ENTAH sudah berapa puluh kali saya menggunakan jasa maskapai penerbangan tanah air sejak 1984, tapi baru kali ini memperoleh pengalaman mencekam. Merasakan sendiri ketegangan, sekaligus menyaksikan bagaimana orang-orang lain yang saat itu berada dalam kabin pesawat yang sama, bereaksi atas ketegangan yang mereka alami.
Hari itu Jumat, 7 September 2008. Pesawat Airbus A320 milik maskapai penerbangan Batavia Air dengan nomor penerbangan 7P-631 tujuan Manado via Balikpapan, terpaksa kembali ke areal parkir setelah bersiap lepas landas, di Bandara Soekarno Hatta.
Semula, saya –mungkin juga penumpanbg lain—lega setelah menunggu hampir satu jam dari jadwal yang ditetapkan, akhirnya dipersilakan memasuki pesawat. Saya berada di antara lebih dari seratus penumpang pesawat itu.
Semua persiapan sudah dilakukan. Seluruh penumpang duduk dengan sabuk pengaman terkunci. Pramugari sudah mengumumkan dan memperagakan tata-tertib di dalam pesawat, sementara pesawat bergerak lambat-lambat menuju landas pacu.
Di sinilah teror perasaan itu dimulai. Di sela gemuruh jet, terdengar bunyi yang ganjil. Bunyi itu berupa deritan panjang dan kontinyu dalam interval tertentu. Bunyinya mirip suara gerinda yang menggerus logam berkarat, sekaligus mirip bunyi seperti tali kipas mobil yang tidak normal, tapi lebih tinggi. Menjerit, berderit, menusuk kuping.
Saya melirik ke sebelah kiri, seorang penumpang menekankan dahinya ke punggung kursi di depannya. Mulutnya komat-kamit. Di sebelahnya lagi, seorang perempuan, menunduk tepekur, tangan kanannya mengelus-elus perut buntingnya. Pria di sebelah saya bergumam tak jelas. Ketegangan terasa mencekam seantero kabin.
Kurang lebih 10 menit, kami terperangkap dalam jebakan kegelisahan, sampai akhirnya bunyi mesin terdengar agak mengendur, suara menderit masih muncul sesekali. Sejurus kemudian, Kapten Pilot Anjar Sulistyaji mengumumkan menunda keberangkatan sekitar 20 menit.
Padahal sebelumnya keberangkatan sudah molor 35 menit. Jadwal lepas landas pukul 15.10 WIB namun penumpang baru boarding pukul 15.45 WIB. Para penumpang yang gelisah, agak sedikit lega. “Dari pada dipaksakan terbang, tapi celaka….” ujar lelaki di sebelah kiri saya. Hiyyyy… langsung terbayang berbagai kecelakaan pesawat, mulai dari musibah Garuda di Adisutjipto, sampai Hercules pengangkut Paskhas!
Peristiwa-peristiwa mengenai kecelakaan pesawat terbang yang sering jadi topik berita media, jelas sangat berpengaruh. Setidaknya, jadi pelembek nyali.
Setelah kembali ke areal parkir, dan penerbangan ditunda lebih dari 20 menit, pesawat kembali bergerak menuju landasan. Namun sudah 10 menit di landasan, tidak juga lepas landas.
Penumpang mulai gelisah, dan kepanasan. Bayi-bayi menangis. Mesin pesawat dalam kondisi hidup, namun sesekali suara gesekan masih terdengar sedangkan penjelasan lebih lanjut tidak ada dari awak kabin.
Akhirnya, pesawat keluar dari areal parkir dan memasuki landas pacu. Kami lepas landas dengan ketegangan masih mencekam. Syukurlah penerbangan lancar hingga mendarat dengan mulus di Bandara Sepinggan, Balikpapan, Kalimantan Timur pukul 19.07 Wita.
Penerbangan dari Bandara Soekarno-Hatta ke Balikpapan memakan waktu tempuh sekitar satu jam 50 menit. Saat penumpang tujuan Balikpapan turun di Kota Minyak ini, penumpang tujuan Manado tetap berdiam, menunggu di dalam pesawat.
