Posts Tagged ‘korupsi

20
Okt
13

Saling-silang Perpa…Perppu!!!

Gambar

ADA diskusi publik yang sebenarnya menarik, terkait dengan  Peraturan Perintah Pengganti Undang-undang tentang Mahkamah Konstitusi (Perppu MK) yang ditandatangani presiden beberapa hari lalu. Perppu ini segera akan diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk memdapatkan persetujuan. Peristiwa ini penting untuk membuka mata khalayak awam terhadap tata hukum, pelaksanaan, dan penegakannya di tanah air, terutama setelah tsunami kasus Akil Muchtar mengguncang dan merontokkan harapan serta kepercayaan publik terhadap penegakan hukum.

Sayang sekali publikasi pergulatan pemikiran di antara para ahli, para praktisi, dan para akademisi mengenai hal itu, terganggu oleh heboh tak penting, manakala pemimpin tertinggi negara ini dengan emosional menanggapi rumor tentang sosok Bunda Puteri, yang secara substansial tidak terkait langsung dengan kepentingan masyarakat. Sosok yang disebut-sebut dalam kesaksian di tengah persidangan atas para koruptor itu, sekadar menampilkan gambaran nyata betapa  saling-silangnya persekongkolan canggih pihak-pihak yang terlibat itu untuk membobol uang negara.

Muara dari semua ini adalah penegakan hukum. Namun ketika lembaga tinggi dalam penegakan hukum seperti Mahkamah Konstitusi terkotori orang bermental korup, maka hancurlah harapan masyarakat terhadap tegaknya hukum di tanah air. Jebolnya benteng moral MK oleh perilaku Akil Muchtar, melengkapi runtuhnya kepercayaan publik terhadap hampir semua institusi penegak hukum.

Tak ada satu pun institusi itu yang tidak tercemari personel-personelnya yang bermental korup. Bahkan, proses hukum atas kasus korupsi pun dijadikan arena suap-menyuap sebaimana terungkap dalam peristiwa penangkapan Wakil Ketua Pengadilan Negeri Bandung beberapa waktu lalu, yang kemudian menyeret mantan wali kota dan mantan sekretaris daerah setempat ke balik jeruji tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi.

Ada situasi sangat genting yang sedang melanda penegakan hukum di tanah air. Ada situasi yang oleh banyak pihak dinilai sebagai saat yang memerlukan langkah-langkah darurat untuk mengatasinya. Masyarakat perlu diajak serta memperlajari dan memahami situasi yang sedang terjadi agar mereka makin terbuka matanya, bahwa penegakan hukum bukan semata tanggung jawab para penegaknya, melainkan tanggung jawab bersama.

Dalam konteks inilah kontroversi mengenai Perppu MK menjadi hal penting sebagai pembelajaran kepada masyarakat. Ada pihak yang setuju terhadap langkah kepala negara mengeluarkan Perppu ini, tak kurang pula yang menolak dengan berbagai argumentasi. Baik argumentasi akademis, maupun argumentasi yang sangat bersifat politis belaka sekadar menunjukkan bahwa yang bersangkutan punya kemampuan untuk menolak.

Pihak yang setuju menyatakan,  tidak ada yang salah dengan substansi Perppu itu yang antara lain mengatur tambahan syarat menjadi hakim konstitusi, mekanisme proses seleksi dan pengajuan hakim konstitusi, serta perbaikan sistem pengawasan hakim konstitusi. Adalah tepat  jika calon hakim konstitusi disyaratkan tidak menjadi anggota partai politik dalam kurun tertentu. Lalu, tidak ada salahnya pula jika proses seleksi dan pengajuan calon hakim konstitusi melibatkan panel ahli independen yang dibentuk oleh Komisi Yudisial. Pelibatan panel ahli tidak akan membatasi kewenangan Presiden, Mahkamah Agung, dan DPR dalam mengajukan calon hakim konstitusi.

Pengawasan hakim yang diatur melalui Perppu MK ini tidak melanggar konstitusi. Hakim konstitusi akan diawasi  Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi (MKHK) yang sifatnya independen, bukan oleh Komisi Yudisial. Majelis ini terdiri atas orang-orang yang dipilih KY berdasarkan usulan masyarakat, yakni mantan hakim MK, praktisi hukum, akademisi di bidang hukum, dan tokoh masyarakat yang usianya kurang lebih 50 tahun.

Pihak yang menolak Perppu ini menyandarkan argumentasi pada dasar hukumnya, apakah bertentangan dengan UUD, atau tidak. Bahkan ada yang secara ekstrem menyatakan menolak karena menilai Perppu ini menyalahi aturan. Sebaiknya Perppu hanya dibuat dalam situasi situasi genting  sesuai kebutuhan yang berkaitan dengan isu kesejahteraan. Bukan isu yang menyebabkan tata negara dicederai. Misalnya wewenang yudikatif dan legislatif yang diserobot eksekutif.

Mereka juga mengkritisi aturan pemilihan hakim, yakni pembentukan tim penilai terhadap usulan-usulan Mahkamah Agung (MA)-Presiden-DPR. Menurut mereka, ini potensi buruk yang mengganggu otoritas masing-masing lembaga pemegang kekuasaan tersebut sbg perwujudan kedaulatan rakyat. Keberadaan Tim panel yang punya kekuasaan menilai lembaga-lembaga tinggi ini tidak bisa dibenarkan karena berpotensi mengganggu praktek ketata negaraan.

Sepatutnya tim panel bekerja sebelum pengambilan keputusan oleh DPR, MA, presiden sebagaimana praktek tim seleksi untuk hakim MA selama ini. Sejak amandemen UUD, keberadaan lembaga-lembaga tinggi negara setara, tidak ada yang lebih tinggi. Jika tim panel dibentuk tanpa melalui proses demokratis, melibatkan rakyat secara langsung. Lalu, bagaimana mau menilai putusan politik DPR sebagai perwujudan kedaultan rakyat? Demikian argumentasi mereka.

Dalam konteks inilah publik perlu diberi keleuasaan memperoleh akses informasi, baik terhadap pendapat pihak-pihak yang setuju, maupaun terhadap pandangan mereka yang tidak setuju dan menolak terbitnnya Perppu MK. Di luar itu semua, masyarakat di tanah air sudah tahu belaka bahwa seberapa ideal pun proses pemilihan anggota MK, ternyata tak luput meloloskan ahli hukum yang juga ternyata ahli memanipulasi hukum demi kepentingan pribadinya.

