SEHELAI jaket tergantung di balik rak kaca pada bagian atas dinding depan dalam ruang redaksi di gedung lama Banjarmasin Post. Sekilas mirip jaket satuan tugas (satgas) ormas yang biasanya marak di saat kampanye. Tapi jika dicermati dengan lebih teliti, jaket itu adalah jaket `almamater’ gerakan Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI).
Usia koran ini jelas bukan kanak-kanak lagi, bukan pula remaja yang meledak-ledakkan romantisme perjuangannya secara gegabah. Kalau manusia, pada usia sekarang ini ia sudah mencapai tahap kematangan kedewasaannya, meski mungkin belum sampai pada tahap kebijakan pandita.
Sedangkan untuk sebuah media massa, usia itu adalah perjalanan panjang dari sebuah siklus kerja harian tanpa henti nyaris 24 jam setiap hari dan tujuh hari kerja setiap pekan, saban bulan, sepanjang tahun.
Konsistensi. Itulah salah satu kunci keberhasilan sebuah media, termasuk di dalamnya konsisten terhadap komitmennya untuk melayani khalayak pembaca, konsisten terhadap sikapnya sebagai salah satu pilar demokrasi masyarakat. Hal ini berlaku pula dalam kasus Banjarmasin Post.
Melalui usianya itu pula terlihat bahwa surat kabar ini lahir pada tempo yang nyaris bersamaan dengan bangkitnya kesadaran untuk merombak sebuah tatanan, sebuah ordo yang dianggap tidak sesuai lagi dengan tuntutan kebutuhan masyarakatnya.
Ya, harian ini boleh dikata lahir dari sebuah ordo yang menjungkirbalikkan tatanan lama, sekaligus memposisikan diri sebagai pengontrol ordo yang baru itu sendiri. Namun, celakanya ordo yang melahirkannya itu berkembang tanpa kendali, berubah jadi rezim penindas yang secara otoriter selama sekitar dua pertiga dari 32 tahun usia kekuasaannya.
Apa mau dikata, jangankan Banjarmasin Post — media di daerah yang jauh dari pusat kekuasaan– pada masa itu bahkan media raksasa pun kelimpungan dan kadang harus cerdik berkelit mencari celah aman agar tidak diinjak remuk oleh rezim yang secara sistematis memberangus kebebasan dan memanipulasinya sedemikian rupa lewat aneka regulasi dan `semangat kemitraan’ yang sesungguhnya hanya menguntungkan dan memperkokoh cengkeraman kekuasaan.
Bahwa selama sekian tahun Banjarmasin Post larut dalam kompromi yang kadang `tampak’ begitu intim dengan kekuasaan, itu hanyalah cara agar tidak diberangus dan dengan demikian bisa tetap bernapas supaya dapat terus secara konsisten mengunjungi pembacanya, mendampingi mereka dengan gambaran-gambaran mengenai realitas yang sedang tumbuh dan berkembang melalui kacamata yang tentu beda dengan kacamata penguasa.
Bagaimanapun, dalam beberapa hal, surat kabar ini tetap menjalankan fungsinya mengkritisi perkembangan sosial politik dan budaya yang terjadi di lingkungan di mana ia terbit dan beredar. Sikap kritis yang tampaknya pula dijalankan dengan sangat hati-hati, dengan cara yang tidak langsung menuding dan menonjok, bahkan mencubit pun tampaknya sungkan. Cukup dengan bisik-bisik, toh tetap ada hasilnya.
Periode malu-malu dan serba sungkan yang dijalarkan rezim dari ordo yang baru itu, kini telah berlalu. Dan, Banjarmasin Post lolos dari gulungan badai itu, meski sempat tampak kehilangan orientasi ketika reformasi meledak meluluhlantakkan ordo baru yang sudah lapuk itu. Kedekatan dengan kekuasaan –juga dengan partai yang paling berkuasa saat itu namun ogah disebut partai– membuat media ini sempat sempat agak serba kikuk.
Ini bisa dimaklumi, sebab selama tidak ada reformasi politik menuju ke arah demokratisasi — yang hanya dapat dicapai jika terjadi pelemahan kekuasaan di satu pihak dan terjadi penguatan masyarakat di pihak lain — maka pers juga tidak dapat mengekspresikan peran kontrol sosialnya secara efektif.
Dalam perspektif negara di zaman ordo Soeharto, kecenderungan yang kuat bahwa pers harus mendukung status quo kekuasaan telah mendorongnya memonopoli interpretasi atas regulasi yang diciptakan, bahkan memonopoli interpretasi atas fakta yang seharusnya secara telanjang disajikan. Dan yang lebih parah, memonopoli kebenaran.
Saat itu, perangkat regulasi yang jadi bagian inheren dalam sistem pers yang dibangun, sekaligus merupakan alat pemukul bagi pers yang dianggap merugikan kepentingan status quo. Karena itu, bisa dipahami jika ada masanya Banjarmasin Post seperti terpaksa lebih condong kepada kekuasaan.
Untunglah surat kabar ini segera menemukan kembali keseimbangan dirinya, menghidupkan kembali ruh perjuangan untuk pembebasan sebagaimana yang ditiupkan para perintis dan pendirinya .
Saat inilah kesempatan paling luas untuk segera menempa kembali ruh perjuangan itu agar tetap menggelenyar dalam urat nadi kehidupan para kerabat kerja dan generasi berikut dari pengelola harian ini.
Andai boleh membayangkan, suasana saat-saat ini -tahun-tahun awal pascareformasi– tampaknya tak terlalu jauh dengan saat-saat ketika bayi Banjarmasin Post lahir dari rahim militansi perjuangan para aktivis, menjelang, pada saat, dan setelah kejatuhan ordo yang lama.
Kini ia teah tumbuh dan berkembang dalam gelegak perjuangan menegakkan kebenaran dan memberantas sisa-sisa kezaliman rezim sebelumnya. Ia seharusnya tidak lagi mudah terjebak oleh kekuatan kekuasaan apa pun di luar dirinya, agar bisa dengan leluasa menjalankan fungsi sebagai pendamping masyarakat dalam menempuh arus perubahan, dengan senantiasa menyampaikan kabar, pandangan, dan gambaran yang jujur tanpa prasangka dan jernih tanpa dinodai kepentingan salah satu pihak.
Slogan, misi, dan visi pengabdian itulah `jaket almamater’ koran ini untuk menjalani proses di tengah Universitas Kehidupan. Jadi jelas, bukan tanpa maksud orang menaruh jaket KAMI pada dinding ruang redaksi Banjarmasin Post saat berkantor di gedung lama itu. Secara fisik, betul bahwa jaket tersebut sudah tua, kusam, layu dan berdebu. Tapi geletar ruh perjuangannya haruslah selalu menjadi inspirasi segenap pengelola harian ini.
Namun, sejak pindah kantor ke gedung baru berlantai lima, jaket tua “almamater KAMI” itu tak tampak lagi. Entah disimpan di mana. Mudah-mudahan saja spirit dan iman perjuangannya tetap menjalari seluruh awak harian ini. (*)
0 Tanggapan to “Riwayat Sehelai Jaket”