Tiga puluh menit kemudian, pesawat bergerak lagi menuju landas pacu Sepinggan. Saya dan pria di sebelah kiri saya saling tatap sambil berusaha mendengar sesuatu. Astaga!! Bunyi derit itu terdengar lagi di antara gemuruh jet. Terdengar raungan mesin lebih tinggi lagi, makin tinggi dan makin kuat.
Bunyi derit seperti gerinda menggesek logam berkarat itu sirna. Entah memang tidak ada masalah lagi, atau tertimpa tingginya raungan mesin. Sesaat kemudian, pesawat bergerak ke landas pacu. Para penumpang hening, seperti kembali dicekam ketegangan, meski terasa seperti antiklimaks.
Syukurlah, penerbangan lancar dan airbus Batavia Air ini mendarat mulus di Bandara Internasional Sam Ratulangi, satu setengah jam setelah lepas landas dari Balikpapan. Saya beringsut turun. Rongga mulut dan kerongkongan terasa kering. (*)
Sepertinya ini kado buat kaka pertama kali menuju bumi kawanua. Beta pernah alami suasana mencekam seperti itu waktu terbang dengan Batavia dari Sepinggan Balikpapan ke Juanda Surabaya awal tahun lalu. Hehehe…
He… terima kasih, Bos! Kado yang tentu sangat tak diharapkan.
Saya adalah captain dari pesawat yang anda maksudkan sebagai “Airbus 32o yang gagal take off” di berbagai media.
Perlu saya tegaskan bahwa TIDAK BENAR jika kejadian itu disebut sebagai gagal take off, karena pesawat BELUM SAMA SEKALI taxi (berjalan menuju) landasan pacu. Yang anda rasakan sebagai “bergerak menuju landasan pacu” sebenarnya adalah pesawat baru didorong mundur oleh pushback car, dan dimulainya proses engine start. Kejadian yang sebenarnya adalah ketika satu engine dinyalakan, komputer pesawat kami mendeteksi bahwa ada sedikit masalah dengan sistem hydraulic pesawat yang ternyata bukan aktual di part hydraulic-nya yang bermasalah, tetapi sistem indikasi hydraulic komputernya yang bermasalah dan membutuhkan engine untuk dimatikan kembali lalu pesawat ditarik kembali ke parking stand dan dilakukan komputer reset.
Jadi kesimpulannya adalah tidak pernah ada masalah dengan engine pesawat dan tidak pernah ada kegagalan proses tinggal landas seperti yang anda tulis. Adapun proses kembali ke parking stand dan melakukan komputer reset sudah sesuai dengan prosedur yang ada, dan itu pun saya lakukan demi keselamatan dan kenyamanan seluruh penumpang.
Terima Kasih
Teraima kasih, Kapten! Sayang sekali penjelasan ini baru muncul sebulan setelah kejadian. Faktanya, saya –dan saya yakin penumpang lain saat itu– merasakan hal yang sama. Ada masalah pada pesawat itu. Masalah seperti itu sahrusnya tidak terjadi pada maskapai penerbangan mana pun yang dengan cermat mempersiapkan segala sesuatunya. Bahwa tindakan itu harus dilakukan demi keselamatan seluruh penumpang, ya jelas. Sebab memang itu prosedurnya. Toh segalanya sudah terjadi, dan Anda bertindak profesional sesuai dengan tugas dan tanggungjawab Anda. Hari itu pun saya bermaksud menemui Anda sekaligus menyampaikan selamat dan salut. Tapi situasi tidak memungkinkan, karena saya terburu-buru mengejar waktu yang sudah tercuri oleh keterlambatan dan “penundaan”. Terima kasih, senang berkenalan dengan Anda. Salam hormat untuk seluruh awak.
pak, kalo yang saya tau kalo gagal take off itu pesawat sudah berada di runway lalu udah gas poolll lalu terjadi masalah sehingga menyebabkan accident dan pasti beberapa saat kemudian sudah ramai diberitakan di media..
lalu kalo sudah berada di runway, pesawat sudah meluncur, lalu kapten melakukan pengereman karena ada masalah itu juga bukan gagal take off tapi batal take off..
apalagi kalo masih ada di apron baru pushback lalu kembali ke apron lagi dikatakan gagal take off, ini bener2 bisa semakin memperburuk citra penerbangan indonesia. sebenernya penggunaan bahasa “gagal take off” ini kurang tepat.. kalo benar gagal take off mungkin sudah banyak penumpang yang menjadi korban..