Dengan atau tanpa Perppu, penegakan hukum di tanah air akan tetap terseok-seok, sepanjang orang-orang yang dipercayai untuk menegakkannya malah membengkokkannya sekehendak hati sesuai kepentingan diri dan kelompoknya. Gejala seperti inilah yang terus menerus berlangsung dan disaksikan rakyat tanpa bisa berbuat banyak. Keadaan sudah genting sejak lama, namun kita seperti dininabobokkan, dibiarkan buta hukum, agar dengan mudah diperdaya oleh mereka yang mengerti hukum. **

07
Jan
10

Tradisi Cendekia

BOLA api skandal Bank Century masih terus menggelinding, dan panasnya menjalari pihak- pihak yang dindikasikan terkait. Di Senayan, para wakil rakyat sibuk membedah dan berusaha menguarai misteri di balik kasus itu. Sejumlah (mantan) petinggi Bank Indonesia (BI) sudah dipanggili dan dimintai keterangan. Diskusi dan debat mengenai hal itu juga berlangsung dalam berbagai forum, remsi maupun tidak.

Di luar persoalan inti, heboh yang meledak menyusul terbitnya buku Membongkar Gurita Cikeas, di Balik Skandal Bank Century juga masih berbuntut. Selain diskusi yang membahas isi buku karya George Junus Aditjondro itu, muncul pula kasus hukum yang melibatkan sang pengarang menyusul tindakannya menampar seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat dalam sebuah diskusi.

Di tengah keramaian itu muncul pula pihak-pihak yang memanfaatkan situasi. Mulai dari pembajak buku dengan cepat memanfatkan promosi gratis liputan media atas kontroversi dan langkanya buku tersebut di pasaran, penjual buku yang melipatgandakan harga, sampai penulis yang dengan segera menerbitkan publikasi yang berbau Cikeas, Bank Century, maupun George J Aditjondro.

Satu di antara publikasi itu, kemarin diluncurkan. Judulnya Hanya Fitnah & Cari Sensasi, George Revisi Buku. Bentuknya seperti buku, tebalnya 31 halaman, dicetak di atas kertas putih mengilap, menampilkan foto dan ilustrasi berwarna. Meski penulisnya menepis jika karyanya itu disebut sebagai tandingan atas buku George, orang justru  menganggap sebaliknya. Karena, publikasi itu dilakukan di tengah serunya kontroversi atas isi buku tersebut.

Buku Gurita Cikeas memancing pro-kontra yang keras dan tajam. Selain karena menyentuh isu aktual yakni skandal Bank Century, juga karena memuat hal yang menyangkut tokoh-tokoh yang sedang berkuasa dan yang berada di lingkaran kekuasaan. Banyak pihak menganggap buku itu sekadar sensasi, sampah, bahkan fitnah. Namun tak kurang pula pihak yang menganggap isi buku itu menguak apa yang selama ini tak tersingkap kepada publik.

Tiga tahun sebelum ini, George menulis buku Korupsi Kepresidenan Reproduksi Oligarki Berkaki Tiga: Istana, Tangsi, dan Partai Penguasa. Sebelum itu, dia menulis Dari Soeharto ke Habibie. Buku-buku itu, juga sebagian besar buku yang ditulisnya, berisi tentang saling-silang gurita korupsi menjalari hampir semua sendi kehidupan bangsa Indonesia.

Ada atau tidak kontroversi mengenai buku itu, sikap kita terhadap korupsi tentu sudah jelas. Kita telah menyaksikan dan merasakan bagaimana korupsi dan kronisme telah menghancurkan ekonomi negara. Di masa lalu, dengan sokongan dari partai penguasa dan militer, istana seakan dikelilingi koruptor yang mencari keuntungan buat diri mereka sendiri.

Kita tentu harus sepakat bahwa pemberantasan korupsi hendaknya tidak terfokus pada tokoh, melainkan pada sistem. Sistem kapitalis secara otomatis dapat menciptakan peluang korupsi dan suap, karena di dalamnya terjadi tawar menawar antara penguasa dan pemilik modal. Apalagi ketika hukum ternyata tidak bisa menuntaskan korupsi, melainkan justru jadi ajang korupsi pula.

Terlepas dari kelebihan dan kekurangannya, banyak pihak menganggap Gurita Cikeas tak bisa dihadapkan langsung dengan Hanya Fitnah. Jika banyak pihak menganggap isi buku pertama adalah picisan dan sampah karena cuma gabungan dari berbagai sumber sekunder, seperti internet, jurnal, dan koran, maka buku kedua adalah tanggapan penulisnya terhadap penggalan- penggalan isi buku pertama.

Kita tentu tidak dalam posisi menilai kedua buku itu baik atau buruk, sempurna atau tidak, serius atau asal-asalan, sahih atau daif,  sebab yang paling penting adalah apa manfaat yang bisa direguk oleh masyarakat dari keduanya dan dari keriuhrendahan kontroversi, diskusi, dan debat –yang kadang melenceng menjadi debat kusir itu.

Hal paling utama tentu saja manfaat intelektual. Jika semua kontroversi itu berlangsung dalam semangat kecendekiaan, maka masyarakat makin diajak memasuki ruang terbuka bagi dialog yang cerdas. Dialog yang mengetengahkan argumen logis. Dialog yang menjunjung tinggi kehormatan nalar, menghormati perbedaan pandangan, dan lebih mengutamakan otak daripada otot. Lebih mendahulukan pikiran daripada pukulan.

Pendapat dihadapkan dengan pendapat, pemikiran dilawan oleh pemikiran, gagasan diadu dengan gagasan, fakta dibandingkan dengan fakta. Tradisi kecendekiaan seperti itu perlu terus ditumbuhkan dan makin dikembangkan untuk mengisi dan memaknai era keterbukaan yang hari- hari ini sudah dinikmati.

