Arsip untuk Oktober 21st, 2009

21
Okt
09

Menunggu Keteladanan

DALAM pidato pelantikannya pada Sidang Paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengingatkan rakyat Indonesia bahwa pekerjaan besar masih terbentang di depan. Ia mengingatkan segenap komponen bangsa untuk terus melangkah maju, rukun, dan bersatu.

topekPernyatan itu tentu saja bukan hal istimewa dan sangat wajar disampaikan oleh seorang kepala negara saat mengawali masa kerjanya. Namun kutipan pernyataan itu jadi menarik dicermati manakala disandingkan dengan kenyataan yang terjadi di sekelilingnya.

Pekerjaan besar sebuah bangsa dalam perjalanannya menuju masa depan yang lebih baik tentu memerlukan kesungguhan, kecermatan, dan persiapan matang.

Dalam konteks di Tanah Air, rakyat baru saja menyaksikan bagaimana seorang ketua majelis yang memimpin sidang paripurna terkesan tidak cermat, tidak teliti, dan tidak mempersiapkan diri dengan baik.

Padahal sidang itu tidak saja disaksikan 640 anggota MPR, para tamu istimewa dari dalam negeri serta perwakilan negara sahabat, melainkan juga disaksikan langsung oleh rakyat di Tanah Air yang pada saat sama menonton televisi.

Jika seorang pemimpin lembaga tertinggi negara bertindak tidak cermat saat menyelenggarakan peristiwa kenegaraan, bagaimana mungkin publik akan yakin bahwa yang bersangkutan dan mereka yang dipimpinnya akan dengan cermat dan teliti pula mengelola peristiwa terkait kepentingan rakyat.

Presiden juga mengingatkan, untuk melangkah maju menuju masa depan yang lebih baik, bangsa Indonesia harus rukun dan bersatu. Ia pun mengajak para pemimpin bangsa untuk tetap kompak apa pun warna dan pilihan politiknya. Kekompakan para pemimpin bangsa itu penting untuk menghadapi tantangan yang lebih berat.

Pada saat yang sama, publik menyaksikan bahwa sebagian di antara kita belum betul-betul dewasa, belum bersedia melapangkan dada menerima realitas politik.

Bagaimana kita bisa mengajak masyarakat untuk memelihara dan menjunjung tinggi kerukunan jika mereka masih juga dipertontonkan keangkuhan? Publik melihat, hasrat untuk rukun, bersatu, dan kompak, itu ternyata tidak ditunjukkan oleh segelintir elite, juga oleh sebagian lembaga negara.

Rakyat tidak melihat letak kerukunan ketika seorang ketua partai sekaligus kandidat presiden pada pemilihan umum, juga sebagai presiden pada periode sebelumnya tidak menghadiri upacara pelantikan presiden terpilih.

Publik bisa saja menilai tokoh yang bersangkutan tidak memiliki kerendahan untuk memenuhi undangan lembaga tertinggi negara. Orang bisa saja menerjemahkan bahwa dia juga tidak bersedia menerima realitas politik yang telah menempatkannya bukan sebagai pemenang.

Masih dalam konteks rukun dan bersatu sebagaimana yang ditekankan presiden pada pidato pelantikannya, hari-hari ini rakyat juga terus menerus melihat, bagaimana ketakrukunan antarlembaga negara dipertontonkan.

Lembaga-lembaga yang seharusnya bergandeng tangan menuntaskan agenda besar pemberantasan korupsi di Tanah Air, justru saling unjuk kekuatan antara satu dengan yang lain. Bahkan ada kesan sedang terjadi pelumpuhan yang sistematis terhadap lembaga pemberantasan korupsi, ketika lembaga-lembaga itu mulai menyentuh institusi penegakan hukum.

Hal-hal di atas baru merupakan contoh kecil dari realitas politik dan kenyataan penegakan hukum yang sedang terjadi di Tanah Air. Padahal masih banyak lagi pekerjaan besar di bidang lain yang tak kalah penting segera diselesaikan.

Tentu saja kita hanya bisa berharap bahwa rezim baru itu mampu menghadirkan tatanan baru yang jauh lebih berpihak kepada rakyat, bukan lagi semata merupakan cerminan hasil transaksi politik yang di sana-sini dihiasi praktik koruptif, kolutif dan nepotis. ***