30
Nov
08

Cermin Teror “Tuan Takur”

terorTEROR kembali menampakkan wajah kerasnya. Kali ini di Negeri “Tuan Takur” India, menutup akhir pekan pamungkas November 2008. Lebih 120 orang tewas dalam serangan yang oleh media dilukiskan sebagai brutal di Mumbay.

Para teroris menyerang antara lain dua hotel kelas internasional yang biasa dihuni orang asing. Sebuah permukiman Yahudi juga diserbu dan diduduki. Terlepas dari apapun motifnya, tindakan macam itu yang telah menewaskan orang-orang tak bersalah, patutlah dikutuk.

India berkabung. Dunia berduka. Panik merajalela bersamaan dengan menjalarnya ketakutan dan kengerian, bahwa peristiwa seperti itu bisa terkadi di mana pun. Orang marah, tapi tak tahu harus melampiaskan ke mana.

Ya. Ketakutan, kengerian, kepedihan, kejaman, yang bercampur kemarahan, adalah efek yang dilahirkan dan dijalarkan teror. Amerika sedih, marah, dan ketakutan setelah kehilangan ribuan warganya dalam sekali sentak dalam tragedi World Trade Center. Sama halnya dengan perasaan yang dialami Jepang ketika Nagasaki-Hiroshima dibom- atom Amerika.

Tak jauh pula bedanya dengan bangsa Yahudi yang kehilangan sanak-saudara di kamp- kamp pembunuhan massal Jerman, sebagaimana kepedihan bangsa Palestina yang kehilangan sanak-anak, suami dan istri mereka dalam pembantaian sistematis oleh kaum Yahudi. Kengerian yang sama, pasti dialami bangsa Bosnia di bawah rezim teror Slobodan Milosevic.

Dari segi ini, sang mencipta teror telah berhasil dengan aksinya. Hanya saja, mengapa selalu orang sipil -warga biasa yang tak ada sangkut paut dengan perkara- yang jadi korban pertama dalam insiden-insiden macam ini?

Kita juga punya pengalaman pedih berada di bawah penindasan yang meneror tidak saja perasaan, tetapi sekaligus pikiran. Selama 30 tahun lebih, bangsa kita diteror penguasa sendiri yang kadang meminjam tangan sesama kita.

“Pelajaran teror” yang diserap dari rezim lalim itu, hingga kini masih sering dipraktekkan oleh siapa saja yang berkepentingan menekan pihak lain.

Kita dicabik-cabik kepedihan ketika ribuan putra-putri Aceh dibunuhi, ketika perempuan-perempuan Tionghoa diperkosai, ketika orang-orang Madura dipenggali, ketika bom-bom berledakan di Bali, Jakarta, Poso, Ambon, Papua. Teror terbukti efektif untuk memaksakan kehendak dengan cara menyebarkan ketakutan.

Kelompok tertentu dengan jaringan besar menetaskan teror dengan cara meledakkan “peluru kendali” pesawat besar penuh penumpang dan sarat bahan bakar ke gedung jangkung sebagaimana dalam insiden WTC, atau bom di Bali. Kelompok yang lebih kecil lagi meledakkan teror lewat pembantaian massal suku yang dianggap lawan.

Lainnya, mungkin perorangan, cukup dengan memamerkan rajah di sekujur tubuh, sambil jalan sempoyongan dan mata mengantuk, menadahkan tangan di simpang-simpang jalan.

Apa pun alasan di balik semua kejadian ini, korban yang sudah jatuh dan tak bisa bangkit lagi. Mereka jadi korban peradaban baru yang membangun tabiat manusia-manusianya kian hari ternyata bukan makin membaik, melainkan berbalik.
Ya, tabiat hasil peradaban baru ini seperti membalikkan manusia ke masa-masa pra-peradaban ketika spesies kita masih mengedepankan kebrutalan dan kekerasan, tanpa perikemanusiaan.

Bahasa kemarahan seolah satu-satunya alat komunikasi antara pihak yang berbeda pandangan dan keyakinan. Perseteruan antarsesama seakan hanya bisa diselesaikan dengan teror, kekerasan, dan … darah.

Kita boleh mati-matian menolak anggapan ini. Tapi itulah yang selalu terjadi dan terjadi lagi. Entah sampai kapan. (*)

lihat juga curah

0 Tanggapan to “Cermin Teror “Tuan Takur””



  1. Tinggalkan sebuah Komentar

Tinggalkan komentar