Tanpa tradisi kecendekiaan yang disertai kedewasaan, keterbukaan hanya akan menghasilkan kebebasan tanpa batas. Di mana orang seakan bebas mencaci-maki, bebas memfitnah, bebas berbuat seenaknya. Hal itu tentu sangat tidak diharapkan siapa pun, karena hanya akan menyeret kita pada konflik yang meluas. Tidak saja konflik ‘pemikiran’ tapi konflik fisik antarindividu, bahkan antarkelompok dan antargolongan.**

16
Nov
09

Sekarang!!

keadilan

KEPALA Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri), Jenderal (Pol) Bambang Hendarso Danuri menyatakan, citra, harga diri, dan kehormatan polisi di Tanah Air sedang diuji. Opini negatif yang terus berkembang di masyarakat seakan mengubur pengabdian Polri kepada negara selama 64 tahun dan menutup segala prestasi yang telah dicapai.

Saat menyampaikan amanat pada peringatan HUT ke-64 Korps Brimob Sabtu (14/11/09), Kapolri mengemukakan bahwa hari-hari ini tiap gerak langkah polisi mendapat sorotan publik. Mereka menyangsikan profesionalisme polisi dalam menjalankan tugas penegakan hukum.

Apa yang dikemukakan kapolri tentu erat kaitannya dengan perkembangan yang terjadi dan sedang membelit institusi peradilan. Masyarakat sedang merasa mendapat konfirmasi dan peneguhan atas apa yang selama ini berlangsung dalam proses penegakan hukum, yang hanya dibicarakan melalui bisik-bisik, rumor, dan desas desus.

Setidaknya, saat ini polisi menghadapi tudingan melakukan rekayasa kasus dalam mengusut petinggi komisi pemberantasan korupsi (KPK). Tudingan serupa muncul pula dalam kasus pembunuhan Direktur PT Putra Rajawali Banjaran Nasrudin Zulkarnain. Bahwa, petinggi polisi mengondisikan untuk menjerat Antasari Azhar.

Tentu saja pihak kepolisian membantah. Namun segera timbul kesan di masyarakat bahwa bantahan itu justru memperkuat dugaan bahwa hal yang dibantah itulah yang sebenarnya terjadi. Ada kesangsian, keraguan, bahkan ketidakpercayaan terhadap apa yang dikemukakan polisi.

Berbeda –misalnya– dengan ketika polisi mengumumkan keberhasilannya membongkar sindikat narkotika, dan melumpuhkan dua gembong teroris. Meski semula ada keraguan, polisi berhasil meyakinkan bahwa memang seperti itulah adanya. Bahwa gembong narkoba itu ada. Gembong teroris itu nyata.

Timbul pertanyaan, mengapa dalam kasus KPK dan Antasari Azhar, masyarakat justru cenderung tidak percaya kepada polisi. Publik merasa ada yang tidak beres dalam kedua kasus itu sejak awal. Klarifikasi, bantahan, dan penjelasan dari pihak kepolisian terhadap opini yang berkembang, seolah tak ada artinya.

Sangat boleh jadi, sikap masyarakat itu sangat dipengaruhi oleh pengalaman nyata tiap mereka berurusan dengan aparat penegak hukum. Pengalaman demi pengalaman itu terekam dalam ingatan kolektif dan jadi latar belakang cara pandang ketika menghadapi persoalan yang sama. Padahal, publik sangat berharap terjadinya perubahan ke arah yang lebih baik.

Demikian pula dalam melihat dua kasus di atas. Publik merasakan dan membaca bahwa pola yang lebih kurang sama, pasti akan dipertontonkan oleh pihak yang terkait masalah tersebut. Jadi ketika pola itu dipertontonkan, publik menerimanya sebagai peneguhan terhadap apa yang mereka pikirkan.

Masyarakat terikat dan terhubungkan oleh kesadaran kolektif. Mereka akan melakukan hal sama secara serentak ketika terjadi peristiwa yang mencederai rasa keadilannya. Keprihatinan bersama atas situasi yang melanda dunia peradilan itulah yang kemudian membangkitkan gerakan massa yang demikian besar.

Mereka menyuarakannya melalui berbagai cara dan media. Masyarakat tidak lagi tidur dan dapat dikelabui. Sebagai warga negara, mereka makin sadar akan hak dan kewajibannya. Kesadaran itu mendorong mereka untuk menunjukkan sikap, keinginan, serta harapannya. Dan, kian hari gerakan itu makin matang.

Saat seperti itu sebenarnya merupakan momentum untuk mereformasi dan melakukan perubahan. Ini adalah waktu yang tepat untuk membuat perubahan substansial pada dunia peradilan yang arahnya adalah pemenuhan rasa keadilan publik dan pemenuhan hak dasar warga negara. ***

12
Nov
09

Skenario Kebenaran

PENGAKUAN Mantan Kapolres Metro Jakarta Selatan Kombes Wiliardi Wizar membuat banyak pihak terenyak. Ia menyatakan bahwa keterangan di dalam berita acara pemeriksaan (BAP) sudah dikondisikan untuk menjerat Antasari Azhar, mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Perwira polisi ini adalah satu di antara terdakwa dalam kasus pembunuhan berencana terhadp Nasarudin Zulkarnaen, Direktur PT Putra Rajawali Banjaran. Ia dimintai kesaksian di depan majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang tengah mengadili Antasari Azhar dengan dakwaan mendalangi kasus tersebut.

Dengan suara lantang dan bergetar, perwira polisi –yang diadili secara terpisah dalam kasus sama– itu menjelaskan, keterangan yang tertuang dan kemudian ditandatanganinya pada berkas BAP itu dibuat agar bisa menjerat Antasari. Hal itu dilakukan atas tekanan para petinggi di institusinya.

Wiliardi adalah titik hubung Antasari dengan kasus pembunuhan tersebut. Kesaksian dia sesuai dengan yang tertera pada BAP yang ‘dikondisikan’ untuk membuat petinggi (kini mantan) KPK itu ditahan dan kemudian dihadapkan ke pengadilan.

Posisinya itu membuat dia tidak layak memimpin KPK dan harus segera digantikan. Namun penggantinya pun diseret ke ruang tahanan atas sangkaan penyalahgunaan wewenang dan pemerasan.

Belakangan, publik terbuka mata dan telinganya bahwa sangkaan pemerasan yang ditudingkan kepada dua petinggi KPK itu, mirip dengan apa yang terungkap dari rekaman percakapan adik tersangka koruptor dengan sejumlah petinggi penegak hukum.

