Posts Tagged ‘cendekiawan

02
Okt
16

Marwah, Raja, dan Nyawa

2016-10-02-20-39-52

Seorang cendekiawan terkemuka, doktor lulusan Amerika Serikat, mengaku Dimas Kanjeng Taat Pribadi Sang “Raja Probolinggo” adalah guru besarnya. Bu doktor yakin, lelaki yang ditangkap karena diduga terlibat kasus pembunuhan itu bukan pengganda uang. Kanjeng punya “karomah” untuk memanggil uang, mengadakan bukan menggandakan, katanya.

Ia pun mengutip sejawatnya, yang katanya seorang doktor juga, bahwa Dimas adalah seorang yang sudah mencapai ‘transdimensi’ yakni bisa melihat dimensi yang tidak bisa dilihat manusia lain. Karena itu, ia bisa memindahkan suatu benda tanpa terlihat. “Atas izin Allah ia bisa melihat satu ruang penuh uang (yang tidak bisa dilihat manusia biasa).”

Ihwal bersangkut-paut uang senantiasa menarik. Apalagi bisnis atau praktek lain yang dianggap bisa mengalirkan keuntungan secara cepat. Orang seakan tak pernah jera, kapok, belajar dari peristiwa-peristiwa sebelumnya sehingga dari masa ke masa selalu saja ada yang jadi korban.

Di Jawa Barat, pernah muncul Ahmad Zaini yang mengaku memiliki warisan yang nilainya berpuluh kali lipat dari nilai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Harta itu dalam bentuk emas lantakan tersimpan di sejumlah bank di luar negeri. Dia merelakan hartanya dijadikan modal usaha. Syaratnya para pengusaha harus mengajukan proposal proyek, dia akan mengucurkan dana.

Orang pun berbondong-bondong mengajukan proposal, lalu menanti penjelasan teknis yang kemudian disampaikan dalam sebuah forum di sebuah resort di kawasan wisata kelas satu di Bandung. Berita pun meluas, diikuti pro-kontra yang ramai, setelah ternyata apa yang dijanjikan itu tidak terbukti.

Di Kalimantan Selatan, kalangan pebisnis pernah terkaget-kaget oleh munculnya seorang pemuda yang namanya berkibar sebagai pengusaha lintas-bidang. Belakangan ia disebut ustad, setelah mengembangakn bisnis keuangan yang dia sebut sebagai pelaksanaan konsep mudarabah, alias bagi hasil sesuai syariat Islam.

Pria ini memutar uang konon melalu perdagangan permata, intan, dan berlian. Ia membeli tunai sebutir intan seharga tiga milyar rupiah tanpa proses berbelit, seperti layaknya orang beli sepotong pisang goreng. Ia membeli sebagian saham maskapai penerbangan Merpati yang kala itu sedang klenger. Belakangan, polisi menagkapnya. Ribuan pengikutnya sekaligus investor, gigit jari. Kini sang ustad masih mendekam di penjara.

Peristiwa serupa senantiasa berulang, baik yang berbau klenik sebagaimana yang pernah melibatkan seorang mantan menteri agama, atau seolah-olah rasional dan masuk akal sebagaimana yang dipraktekkan para pengelola arisan berantai via online, maupaun permainan berbasis uang (money game). Orang tak pernah kapok juga, sampai kini muncul Dimas Kanjeng.

Demikianlah, heboh “raja” pengganda uang ini masih terus menghiasi media, seakan tidak ada lagi topik lain yang lebih masuk akal yang layak dibahas. Apalagi setelah seorang tokoh yang dikenal sebagai ilmuwan, mantan anggota parlemen, pengurus ikatan cendekiawan muslim, membela sang raja jejadian itu mati-matian.

Berikutnya, para anggota Dewan Perwakilan Rakyat –lembaga sangat terhormat dan setara kepala negara– di negeri ini, turut ambil bagian. Para anggota Komisi Hukum DPR RI itu meninjau pedepokan sang tersangka, lalu menyambanginya di tahanan Polda Jawa Timur sehingga menarik perhatian media.

Perbincangan publik pun berkutat pada persoalan benar tidaknya kemampuan sang tokoh memanggil, mengadakan, menggandakan –apa pun istilahnya untuk mejadikan ada dari tiada– uang. Orang pun ramai membahas mengapa tokoh-tokoh besar, berilmu, berpangkat, berpengaruh, menjadi bagian dari ribuan pengikut raja jejadian itu, seolah mengesampingkan latar belakang penangkapannya.

Ya, Dimas Kanjeng Taat Pribadi, ditangkap di padepokannya, 22 September 2016, atas dugaan mendalangi pembunuhan dua bekas anak buahnya. Dua orang ini dihabisi lantaran dicurigai akan membuka rahasia bagaimana dia menggandakan uang pengikut. Satu di antara korban, diberitakan pernah diutusnya mengirim diam-diam sekoper uang ke tempat tinggal seorang cendekiawan, sehingga kiriman itu seolah muncul dari alam gaib.

Dua nyawa telah melayang, dan keduanya seolah dilupakan begitu saja. Ada baiknya, publik kembali ke muasal kisah ini, yakni betapa uang telah membutakan banyak orang. Uang telah membuat orang tega menghabisi sesamanya.

Persoalan uang dan pengadaannya tampaknya jauh lebih menarik daripada hilangnya nyawa dua tulang punggung sebuah keluarga. Berapa triliun rupiah pun diadakan, tak mungkin menghidupkan kembali siapa pun yang telah meninggal. Juga kedua pengikut sang “raja” itu yang akan membuka kebohongan tuannya dan mewartakan kebenaran. (*)