan karang. Data terakhir menunjukkan setidaknya 22 orang ditemukan tewas, 35 selamat dan sisanya masih dalam pencarian.

Bahtera itu sejatinya merupakan kapal nelayan, namun diubah fungsi jadi kapal penumpang untuk mengangkut para imigran asal Suriah, Iran, Irak, Afganistan, Yordania dan Afrika. Mereka berangkat dari negeri masing-masing untuk menghindari perang saudara, teror, atau semata untuk menuju hidup baru yang mereka impikan bisa diperoleh di negara lain.

Mereka bertolak dari negerinya, memulai perjalanan menempuh ribuan mil menuju tanah harapan, Australia. Kapal kecil sarat penumpang ini membelah keganasan laut, menyusuri pesisir selatan Jaw Barat semeblum disambut gelombang dahsyat Samudera Hindia, yeng kemudian menghempaskannya tanpa ampun.

Hanya satu keinginan kuat yang mendorong para eksodan ini untuk meninggalkan negerinya, membebaskan diri dari kemelut politik yang menyengsarakan mereka. Begitu besar dan kejamnya kesengsaraan itu, telah membulatkan tekad orang-orang ini meninggalkan tanah airnya. Rombongan ini, hanyalah satu di antara puluhan, mungkin ratusan “manusia perahu” sejenis yang satu persatu menempuh samudera, meninggalkan negerinya.

Warga Indonesia yang hidup dalam suasana tenteram dan damai mungkin tak akan bisa membayangkan, kekejaman dan kekacauan macam apa yang mendera orang-orang ini, sehingga mereka menyatukan tekad menempuh bahaya –yang boleh jadi-tak kalah ganasnya dengan yang mengancam mereka di dalam negeri– dengan mengarungi lautan, seperti mencari Genesis.

Daripada jadi korban saudara sebangsa, daripada dibunuh oleh bangsa sendiri, lebih baik mereka mati oleh tinakan sendiri menempuh masa depan. Setidaknya, mereka telah berusaha meraih cita-cita, kalau kemudian kandas juga seperti yang terjadi di Cianjur Selatan itu, ya lain perkara.

Kita hanya bisa menduga-duga, mungkin rombongan yang kemudian nahas itu, mengalami nasib seperti yang dialami saudara-saudaranya di negara lain. Mereka jadi korban kebuasan kekuasaan, jadi taruhan ambisi para politisi, jadi korban pertentangan ideologi, atau bahkan jadi tumbal perseteruan suku.

Megarungi ribuan mil, menempuh keganasan ombak, menuju suatu tempat yang mereka sendiri tidak tahu apakah akan tiba atau tidak, apakah akan diterima atau tidak orang ‘tuan rumah’ baru, adalah tindakan yang memang nekad.

Peristiwa seperti yang terjadi di Pantai Selatan Cianjur itu bukanlah satu-satunya. Sebelumnya telah berulang kali terjadi insiden serupa. Manusia-manusia perahu kandas di pesisir-pesisir perairan Indonesia, di Sumatera, Pulau Jawa, atau di Nusa Tenggara barat dan Timur. Hampir semuanya merujuk pada kasus yang sama, yakni eksodus dari tanah airnya menuju tanah harapan.

Australia, pulau benua tetangga paling selatan Indonesia selalu menjadi tujuan. Dan, Indonesia yang persis berada di tengah perlintasan itu selalu jadi batu loncatan para imigran yang bermimpi mengubah hidup di negara harapan.

Gelombang terbesar “manusia perahu” yang meladan Indonesia terjadi di pertengahan tahunn 70-an sampai akhir 80-an, menyusul perang Vietnam dan konflik selanjutnya. Bangsa Indonesia yang tidak sedang berada dalam kemelut seperti yang dialami orang-orang yang mengungsi itu, dengan tangan terbuka dan keramahan serta penuh cinta kasih khas menampung mereka, melindungi, dan menyantuni mereka yang terlunta-lunta dan terusir dari negerinyna.

Dengan terbuka dan ketulusan pula, pemerintah Indonesia menyediakan Pulau Galang di Kepulauan Riau, untuk selama belasan tahun dimukimi para pengungsi Vietnam. Kini,dalam konteks yang hampir sama di tengah geopolitik yang terus berubah, gelombang manuisa perahu itu mulai melanda lagi. Bedanya, Indonesia semata dijadikan tempat persinggahan atau transit, sebelum menuju Australia.

Apa yang terjadi pada para manusia perahu itu, sebenarnya pernah pula dialami sebagian saudara-saudara kita. Bedanya, pengungsi bernenek-moyangkan bangsa pelaut ini terbirit-birit bukan karena perang, jecuali –mungkin– dalam kasus pengusngi Timor Timur dan Aceh. Mereka terusir kerena pertikaian yang entah bagaimana bisa meledak dan mengoyakkan sendi-sendi kerukunan yang selama ini terjalin erat bak saudara sedarah.

Peristiwa Ambon, Poso, Aceh, Sampit, dan terakhir di Madura ketika kaum Syiah dihakimi sebagai sesat dan diusir, dipaksa mengungsi. Kita mungkin bisa membayangkan, kira-kira bagaimana rasanya jika diri kita sendiri adalah bagian dari mereka yang kehilangan sanak saudara dan harus menyelamatkan nyawa dari saudara sendiri yang tengah kalap hanya kerana perbedaan keyakinan.

Ya. Memang absurd. Kita meletakkan ketuhanan dan rasa kemanusiaan yang adil dan beradab sebagai dasar-dasar falsafah kehidupan berbangsa dan bernegara. Tapi bersamaan dengan itu kita juga menyaksikan orang dengan mudah mencabut nyawa orang lain. Boleh jadi, saat-saat ini banyak manusia kehilangan kemanusiaannya, sehingga naluri kebinatangan yang dibakar rasa bencilah yang jadi panglima. ***