Di tengah hiruk-pikuk kontroversi yang disusul gelombang keprihatinan publik terhadap bayang-bayang kebobrokan proses penegakan hukum di Tanah Air, apa yang terungkap di persidangan itu makin meneguhkan keyakinan publik tentang ketidakberesan dalam tubuh institusi hukum kita.

Jika apa yang dikemukakan perwira polisi itu benar adanya, tentu saja itu makin melengkapi dugaan sementara pihak mengenai adanya skenario untuk melumpuhkan KPK.

Kita tentu saja tidak dalam posisi menyatakan hal itu benar atau salah. Pernyataan Williardi bisa saja dikesampingkan dan dianggap sebagai pembelaan diri atau apa pun. Tiap orang berhak menyatakan apa yang diyakininya dan apa yang telah dialaminya.

Kita hanya mencoba menangkap fakta yang terungkap di persidangan itu untuk melengkapi keping-keping informasi yang terputus pada mozaik penegakan hukum yang kini sedang jadi sorotan masyarakat.

Bahwa ternyata ada orang sipil yang –dengan kemampuan uangnya– bisa mengakses para petinggi hukum kita. Bahwa ternyata –dengan kekuasaan jabatannya– seorang perwira tinggi bisa membuat perwira bawahannya menyusun kesaksian untuk menjerat orang lain. Bahwa mafia peradilan –yang jadi pergunjingan sejak 30 tahun lalu– bukan lagi isapan jempol, melainkan nyata adanya, teraba indikasi dan tanda-tandanya.

Dalam keadaan seperti itu, rakyat hanya berharap bisa menyalurkan aspirasi kepada dan melalui wakil mereka di lembaga legislatif. Namun, sebagai lembaga politik ternyata lembaga ini belum berpegang pada keadilan, karena tidak bersikap netral dan abai dengan rasa keadilan yang dialami masyarakat, dan seringkali berpihak pada kepentingannya sendiri.

Jika demikian adanya, makin jauhlah bangsa kita ini untuk memperoleh keadilan, karena kebenaran dapat dibeli dan penegak hukum pun disuap.

Jika di tingkat markas besar dan gedung bundar, hal itu bisa terjadi, apalagi di daerah. Kondisi hukum seperti itulah yang memungkinkan segalanya jadi terbalik, pihak yang benar masuk penjara, orang bersalah justru bebas.

Tentu saja hal seperti itu tak boleh dibiarkan berlarut. Diperlukan ketegasan dan keberanian politik dari pemimpin tertinggi negara ini untuk segera menyelesaikannya agar rakyat tidak tambah bingung.

Atau, kita tunggu saja kebenaran itu datang dengan sendirinya.*****

04
Nov
09

Antiklimaks Buaya Vs Cicak

cicak-vs-buaya

AKHIRNYA dua unsur pimpinan (nonaktif) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah,  dikeluarkan dari tahanan, Selasa (3/11) malam. Itu adalah antiklimaks tragedi hukum cicak melawan buaya yang selama dua bulan terakhir digelar di hadapan publik.

Klimaksnya  terjadi siang harinya di Gedung Mahkamah Konstitusi yang hari itu membuka dan memperdengarkan rekaman telepon hasil sadapan KPK atas telepon Anggodo Widjojo, adik kandung Anggoro Widjojo tersangka yang buron dalam kasus korupsi pengadaan alat komunikasi Departemen Kehutanan.

Banyak orang terpana di depan televisi yang menyiarkan langsung sidang MK hari itu. Rekaman itu terdengar vulgar dan menggambarkan bagaimana sebuah kasus dirancang hingga tawar menawar imbalan kepada pihak-pihak yang terkait dalam sebuah rekayasa hukum atas para petinggi KPK.

Isi rekaman itu meneguhkan dugaan tentang adanya persekutuan jahat untuk membungkam petinggi KPK, sekaligus memaparkan kepada kita bagaimana petinggi di lembaga penegakan hukum –dalam hal ini kepolisian dan kejaksaan– bermain mata dengan pihak yang berkepentingan dengan suatu perkara hukum.

Hal itu sekaligus mengonfirmasi dugaan, kecurigaan, juga keyakinan bahwa selama ini aparat penegak hukum tidak pernah benar-benar menegakkan hukum, melainkan bersekutu dengan pihak yang beperkara untuk menyiasati hukum demi keuntungan pribadi.

Rekaman percakapan itu menambah keyakinan kepada kita semua bahwa praktik mafia peradilan yang selama ini jadi isu dan selalu dibantah penegak hukum, ternyata benar-benar hadir dan nyata adanya.

Tergambar di sana, bagaimana orang seperti Anggodo bisa memainkan peran demikian besar dengan melibatkan para petinggi di kepolisian dan kejaksaan, juga pengacara. Terlukis dengan jelas bagamana dana dikeluarkan dan dialirkan, demi menyelamatkan orang yang seharusnya dipidana dan mencelakakan orang yang justru sedang menegakkan hukum.

Kita terperangah ketika tahun lalu seorang perempuan bisa dengan mudah bermain mata dan bertransaksi perkara dengan orang-orang di Kejaksaan Agung. Kasus jaksa Urip Tri Gunawan mestinya bisa jadi tonggak untuk membersihkan institusi penegakan hukum dari buaya- buaya korup, namun ternyata keadaan justru lebih parah.

Sangat boleh jadi, itulah tamparan paling keras terhadap rezim yang sedang berkuasa. Bahwa selama ini mereka tidak berhasil mengelola institusi penegakan hukum. Bahwa hukum hanya berpihak kepada mereka yang beruang. Reformasi hukum hanya sebatas retorika, tidak pada realita. Dan, hanya menghasilkan oknum-oknum korup yang tak punya rasa malu.

Jika di level atas, para petinggi KPK saja bisa ditelikung oleh rekayasa bertabur uang sehingga kebenaran dijungkirbalikkan, maka bisa dibayangkan apa yang akan terjadi manakala rakyat biasa yang –sengaja atau tidak– harus berurusan dengan hukum?

Dalam masyarakat normal, aparat hukum merupakan sosok yang disegani dan ditakuti karena bisa mengancam orang lain yang mau bertindak di luar hukum. Di Tanah Air kita sebaliknya.

Di sini penyidikan, penuntutan, advokassi, dan keputusan pengadilan dalam setiap kasus, justru sering dijadikan celah terjadinya tindak kriminal di atas perkara kriminal, sepeti korupsi dan kolusi sebagaimana tampak pada kasus Bibit-Chandra maupun kasus Urip Tri Gunawan.

Seharusnya para penegak hukum itu menyadari posisi mereka hari- hari ini di tengah masyarakat yang makin kritis. Dia tak lagi bisa ditipu dan dikibuli oleh aneka rekayasa. Saat mereka tak menemukan kebenaran dari institusi hukum, mereka akan mencari dengan caranya sendiri entah di ruang publik nyata maupun di ruang maya, dan efeknya bisa luar biasa massif dibanding yang bisa diperkirakan.

Kasus Bibit-Chandra versus persekongkolan polisi-jaksa-Anggodo seharusnya menjadi tonggak reformasi hukum yang sebenar-benarnya. Apa yang terungkap dari kasus itu hanya permukaan kecil dari gunung es pemutarbalikan hukum di Tanah Air.

Karena itu, perlu langkah besar kekuasaan untuk membongkar dan membenahinya. Pada titik itulah, presiden –dengan kewenangan dan kekuasaan yang dimilikinya secara konstitusional– bisa melakukan hal itu. Kita tunggu saja! ***

21
Okt
09

Menunggu Keteladanan

DALAM pidato pelantikannya pada Sidang Paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengingatkan rakyat Indonesia bahwa pekerjaan besar masih terbentang di depan. Ia mengingatkan segenap komponen bangsa untuk terus melangkah maju, rukun, dan bersatu.

topekPernyatan itu tentu saja bukan hal istimewa dan sangat wajar disampaikan oleh seorang kepala negara saat mengawali masa kerjanya. Namun kutipan pernyataan itu jadi menarik dicermati manakala disandingkan dengan kenyataan yang terjadi di sekelilingnya.

Pekerjaan besar sebuah bangsa dalam perjalanannya menuju masa depan yang lebih baik tentu memerlukan kesungguhan, kecermatan, dan persiapan matang.

Dalam konteks di Tanah Air, rakyat baru saja menyaksikan bagaimana seorang ketua majelis yang memimpin sidang paripurna terkesan tidak cermat, tidak teliti, dan tidak mempersiapkan diri dengan baik.

Padahal sidang itu tidak saja disaksikan 640 anggota MPR, para tamu istimewa dari dalam negeri serta perwakilan negara sahabat, melainkan juga disaksikan langsung oleh rakyat di Tanah Air yang pada saat sama menonton televisi.

Jika seorang pemimpin lembaga tertinggi negara bertindak tidak cermat saat menyelenggarakan peristiwa kenegaraan, bagaimana mungkin publik akan yakin bahwa yang bersangkutan dan mereka yang dipimpinnya akan dengan cermat dan teliti pula mengelola peristiwa terkait kepentingan rakyat.

Presiden juga mengingatkan, untuk melangkah maju menuju masa depan yang lebih baik, bangsa Indonesia harus rukun dan bersatu. Ia pun mengajak para pemimpin bangsa untuk tetap kompak apa pun warna dan pilihan politiknya. Kekompakan para pemimpin bangsa itu penting untuk menghadapi tantangan yang lebih berat.

Pada saat yang sama, publik menyaksikan bahwa sebagian di antara kita belum betul-betul dewasa, belum bersedia melapangkan dada menerima realitas politik.

Bagaimana kita bisa mengajak masyarakat untuk memelihara dan menjunjung tinggi kerukunan jika mereka masih juga dipertontonkan keangkuhan? Publik melihat, hasrat untuk rukun, bersatu, dan kompak, itu ternyata tidak ditunjukkan oleh segelintir elite, juga oleh sebagian lembaga negara.

Rakyat tidak melihat letak kerukunan ketika seorang ketua partai sekaligus kandidat presiden pada pemilihan umum, juga sebagai presiden pada periode sebelumnya tidak menghadiri upacara pelantikan presiden terpilih.

Publik bisa saja menilai tokoh yang bersangkutan tidak memiliki kerendahan untuk memenuhi undangan lembaga tertinggi negara. Orang bisa saja menerjemahkan bahwa dia juga tidak bersedia menerima realitas politik yang telah menempatkannya bukan sebagai pemenang.

Masih dalam konteks rukun dan bersatu sebagaimana yang ditekankan presiden pada pidato pelantikannya, hari-hari ini rakyat juga terus menerus melihat, bagaimana ketakrukunan antarlembaga negara dipertontonkan.

Lembaga-lembaga yang seharusnya bergandeng tangan menuntaskan agenda besar pemberantasan korupsi di Tanah Air, justru saling unjuk kekuatan antara satu dengan yang lain. Bahkan ada kesan sedang terjadi pelumpuhan yang sistematis terhadap lembaga pemberantasan korupsi, ketika lembaga-lembaga itu mulai menyentuh institusi penegakan hukum.

Hal-hal di atas baru merupakan contoh kecil dari realitas politik dan kenyataan penegakan hukum yang sedang terjadi di Tanah Air. Padahal masih banyak lagi pekerjaan besar di bidang lain yang tak kalah penting segera diselesaikan.

Tentu saja kita hanya bisa berharap bahwa rezim baru itu mampu menghadirkan tatanan baru yang jauh lebih berpihak kepada rakyat, bukan lagi semata merupakan cerminan hasil transaksi politik yang di sana-sini dihiasi praktik koruptif, kolutif dan nepotis. ***

18
Mar
09

Katanya sih Pesta

kampanyelotajuve

MACAM-macam kehebohan meningkahi hura-hura kampanye kali ini. Mulai dari geger Abdul Hadi Djamal (PAN) yang diseret KPK, pembunuhan brutal atas Nasrudin Zulkarnain (Direktur sebuah BUMN), kontroversi yang diledakkan memoar Sintong Panjaitan, sampai ke urusan esek-esek: Mulai dari perselingkuhan artis seksi Julia Perez, hingga foto-foto adegan sangat intim alumnus IPDN!!

Nah, di tengah seliweran gosip politik hingga gosip para seleberiti itu, perhatian publik dibetot ke kampanye terbuka. Konon, aktivitas para aktivis partai maupun para calon anggota legislatif sebelumnya, adalah kampanye tertup. Padahal, ya nyaris tak ada bedanya. Tertutup bagaimana? Wong semua caleg buka-bukaan minta dukungan.

Begitulah, genderang kampanye terbuka sudah ditabuh sejak Senin 16 Maret 2009. Sudah sepantasnya jika para aktivis partai dan para acalon anggota legislatif, makin mengintensifkan jualan kecapnya –pasti kecap nomor satu– di mana-mana, dengan berbagai cara yang sah.

Sebelumnya, selama masa kampanye tertutup, warga di setiap kota di tanah air sudah dijejali aneka macam benda yang segera akan jadi sampah setelahg masa kampanye selesai. Selain atribut partai politik dalam berbagai ukuran, entah itu bendera, umbul-umbul, poster, kain rentang sampai baliho, kota-kota semarak oleh potret-potret diri.

Ada yang memasang poster-poster foto diri seukuran surat kabar. Ada yang memasangnya sebagai ikon melengkapi tulisan pada kain rentang berisi ajakan memilih dirinya. Ada yang menyebarkannya berupa kartu nama bergambar, atau kartu pos.

Wajah-wajah itu mendadak seperti mengepung kota. Ke mana pun pandangan di arahkan, mata tertumbuk pada kumis tebal, pada wanita berkebaya, pada wajah garang seorang mirip pendekar, pada wajah manis perempuan muda, pada sosok tua tapi imut-imut. Pada wajah entah siapa.

Saking banyaknya wajah bertebaran, sulit sekali publik mengenalnya. Apalagi kebanyakan di antara mereka bukanlah tokoh yang kerap tampil di televisi dan koran. Bukan pesohor.

Pesan yang ditulisnya pun relatif sama. Ada yang santun, ada yang provokatif, ada yang mengajak, ada yang menggurui, dan banyak juga yang tak jelas. Seolah-olah politik hanyalah keterampilan menyusun slogan. Seakan-akan politik cuma kecanggihan mengolah kata menjadi slogan, sekaligus mantra ajaib yang diharapkan bisa menghipnotis publik agar memilih mereka.

Para politisi tampaknya tidak terlalu cerdik mencuri perhatian. Mereka berpikir sederhana saja, pasang gambar wajah di mana-mana maka orang pun akan mengingatnya di hari pemilihan dan mencontreng gambar atau nama mereka.

Menoleh ke pemilu lima tahun silam dan menyimak pemilihan kepala daerah secara langsung selama kurun itu di berbagai tempat, tampak dengan jelas bawha unsur prominensia alias ketokohan dan keterkenalan masih sangat mempengaruhi para pemilih. Itu sebabnya wajah dan nama yang relatif sudah akrab sajalah yang memperoleh banyak pemilih.

Apa yang kita saksikan selama masa kampanyhe tertutup ternyata tidak jauh berbeda dengan kampanye lima tahun silam. Setidaknya belum tampak ada partai atau calon anggota legislatif yang melakukan terobosan –keluar dari kebiasaan– dengan melakukan kampanye yang lebih kreatif dan efektif.

Begitu halnya dalam kampanye terbuka. Ditandai dengan ikrar kampanyhe damai kampanye dalam bentuk pengerahan massa dimulai.

Di beberaqpa tempat, bahkan di pusat, pencanangan kampannye damai ini dicederai bentrokan terbuka baik di antara pengurus iternal partai yang masih dalam kemelut namun telanjur dinyatakan sebagai peserta, maupun antar peserta di tengah hura-hura kemeriahan semu massa yang dikerahkan untuk mengelu-elukan para juru kampanye.

Sejauh ini, belum terlihat ada partai yang menggelar bentuk lain kampanye terbuka selain mengumpulkan orang, menampilkan hiburan di panggung, lalu memompakan slogan dan janji-janji seolah diri dan partainyalah yang paling mampu mengelola negara.

Di sisi lain, Komisi Pemilihan Umum (KPU) jadi bulan-bulan. Sebagai sohibul bait dengan personel terbatas, mereka menerima ledakan puncak pesta demokrasi yang harus manggungkan 44 partai (secara nasional) dan entah berapa puluh ribu calon anggota legislatif di seantero negeri, sehingga terjadi kekacauan mulai mulai dari penyaluran logistik, hingga pengaturan jadwal.

Semua kekonyolan dan kacauan di masa kampanye ini tentu tak akan terjadi andai sejak semua mulai melangkahkan kaki ke arena pemilu, segenap pihak menatap ke depan dan memegang teguh komitemen bersama tentang suskesnya pesta demokrasi.

Dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing, semua bergandeng tangan memasuki pesta yang tidak semata hura-hura, melainkan sebagai ekspresi murni dari spirit demokrasi. Dengan spirit seperti ini tentu tidak akan ada cerita baku tuding salah menyalahkan apalagi sampai baku hantam.

Rakyat hanya akan menonton dengan kritis. Mereka melihat dan akan menilai dengan sangat arif para peserta pemilu. Jika mengatur dan mengelola kampanye saja tidak terampil dan tidak kreatif, bagaimana para politisi itu akan mengatur negara? (*)

23
Jan
09

Antara Kupang dan Yogya

tikus-uang

KOMISI Pemberantasan Koprusi(KPK)tak henti menggempur para koruptor dan memenjarakan mereka. Sudah banyak pejabat, wakil rakyat, bahkan jaksa yang diadili dan dipenjarakan. Namun korupsi tetap menjalari sendi-sendi kehidupan di tanah air.

Hasil survei yang dilakukan Transparency International (TI) di Indonesia yang dipublikasikan Rabu (21/01), menunjukkan negeri ini belum juga bisa melepaskan diri ringkusan gurita korupsi.

Survei yang dilakukan di 50 kota menunjukkan betapa para koruptor masih gentayangan di berbagai kota, kecil maupun besar. Survei ini dilakukan terhadap 2.371 pelaku bisnis, 396 tokoh masyarakat, dan 1.074 anggota masyarakat, antara September- Desember 2008.

Indikator yang mereka gunakan adalah soal biaya siluman (penyuapan) kepada aparat-aparat birokrasi dalam rangka investasi seperti izin usaha, ekspor-impor, pajak, keamanan, litigasi, dan biaya-biaya hantu lainnya. Skor yang digunakan adalah 0-10, nilai 0 untuk yang terbersih, dan angka 10 bagi yang paling korup.

Dari survei itu diperoleh data yang setelah diolah, ditariklah kesimpulan sesuai dengan indikator-indikator yang ditetapkan. Kupang di Nusa Tenggara Timur, misalnya, dinilai sebagai kota paling korup di Indonesia. Yogyakarta paling bersih di antara yang korup, Palangkaraya nomor dua “terbersih” setelah Yogya.

Paling bersih di antara kota-kota yang korup, belum berarti betul-betul bersih dari korupsi. Nilai “kebersihan” Yogya memang tertinggi dibanding kota-kota lain, yakni 6,43. Namun nilai paling ideal adalah 10. Ini berarti, Yogya pun belum bebas dari praktek-praktek korupsi.

Betapa pun, pemeringkatan –yang didasari survei– Lembaga yang berpusat di Jerman dengan cabang di 99 negara, ini patutlah disikapi posiitif nsebagai cara kita untuk melihat tanda-tanda, isyarat, atau bahkan sekadar indikasi seberapa berhasilnyakah kita melawan korupsi.

Dalam konteks yang lebih besar, “indeks prestasi” korupsi kota- kota di tanah air itu juga akan menjadi cermin bagi kebersihan negara kita dari kotoran korupsi. Dibanding tiga tahun lalu, hari-hari ini Indonesia juga memperbaiki posisinya dari negara terkorup pada ntahun 2005 menjadi negara yang “agak” paling korup.

Tahun ini Indonesia berada di peringkat 126 dari 180 negara, sejajar dengan Eriteria, Honduras, Guyana, Mozambik, dan Uganda, atau lebih tinggi sedikit dibanding Myanmar. Negara dengan IPK tertinggi adalah Denmark dengan nilai IPK 9,3 sementara negara dengan IPK terendah adalah Somalia dengan 1,0.

Melihat angka-angka ini tentu saja kita masih harus mengurut dada dan prihatin, sebab gerakan serempak melawan korupsi tampaknya belum membuahkan hasil yang bsignifikan. Posisi ini membuat Indonesia masih dihadapkan pada risiko besar yang harus dihadapi, yakni sulitnya investasi asing masuk.

Mengapa? Maklumlah, korupsi itu merupakan faktor utama terjadinya ketidakpastian hukum. Padahal, tinggi-rendahnya pertumbuhan investasi sangat ditentukan oleh kepastian hukum, di samping faktor stabilitas keamanan.

Indikator utama kepastian hukum itu sendiri sangat ditentukan oleh tinggi-rendahnya tingkat korupsi. Semakin tinggi tingkat korupsi di suatu negara, maka semakin rendah pula tingkat investasi ke negara yang bersangkutan.

Di Indonesia sendiri memang belum ada penelitian yang menghubungkan antara korupsi dengan pertumbuhan investasi. Namun, dapat dipastikan penyebab utama lambannya pertumbuhan investasi belakangan ini adalah karena korupsi di tanah air kita masih juga merajalela. (*)

18
Jan
09

Wakil Rakyat?

dewan-dewanan

TIGA anggota dewan perwakilan rakyat daerah , diciduk di sebuah hotel di Jakarta, Kamis (15/1/09 ) malam pekan lalu. Mereka berasal dari sebuah kabupaten di Sumatera Utara, datang ke ibu kota lalu terpergok sedang berjudi. Polisi juga menyita uang tunai jutaan rupiah sebagai barang bukti, demikian disiarkan berbagai media Sabtu silam.

Peristiwa ini menambah panjang daftar wakil rakyat yang berperilaku tidak patut. Mulai dari yang meniduri penyanyi, yang melecehkan perempuan stafnya, yang menerima suap sekaligus berselingkuh, sampai yang mati di kamar panti pijat. Muilai dari yang malas bersidang, hingga yang kecanduan narkotika.

Jika tempo hari sempat menyala kembali semangat untuk melawan politisi busuk, sangat boleh jadi peristiwa di atas makin memperkuat keyakinan kita untuk tidak memberi lagi tempat kepada politisi macam ini, apalagi membiarkannya melenggang ke gedung parlemen.

Sebelum pemilu 2004, kampanye antipolitisi busuk demikian gencarnya disuarakan. Hasilnya, malah lebih banyak wakil rakyat yang digelandang dan dihukum karena kebusukan perilakunya. Kampanye dan perlawanan moral, ternyata tidak mampu membendung para pengkhianat itu menyusup ke gedung parlemen.

Begitu banyak wakil rakyat yang ternyata lebih diperbudak syahwat rendah dan menghambakan diri pada juragan napsu. Sebagai wakil, mereka tidak mengabdi kepada rakyat yang telah memilih dan mempercayakan sepenuhnya aspirasi mereka.

Kini pemilu sudah di ambang pintu, para politisi –baik yang sudah matang, maupun yang karbitan, bersih atau busuk– sudah pula menjual diri di berbagai kesempatan, memasang iklan di tepi-tepi jalan mengotori dan merusak keindahan kota-kota.

Kita tak tahu berapa banyakkah di antara deretan nama dan gambar yang terpampang di jalan-jalan itu termasuk politisi bersih. Berapa pula yang busuk? Termasuk orang jujurkah atau cuma mengesankan diri sebagai orang saleh? Penganggur yang bingung atau telah orang yang telah menunjukkan karya nyata? Tak jelas, sebab semua mencitrakan diri sebagai orang patut, paling baik, paling tepat untuk dipilih.

Persoalnnya kemudian apakah apakah DPR hasil Pemilu 2009 nanti benar-benar menghasilkan wakil-wakil rakyat yang bersih atau tidak? Sulit menjaminnya, meski saat memasuki ranah pemilihan –secara administratif– mereka telah dinyatakan bersih oleh kepolisian, pengadilan, maupun Komisi Pemilihan Umum.

Pengalaman membuktikan, setelah terpilih sebagai wakil rakyat, mereka mulai menunjukkan wajahnya yang asli. Motivasinya jadi wakil rakyat ternyata bukan memperjuangkan aspirasi dan kepentingan rakyat, tapi semata hanya demi mendapat status sosial, pekerjaan, gaji besar, mobil dinas, rumah dinas, dan berbagai fasilitas lain dari negara yang dibeli dengan uang rakyat.

Terkuaknya berbagai kasus kriminal, asusila, dan kasus korupsi di kalangan wakil rakyat menunjukkan bahwa di antara mereka yang lolos jadi legislator, banyak yang tidak matang secara intelektual, emosi maupun moral. Ini gambaran sederhana akibat pola rekrutmen pencalonan anggota legislatif yang mengesampingkan kemampuan tiga faktor tersebut. Dalam menjaring jagonya untuk duduk menjadi wakil rakyat, parpol lebih bersandar pada pertimbangan politis kelompok maupun perimbangan uang.

Bukan hanya performa itu yang kini membuat rakyat kemudian harus mengelus dada. Realitas politik hari-hari ini –buah hasil pemilu sebelumnya– telah menunjukkan bahwa hubungan emosi antara rakyat dengan wakilnya sudah terputus. Mereka melupakan rakyat yang dengan segala kepolosan, keiklasan, ketidaktahuan, keluguan, dan segala harapannya telah memilihnya.

Berkaca pada pengalaman –bukankah ia guru terbaik?– yang terpenting bagi kita hari-hari in i adalah masalah bobot moralitas dan kepercayaan yang akan kita berikan kepada mereka melalui pemilu nanti. Kita sudah mengalami dua pemilu paling demokratis dan menikmati hasilnya berupa penghianatan dan pelecehan terhadap amanat dan aspirasi kita.

Masihkah akan kita biarkan orang-orang macam itu menduduki kursi di gedung parlemen hanya untuk mengkhianati kita? Masih layakkah orang-orang seperti ini menginjak-injak dan melecehkan amanah politik kita? Jawaban atas pertanyaan ini seharusnya hanya satu kata: Tidak! (***)

25
Agu
08

Parade Politisi Culun

SAMPAI akhir pekan lalu, hampir 12.000 orang telah mendaftarkan diri — atau didaftarkan– sebagi calon anggota lembaga legislatif untuk Pemilihan Umum 2009. Secara nasional, mereka akan berebut 560 kursi Dewan Perwakilan Rakyat yang tersebar di 77 daerah pemilihan di tanah air.

Di Kalimantan Selatan, menurut data sementara Komisi Pemilihan Umum (KPU), setidaknya sudah 978 orang untuk 55 kursi DPRD bagi enam daerah pemilihan. Jumlah ini masih sangat mungkin berubah karena parpol masih diberi kesempatan mengubahnya.

Sejauh ini publik belumlah mengenal betul para calon yang akan mewakili mereka itu. Jika pun ada, tentu sebatas yang diumumkan media atau yang beredar di kalangan terdekat. Di antaranya tentu saja nama-nama yang memang sudah dikenal publik, tapi tak kurang pula merupakan tokoh baru yang belum jelas rekam jejaknya.

Kemunculan dan bertambahnya partai baru peserta pemilu, telah membuka kemungkinan dan peluang bagi banyak orang untuk jadi kader partai atau sekadar belajar mengembangkan diri di pentas politik.

Tak perlu heran jika hari-hari ini publik melihat ada orang yang tanpa latar belakang memadai, mendadak jadi penggiat partai, pengurus, atau bahkan tiba-tiba namanya tercantum pada daftar calon anggota legislatif.

Di samping politisi ‘culun’ seperti itu, banyak pula politisi instan yang dicomot oleh partai dari panggung hiburan lebih karena keterkenalannya. Ketenaran ini dibayangkan bisa berpengaruh pada sikap politik para pemilih.

Selain politisi ingusan dan artis yang dikenai seragam partai, tentu tetap ada calon wakil rakyat yang memang sudah karatan sebagai politisi di partai tertentu. Ada pula politisi ‘kutu loncat’ yang tiap menjelang pemilu hinggap di partai berbeda atau membentuk partai baru.

Hadirnya sosok-sosok baru tentu menerbitkan harapan baru berkenaan dengan terjadinya regenerasi. Publik sangat berharap bahwa wakil mereka di parlemen nanti, lebih baik dibanding dengan sebelum-sebelumnya.

Persoalannya kemudian, apakah parlemen hasil Pemilu 2009 nanti benar-benar menghasilkan para wakil yang betul-betul mampu memenuhi harapan dan aspirasi rakyat? Apakah para wakil itu betul-betul berperan sebagaimana mestinya? Atau semata mengulangi dan sekadar melanjutkan patron yang sudah ada?

Jawaban atas pertanyaan ini tentu ada pada mereka yang nanti terpilih. Terbongkarnya skandal korupsi dan kolusi yang melibatkan wakil rakyat baik di tingkat pusat maupun di sejumlah daerah telah menunjukkan betapa rapuhnya basis moral mereka.

Rakyat sangat tidak menghendaki hal itu terjadi lagi terhadap wakil-wakil mereka di kemudian hari. Rakyat sangat berharap akan terjadi perubahan ke arah yang lebih baik dari hari-sebelumnya.

Rakyat tak akan percaya pada orang yang gembar-gembor akan membabat habis korupsi kolusi dan nepotisme, jika yang bersangkutan merupakan bagian dari sistem yang korup dan ia sendiri turut menjalankannya selama ini.

Soal janji tak berbeda jauh, sebab hampir di setiap kampanye, masalah pendidikan, kesehatan, kesejahteraan rakyat, selalu jadi tema para juru kampanye. Namun kenyataannya, hingga hari ini menunjukkan sekolah tetap mahal. Layanan kesehatan adalah kemewahan. Kemiskinan tak juga tuntas.

Rakyat sudah sangat kritis dan cerdas. Mereka akan tahu siapa sesungguhnya orang-orang yang layak mewakilinya duduk sama tinggi dengan pemerintah nanti.

Jadi, mumpung belum memasuki ingar-bingar kampanye, sebaiknya para politisi kembali menatap diri dahulu. Berkaca pada diri sendiri, benarkah ia akan sanggup jadi wakil rakyat sejati. Jika menilai diri saja belum mampu, apalagi mengukur getar aspirasi rakyat. (*)